Berjuang sampai titik darah penghabisan. Bagi Televisi Republik Indonesia (TVRI), semboyan itu bukan sekadar kata-kata kosong. Dalam usia 30 tahun, TVRI tampak semakin kehabisan darah karena aliran dana yang tak lancar. Acara hiburannya semakin "pucat". Tapi, media audiovisual milik pemerintah itu diharamkan gulung tikar dan harus jalan terus, dengan kondisi apa pun. Gara-gara dana mampet, TVRI benar-benar kehabisan napas. Beberapa bulan lalu, santer dikabarkan bahwa TVRI tak mampu lagi membiayai produksinya. Sampai-sampai salah seorang menteri yang mengajak awak TVRI ke daerah pada musim kampanye pemilu lalu kaget. TVRI tak dapat meliput acaranya karena tidak punya biaya produksi. Belakangan sang menteri terpaksa mencarikan dana "transfusi" agar acara kampanyenya bisa muncul di televisi. Dana memang kesulitan klasik di mana-mana. Tapi, di TVRI keadaannya gawat, karena stasiun televisi pemerintah ini hampir tak bisa berproduksi lagi. Ini hal yang barangkali tak terbayangkan banyak pemirsa yang karena buruknya acara malah ogah membayar iuran televisi. Tanpa iklan, TVRI memang benar-benar hanya bersandar pada iuran enam juta pemilik pesawat televisi. Menurut Ishadi S.K. -- dalam sebuah wawancara khusus de~ngan TEMPO beberapa waktu lalu ketika masih menjabat Direktur Televisi -- 87% anggaran televisi diharapkan datang dari iuran. Sisanya yang 13% diperoleh dari macam-macam sumbangan. Yang tetap maupun yang tidak tetap jumlahnya. Sumbangan yang tergolong tetap, subsidi pemerintah. Yang bergantung pada acara, bantuan SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah). Di samping itu, TVRI mendapat dana dari produksi siaran (misalnya, penayangan lagu-lagu baru yang umum disebut iklan terselubung). Pemasukan lain, yang sulit ditargetkan jumlahnya, persentase iklan dari televisi swasta RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia), SCTV (Surya Citra Televisi), dan TPI (Televisi Pendidikan Indonesia). Untuk beroperasi dengan normal, sedikitnya TVRI membutuhkan pemasukan per tahun Rp 120 milyar. Tahun lalu, ketika iuran mulai ditarik perusahaan swasta PT Mekatama Raya, TVRI mematok penda~patan sebesar itu. Target pamasukan ketika itu: iuran televisi Rp 90 milyar, subsidi pemerintah Rp 10 milyar, RCTI dan SCTV Rp 15 milyar, SDSB Rp 5 milyar. Kenyataan nya, TVRI hanya menghimpun Rp 101 milyar. Perhitungan meleset, antara lain, karena pemerintah hanya me~ngucurkan Rp 5 milyar, SCTV dan RCTI hanya menyetor Rp 3 milyar. Sementara itu, iuran televisi malah menghadapi persoalan macam-macam. Terpaksa bukan hanya pembelian alat baru yang ditangguhkan, tapi yang lebih parah, banyak produksi harus ditunda. Persoalan dana ini semakin parah karena melonjaknya biaya operasional. Tahun lalu untuk mengoperasikan 13 stasiun penyi~aran, 6 stasiun produksi keliling, dan 298 stasiun transmisi dibutuhkan dana Rp 8-9 mil~yar per bulan. Menggelembungnya biaya operasional, antara lain, karena naiknya aneka harga akibat munculnya televisi-televisi swasta. Misalnya saja, dulu TVRI bisa mendapatkan naskah drama atau sinetron dengan harga Rp 500 ribu - Rp 1 juta. Tapi setelah RCTI muncul, penulis naskah mematok harga minimal Rp 3 juta dan penulis top bisa pasang harga hingga Rp 5 juta. Kenaikan itu sebenarnya wajar saja, karena acara di televisi swasta dikaitkan dengan iklan dan sponsor. Tapi TVRI lumpuh dalam bersaing memburu harga yang mengikuti mekanisme pasar itu karena tak boleh menayangkan iklan. Itu pukulan pasar lokal. Pasar internasional ternyata juga ikut-ikutan memberi hantaman. Hak penayangan pertandingan tinju Mike Tyson, sebelum ada pesaing, pa~ling tinggi US$ 10.000. Namun, bela~kangan, karena RCTI juga ingin membeli, misalnya, saat pertarungan Mike Tyson melawan Holyfield, harga hak penayangannya melambung menjadi US$ 115.000. Tak mau kehilangan pemirsanya, TVRI memaksa diri membeli juga hak penyiaran yang luar biasa mahal itu. Padahal, ketika itu utang TVRI sudah mencapai Rp 18 mil~yar lebih. "Untung saja pertandingan itu tidak jadi," ujar Ishadi tersenyum. Larangan menayangkan iklan praktis melumpuhkan daya saing TVRI yang sebenarnya sangat potensial. Dengan ja~ringan penyiaran yang lebih luas dan jumlah pemirsa jauh lebih banyak, TVRI sebenarnya bisa de~ngan mudah menyedot iklan dan sponsor untuk hak penyiaran yang berapa pun mahalnya. Sekarang ini iklan dan sponsor acara-acara yang menyedot pemirsa, antre di RCTI yang ja~ringan penyiarannya jauh lebih terbatas. Potensi TVRI itu bukan sekadar bisa memenangkan persa~ingan. Lebih dari itu, malah bisa semakin melemahkan televisi swasta, yang sampai sekarang konon belum mencapai titik impas. Yang terjadi malah sebaliknya: daya saing televisi swasta malah semakin kuat. RCTI dan SCTV resminya stasiun lokal. Tapi, pada prakteknya, dengan antena parabola siaran mereka bisa ditonton di seluruh Indonesia. Antena parabola memang mahal. Dengan satu antena parabola yang dibeli kolektif, siaran RCTI dan SCTV bisa disalurkan melalui kabel dan alat transmisi ke sejumlah rumah. Bagi pemasang iklan dan sponsor, resmi tidak resminya siaran tak jadi soal. Hitungan utama: besarnya jumlah pemirsa. Semakin banyak, semakin luas iklan tersebar. Bila tak ada perubahan, TVRI praktis terancam ditinggalkan pemirsanya, dan bisa-bisa mundur di semua sektor. Tanpa "belenggu" pun TVRI sebagai media pemerintah sebenarnya sudah punya "kelemahan bawaan" akibat birokrasi. Pengambilan keputusan biasanya lambat. Manajemen yang diwarnai birokrasi ini menyulitkan pengelolaan media elektronik yang sangat kompleks. MDNM Kendala manajemen terjadi juga karena status TVRI sendiri sebetulnya tidak jelas. Resminya TVRI berstatus ya~yasan. Presiden duduk sebagai ke~tuanya. Sebagai pelaksana, Presiden mengangkat dewan direksi. Namun, pada kenyataan campur tangan ya~yasan sa~ngat terbatas. Ketika status direkturnya ditanyakan, Ishadi mengaku tidak pernah memiliki surat keputusan peng~angkatan dari ya~yasan. Akibat tidak jelasnya status itu bisa sangat lanjut. Ketika Mekatama mengalami kemacetan penagihan iuran televisi, TVRI mengajukan kredit ke bank. Timbul kesulitan karena muncul pertanyaan mendasar: siapa yang akan menandatangani akad kredit? Padahal, ketika itu TVRI mengalami kondisi ke~uangan yang kritis. Sementara iuran televisi tersendat, setoran dari TV swasta juga belum masuk. Beban lain, sebagai media pemerintah, TVRI wajib memperhatikan program penerangan pemerintah. Juga berbagai misi sosial yang tidak bisa dibilang murah. Dalam konteks ini, TVRI menerima kerja sama TPI, yang "di atas kertas" disebutkan bertujuan mengembangkan pendidikan informal. Walau pada kenyataannya, televisi swasta ini semakin banyak menayangkan hiburan dan iklan. Sampai kini TPI masih menggunakan fasilitas TVRI. Semula diproyeksikan hanya dua tahun saja. Tapi perkiraan itu tampaknya meleset, dan untuk dua atau tiga tahun ke depan TPI masih akan bergabung dengan TVRI. Ini jelas menyulitkan gerak TVRI. Beban kerja petugas dan peralatan menjadi bertambah, dan jam siaran TVRI sendiri pun menjadi terbatas. "Kami sering mendapat kesulitan melakukan siaran pagi hari. Untuk menggunakan alat, juga harus negosiasi dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, pihak TPI, dan sebagainya. Rasanya kok ironis," ujar seorang awak TVRI. Keadaan ini bisa menjadi lebih parah bila TPI jadi merealisasikan rencananya untuk siaran malam hari, tahun ini juga. Kendati dengan beban sangat berat, Ishadi mempunyai semangat besar untuk membawa TVRI bersaing dengan televisi swas~ta. Ia berpendapat, sejauh sistemnya bisa berkembang dengan baik tidak akan muncul masalah. Sebagai ahli di bidang komunikasi massa, ia melihat sisi positif dalam persaingan itu. "Sebab, dalam banyak hal memberi manfaat bagi penonton," ka~tanya. Alwi Dahlan, ahli komunikasi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, sependapat dengan Ishadi. "Saya lihat dampaknya, acara televisi menjadi lebih banyak variasi. Orang lebih bisa mendapatkan acara yang dia mau," kata Alwi. Acara-acara TVRI pun terpacu menjadi lebih maju, menurut Alwi Dahlan. Dulu banyak orang ngomelMDBO MDNMtak puas dengan ta~yangan TVRI yang lebih banyak diisi acara pedesaan. Sedangkan kini anak mu~da di Ja~kar~ta yang tidak puas dengan acara itu bisa memilih acara musik-musik trendyMDBO MDNMlewat Programa 2. Selain itu, acara berbau daerah pun lebih kreatif dengan mengupayakan, misalnya, membuat sinetron Sitti Nurbaya. "Sehingga waktu Sitti NurbayaMDBO MDNMdiputar, teman-teman saya di Sumatera, Mataram, Denpasar, Ujungpandang, dan Manado mengatakan kota mereka menjadi sepi," cerita Alwi. Menurut Alwi, format berita yang disajikan TVRI juga menjadi lebih menarik. Berita-berita TVRI kini tak lagi melulu menampilkan acara gunting pita atau pidato pejabat. Menurut Ishadi, ini dampak positif kompetisi TVRI dan TV swasta. "Sekarang ada ukuran bagus tidaknya sebuah stasiun TV," ujarnya. Pandangan Ishadi tentang hubungan persaingan dan meningkatnya mutu siaran, tidak harus dilihat dalam konteks lokal saja. Pada akhirnya ini berkaitan dengan persai~ngan dengan siaran media asing. Dan ini persoalan serius. Menurut Ishadi, televisi sekarang ini masih berada jauh di belakang jaringan siaran radio. Dengan 600 stasiun radio yang ada di Indonesia, pendengar radio relatif sudah merasa puas. Karena itu, mereka tidak lagi mencari-cari stasiun radio asing. Sementara itu, televisi masih perlu menambah stasiun televisi se~banyak mungkin, apa pun bentuknya. "Sekarang ini kita masih menghadapi sistem perkembangan pertelevisian yang agak terlambat. Jauh ketinggalan di~bandingkan radio," katanya. Maka, masuk akal bila pemirsa televisi masih tidak puas dengan program-program lokal dan masih saja mencari program dari stasiun negara lain. "Menurut saya, ini hal yang membahayakan bagi kita sebagai bangsa," ujar Ishadi. Didasarkan idealisme ini, TVRI, sebagai corong pemerintah, rela membangun pemancar seharga Rp 400 juta di sebuah pulau di Sulawesi Utara yang dekat dengan Filipina. Padahal, penduduk pulau ini hanya 200 orang. "Kalau tidak begitu, jangan-jangan mereka akan lebih mengenal presiden Filipina daripada presiden Indonesia," kata Ishadi. Dengan perkembangan teknologi sekarang ini, siaran negara tetangga sudah menerobos ke Indonesia. Pemilik antena parabola dengan mudah menangkap siaran Televisi Malaysia RTM I, RTM II, dan Televisi Filipina yang sama-sama memakai satelit Palapa. Padahal, di daerah terpencil pemasangan parabola pada awalnya dimaksudkan untuk menangkap siaran TVRI. Stasiun televisi asing, apalagi dari negara maju, selalu punya akal untuk menerobos. Misalnya stasiun berita Amerika Serikat terkemuka Cable News Network (CNN). CNN berminat menggunakan Palapa untuk menyiarkan acaranya di Indonesia -- ke hotel dan kantor media massa -- dengan mengutip bayaran. Karena ada larangan Menteri Penerangan stasiun asing mengutip bayaran, rencana ini tidak jadi disiarkan. Larangan ini barangkali juga mengkhawatirkan pengaruh siaran CNN di Indonesia. Namun, CNN tidak kehabisan akal. Stasiun tersebut kini memancarkan siarannya dari Singapura, yang menyewakan respondernya di satelit Palapa. Jadi, CNN akhirnya menggunakan Palapa pula, dan siarannya pun tetap tertangkap dengan jelas di Indonesia. Di Singapura sendiri, penggunaan antena parabola dilarang. Karena itu, siaran CNN tidak dapat ditangkap di negeri itu. Indonesia menganut sistem open sky policy. Karena itu tidak ada larangan untuk menangkap siaran televisi asing. Maka, satu-satunya upaya mengurangi dampak negatif siaran asing, menurut Ishadi, ialah bersaing. Inilah antara lain tugas Direktur Televisi yang baru, Abdul Azis Husain. Selamat berjuang, Pak. G. Sugrahetty Dyan K., Andi Reza, dan Biro-Biro.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini