Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bandung lautan band indie. Begitulah Kota Kembang bisa disebut dalam dua dasawarsa ini. Sebab, di sanalah tempat band-band indie—kependekan dari independen—tumbuh dan berkembang. Alirannya pun beragam, seperti punk, hardcore, death metal, metal, rock, hip-hop, ska, reggae, pop, gothic, balada, elektronik, dan keroncong. Semuanya hidup melalui sistem rekaman nonlabel besar. Mereka juga memasarkannya dengan cara ”manual”: dititipkan di toko teman, dijual di antara teman nongkrong, dan—di masa yang ”lebih kini”—melalui Internet. Jaringan pertemanan adalah kunci kekuatannya.
Bila dirunut, perjalanan rekaman band-band indie sudah berjalan sekitar 13 tahun. Menurut Iman Rahman Anggakusumah, yang lebih dikenal dengan nama Kimung, perkembangan band-band ini beserta komunitas bawah tanah (underground) layak dicatat dan dituliskan sebagai sejarah. Komunitas itulah yang merupakan perwujudan perlawanan anak-anak muda Bandung. Kimung sendiri tumbuh di dalamnya.
Kini, virus band-band indie Bandung sudah menular hingga daerah lain di Indonesia, bahkan sampai Malaysia. Meski ada yang kembang-kempis hingga mati suri, ada band-band yang berhasil merilis album mereka sendiri. Burgerkill, misalnya, kini sedang membuat rekaman album keempat setelah Beyond Coma and Despair (2006). Bahkan ada band yang—meskipun tanpa dukungan modal industri arus utama—dapat membawa diri berpentas di luar negeri, seperti Jasad, Mocca, dan Burgerkill.
Dulu sekali, sebelum surat elektronik, Internet, dan televisi kabel masuk Indonesia, ”anak band” di Bandung sama sekali tak punya pengetahuan bagaimana membuat rekaman. Mereka hanya tahu menyanyi, bermain band, dan manggung saja. Pada pertengahan 1990-an, komunitas musik punk rock di Bandung sudah marak, tapi karya mereka terputus setelah pentas.
Komunitas punk rock punya kebiasaan nongkrong di Bandung Indah Plaza. Nah, ”tradisi” kumpul-kumpul itulah yang berguna—bahkan sampai di kemudian hari. Mereka mendiskusikan keinginan membuat rekaman dan kompilasi, meskipun sama sekali tak punya pengetahuan cara membuatnya. Menurut Kimung, keinginan awal komunitas ini hanyalah mendokumentasikan eksistensi komunitas punk rock di Bandung.
Hingga jadilah kompilasi berjudul Bandung Punk Rock Storm yang memuat lagu-lagu dari 17 band punk rock Bandung. Semua proses kreatif dilakukan gotong-royong di antara komunitas. Album ini merupakan kompilasi punk rock pertama di Bandung, bahkan mungkin di Indonesia. Karya ini juga menjadi sebuah pernyataan: nevermind the system—mereka tidak peduli dengan sistem rekaman arus utama. Perlawanan ditunjukkan dengan gambar swastika dicoret dan kata-kata anarchy, drunk, and punk rock.
Bandung Punk digandakan 1.500 kopi kaset saja, dengan harga Rp 7.500 per biji—harga kaset rekaman arus utama Rp 7.000 per buah. Cara menjualnya di rumah-rumah antarteman. Ada juga yang buka lapak di emperan Bandung Indah Plaza, yang kemudian menjadi cikal-bakal Riotic Distro. Distribusi juga dilakukan dengan cara barter, yang memang sedang jadi tren ketika itu di kalangan kelompok bawah tanah. Namun cara pertukaran ini pulalah yang membuat rekaman tersebut dapat berpindah tangan ke orang-orang dari Prancis, Malaysia, dan Singapura.
Bandung Punk adalah pengalaman pertama. Namun yang bisa dikatakan sebagai tonggak sejarah adalah kompilasi Masaindahbangetsekalipisan, yang lahir pada 1997. Ketika itu, Bandung diserbu aliran hardcore, grunge, dan punk. Band-band yang masuk kompilasi ini antara lain Full of Hate, Rotten to the Core, Sendal Jepit, dan Burgerkill. Yang menarik, kompilasi ini dibuat dalam format cakram padat atau compact disc (CD), yang di masa itu belum jamak.
Penjualan CD yang hanya dibuat 1.200 kopi itu kurang sukses. Pertanggungjawaban penjualan CD ke luar Bandung juga tidak jelas. Modal pun berasal dari kantong pribadi, yaitu dari Richard Mutter, mantan penggebuk drum Pas Band. Namun Masaindahbanget ini tetap disebut sebagai awal model kolaborasi antara band dan distro—distribution outlet, cara pemasaran yang mandiri.
Hitungan komersial untuk rekaman band-band bawah tanah ini memang kacau-balau. Tapi semangat pertemanan di antara merekalah yang menjadi bensin pendorong kelompok-kelompok musik ini terus hidup dan berkarya. Yang penting bagi mereka adalah keuntungan promosi, bukan uang. Ketika radio GMR mulai menyiarkan karya band-band indie pada 1998, mereka makin dikenal di kalangan luas Bandung.
Keuntungan berupa ketenaran mulai menunjukkan hasil ketika sebuah perusahaan Prancis merilis kompilasi Injak Balik, yang beraliran hardcore, masih di tahun yang sama. Semua band indie yang masuk rekaman itu berasal dari Bandung, seperti Puppen, Jeruji, dan Runtah. Meski kualitas rekamannya belum bagus karena band-band pengisi hanya mengirimkan demo mereka, episode ini membuat Bandung muncul di peta musik bawah tanah Asia.
Napas band-band indie terus berembus melewati tahun-tahun berikutnya. Mereka juga tampak makin ”dewasa”, termasuk dalam berkolaborasi dengan distro dan komunitas anak muda Bandung. Polanya: bila ada pertunjukan atau rekaman, ada juga barang-barang seperti kaus, yang satu tema. Bentuk kerja sama konkret pertama yang perlu dicatat adalah kolaborasi Spills Records dengan distro 347 yang menggalang dana untuk pembangunan lapangan skateboard di Bukit Cafe pada Juni 2001. Biayanya diperoleh dari merekam dan menjual kompilasi Ticket to Ride pada 2000.
Yang juga penting dicatat adalah komunitas Ujungberung. Kota kecamatan di bagian timur Bandung ini dikenal sebagai kawasan kaya dengan kesenian tradisional serta daerah pertanian. Namun daerah itu berubah menjadi area industri. Menurut Kimung—dia juga besar di Ujungberung—anak-anak muda di sana sangat terbuka dengan pengaruh dari luar, termasuk aliran musik keras. Pada 1990-an, mereka memainkan lagu-lagu Sepultura, Napalm Death, dan Terrorizer. Anak-anak muda juga mulai menanyakan banyak hal.
Menurut Kimung, dari situlah muncul kultur perlawanan yang dituangkan melalui kreasi bermusik. Ujungberung Rebels merupakan nama yang mewakili semua bentuk perlawanan: melawan tren musik pop, pasar yang didominasi industri, juga kemapanan. Pada Oktober 1997, band-band Ujungberung yang beraliran superkeras merekam lagu-lagu mereka dengan biaya masing-masing. Jumlah band-nya pun mengejutkan: 13 grup.
Namun bukan hanya punk dan death metal serta musik keras dengan vokal menggeram (growling) ala Cookie Monster di film Sesame Street yang tumbuh di kancah indie Bandung. Aliran lain juga hidup. Masing-masing memiliki sejarah perjuangannya sendiri. Kompilasi Delicatessen yang dikeluarkan Poptastic Records pada 2002, misalnya, jelas menjadi pemanis di antara musik yang keras. Mocca, The Milo, dan Blossom Diary berhasil memberikan sentuhan berbeda di kancah musik indie.
Band indie Bandung memasuki tahapan baru pada 2005. Untuk pertama kalinya perusahaan rekaman FFWD membuat kompilasi dari genre pop dan rock untuk lagu film layar lebar: Catatan Akhir Sekolah. Di dalamnya terdapat band seperti Mocca, The SIGIT, bahkan beberapa band dari Swedia, seperti Tiger Baby, Ballads of the Cliche, dan Edson. Kompilasi ini digandakan 3.000 kopi untuk kaset dan 2.000 dalam bentuk CD. Setelah itu, masih ada soundtrack untuk film Untuk Reina (2005) dan Janji Joni (2006).
Perjalanan band-band indie Bandung memang telah menjadi bagian dari sejarah musik. Ada yang berhasil, ada juga yang gagal. Tapi pertemanan—termasuk tempat nongkrong-nya—jalan terus.
Bina Bektiati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo