DI luar karya nonfiguratif, bisa dianggap karya senirupa memang
merupakan simbol-simbol--dalam arti yang luas. Lukisan Antara
Hidup dan Mati Raden Saleh misalnya kebanyakan orang
menafsirkan lukisan pertarungan seekor banteng dan dua ekor
harimau itu melambangkan pertarungan kolonialisme dan
nasionalisme. Memang tak semua lukisan bisa dengan gampang
ditafsirkan begitu. Sebaliknya, tak semua lukisan nonfiguratif
tak menyimbolkan apa-apa. Lukisan-lukisan nonfiguratif Sadali
misalnya, memang retak pada lukisan itu adalah retak dan merah
adalah merah. Tapi bisa saja sapuan merah sebuah lukisan
nonfiguratif merupakan simbol emosi yang meledak-ledak.
Maka pernyataan Popo Iskandar, 54 tahun, dalam pameran
tunggalnya kali ini, 9-22 Novernber di Taman Ismail Marzuki,
bukanlah sesuatu yang unik. "Semakin terasa kuat kecenderungan
saya pada simbolisme," katanya di Ruang Pameran TIM.
Dan hal itu dicapai Popo tidak melulu lewat kerja melukiskanya.
Pun juga lewat pemikiran. Kebetulan pelukis satu ini juga suka
menulis kritik dan esel senirupa. Ia berpendapat yang merupakan
perbedaan poicok antara senirupa dunia Timur dan Barat, di Timur
boleh dikata senirupanya merupakan simbol-simbol.
Contohnya, kata Popo pula, motif batik di Jawa, merupakan simbol
--simbol kemuliaan, simbol kemakmuran, simbol kebahagiaan.
Pendapat itu memang masih bisa diperdebatkan. Masalah yang nyata
kini, adakah lukisan Popo yang baru itu memang dengan mudah
bisa ditangkap menyimbolkan sesuatu? Agaknya tak semudah Lukisan
Antara Hidup dan mati Raden Saleh.
Sejumlah lukisan ayam jantan itu hany berupa sapuan-sapuan
lengkung hitam Kemudian, ada jengger yang merah dan paruh yang
kuning. Beberapa, sapuan lengkung yang mensugestikan bulu ayam
itu, tak hanya hitam--ada biru, merah dan kuning. Dan kebanyakan
lukisan ayam itu berlatar belakang putih. Kalau toh ada warna
pada latar belakang, tetap tak mensugestikan suatu tempat. Hanya
membentuk ruang, entah di mana dan entah kapan.
Visualisasi lukisan macam itu sebenarnya bukan hal baru bagi
Popo. Lukisan Popo yang bertemakan kucing, 1975, pun begitu.
Obyek dibentuk hanya dengan sapuan yang sugestif, latar belakang
kebanyakan hanya bidang putih. Kalau toh mau dicari yang
membedakan periode kucing (1975) dan periode ayam (1981) ada
pada efek artistik. Pada kucing efek itu begitu mudah dilihat:
cat yang meleleh, tekstur yang nyata, noda cat di sana-sini pada
latar belakang putih itu. Pada periode ayam kini, semua itu
rasanya jauh berkurang.
Menipisnya Efek
Yang menarik, menipisnya efek itu memang mempunyai akibat. Pada
sejumlah karya itu memberikan kesan kaku. Seperti sapuan dan
komposisi di situ diatur menurut pola tertentu. Dan pada lukisan
yang tak mengesankan kekakuan itu, kemudian, melahirkan lukisan
ayam yang memang lain dibanding lukisan periode
kucing-kucingnya.
Sapuan sugestif pada periode ayamnya kini lebih mudah membentuk
bentuk ayam dibanding pada periode kucing. Maka bila kegarangan
pada periode kucing tampil dikarenakan sapuan di situ lebih
berdiri sebagai sapuan itu sendiri pada periode ayam sesuatu,
semacam kegarangan pada kucing, itu tak ada.
Tapi yang muncul adalah ayam y ang bukan ayam. Sosok ayam itu
ternyata bukan seperti ayam yang kita pahami sehari-hari.
Soalnya, dengan latar belakang hanya putih, sosok itu terasa
menjadi lain. Ayam di situ tidak hadir atas namanya sendiri,
tapi sesuatu yang lain. Bagi Popo sesuatu itu adalah
kewaspadaan. Dan ini rupanya tak dicari-cari. Ayam jago, kata
Popo, adalah yang membangunkan kita di pagi hari. Itulah.
Susahnya, simbolisme macam itu bukanlah simbolisme yang umum,
misal-nya seperti salib yang umum diterima sebagai simbol
kesengsaraan. Dengan kata lain, guna memahami lebih jauh karya
Popo dibutuhkan satu referensi. Hal seperti ini tentu saja bukan
hal yang asing dalam senirupa. Lukisan-lukisan klasik Barat
misalnya, selalu terkait dengan mitologi. Tanpa mengerti
mitologi Barat, yang bisa ditangkap tak lain satu ketrampilan
melukiskan bentuk belaka.
Popo agaknya menyadari semuanya itu. Bukan obyek itu sendiri
yang hendak ditampilkannya, tapi sesuatu yang terbawa dari obyek
itu, katanya. Maksudnya, merahnya bukan merah, ayamnya bukanlah
ayam, tapi sesuatu yang tersirat dari itu. Dari seorang pelukis
yang pada mulanya bercerita dengan bentuk, perkembangan seperti
ini kiranya sangat wajar.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini