Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Simbolisme, Sesudah Kucing

Popo Iskandar, 54, mengadakan pameran tunggal di TIM setelah obyek kucing (1975) kini ia mengambil obyek ayam dan menyiratkan kesan simbolisme. Ia suka menulis kritik dan esei seni rupa.

21 November 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI luar karya nonfiguratif, bisa dianggap karya senirupa memang merupakan simbol-simbol--dalam arti yang luas. Lukisan Antara Hidup dan Mati Raden Saleh misalnya kebanyakan orang menafsirkan lukisan pertarungan seekor banteng dan dua ekor harimau itu melambangkan pertarungan kolonialisme dan nasionalisme. Memang tak semua lukisan bisa dengan gampang ditafsirkan begitu. Sebaliknya, tak semua lukisan nonfiguratif tak menyimbolkan apa-apa. Lukisan-lukisan nonfiguratif Sadali misalnya, memang retak pada lukisan itu adalah retak dan merah adalah merah. Tapi bisa saja sapuan merah sebuah lukisan nonfiguratif merupakan simbol emosi yang meledak-ledak. Maka pernyataan Popo Iskandar, 54 tahun, dalam pameran tunggalnya kali ini, 9-22 Novernber di Taman Ismail Marzuki, bukanlah sesuatu yang unik. "Semakin terasa kuat kecenderungan saya pada simbolisme," katanya di Ruang Pameran TIM. Dan hal itu dicapai Popo tidak melulu lewat kerja melukiskanya. Pun juga lewat pemikiran. Kebetulan pelukis satu ini juga suka menulis kritik dan esel senirupa. Ia berpendapat yang merupakan perbedaan poicok antara senirupa dunia Timur dan Barat, di Timur boleh dikata senirupanya merupakan simbol-simbol. Contohnya, kata Popo pula, motif batik di Jawa, merupakan simbol --simbol kemuliaan, simbol kemakmuran, simbol kebahagiaan. Pendapat itu memang masih bisa diperdebatkan. Masalah yang nyata kini, adakah lukisan Popo yang baru itu memang dengan mudah bisa ditangkap menyimbolkan sesuatu? Agaknya tak semudah Lukisan Antara Hidup dan mati Raden Saleh. Sejumlah lukisan ayam jantan itu hany berupa sapuan-sapuan lengkung hitam Kemudian, ada jengger yang merah dan paruh yang kuning. Beberapa, sapuan lengkung yang mensugestikan bulu ayam itu, tak hanya hitam--ada biru, merah dan kuning. Dan kebanyakan lukisan ayam itu berlatar belakang putih. Kalau toh ada warna pada latar belakang, tetap tak mensugestikan suatu tempat. Hanya membentuk ruang, entah di mana dan entah kapan. Visualisasi lukisan macam itu sebenarnya bukan hal baru bagi Popo. Lukisan Popo yang bertemakan kucing, 1975, pun begitu. Obyek dibentuk hanya dengan sapuan yang sugestif, latar belakang kebanyakan hanya bidang putih. Kalau toh mau dicari yang membedakan periode kucing (1975) dan periode ayam (1981) ada pada efek artistik. Pada kucing efek itu begitu mudah dilihat: cat yang meleleh, tekstur yang nyata, noda cat di sana-sini pada latar belakang putih itu. Pada periode ayam kini, semua itu rasanya jauh berkurang. Menipisnya Efek Yang menarik, menipisnya efek itu memang mempunyai akibat. Pada sejumlah karya itu memberikan kesan kaku. Seperti sapuan dan komposisi di situ diatur menurut pola tertentu. Dan pada lukisan yang tak mengesankan kekakuan itu, kemudian, melahirkan lukisan ayam yang memang lain dibanding lukisan periode kucing-kucingnya. Sapuan sugestif pada periode ayamnya kini lebih mudah membentuk bentuk ayam dibanding pada periode kucing. Maka bila kegarangan pada periode kucing tampil dikarenakan sapuan di situ lebih berdiri sebagai sapuan itu sendiri pada periode ayam sesuatu, semacam kegarangan pada kucing, itu tak ada. Tapi yang muncul adalah ayam y ang bukan ayam. Sosok ayam itu ternyata bukan seperti ayam yang kita pahami sehari-hari. Soalnya, dengan latar belakang hanya putih, sosok itu terasa menjadi lain. Ayam di situ tidak hadir atas namanya sendiri, tapi sesuatu yang lain. Bagi Popo sesuatu itu adalah kewaspadaan. Dan ini rupanya tak dicari-cari. Ayam jago, kata Popo, adalah yang membangunkan kita di pagi hari. Itulah. Susahnya, simbolisme macam itu bukanlah simbolisme yang umum, misal-nya seperti salib yang umum diterima sebagai simbol kesengsaraan. Dengan kata lain, guna memahami lebih jauh karya Popo dibutuhkan satu referensi. Hal seperti ini tentu saja bukan hal yang asing dalam senirupa. Lukisan-lukisan klasik Barat misalnya, selalu terkait dengan mitologi. Tanpa mengerti mitologi Barat, yang bisa ditangkap tak lain satu ketrampilan melukiskan bentuk belaka. Popo agaknya menyadari semuanya itu. Bukan obyek itu sendiri yang hendak ditampilkannya, tapi sesuatu yang terbawa dari obyek itu, katanya. Maksudnya, merahnya bukan merah, ayamnya bukanlah ayam, tapi sesuatu yang tersirat dari itu. Dari seorang pelukis yang pada mulanya bercerita dengan bentuk, perkembangan seperti ini kiranya sangat wajar. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus