Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Unforgiven dan clint eastwood

Film koboi "unforgiven" dipilih juri academy award sebagai film terbaik. merupakan hasil perenungan clint eastwood tentang kejagoan dan kepahlawanan, juga diilhami oleh kerusuhan rasial di l.a.

10 April 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG koboi tua mencoba menembak kaleng di tunggul pohon. Tak satu pun pelurunya mengenai sasaran. Seorang gadis kecil bertanya: ''Apakah dulu Papa suka membunuh orang?'' Si koboi tua tak menjawab. Ia berbalik, melangkah menuju rumah kecil di padang prairi. Ketika ia muncul lagi, di tangannya ada sebuah senapan berburu, dan dengan itu ia menebus kejengkelannya: kaleng di tunggul itu pun terbang berkeping dihantam peluru senapan. Itulah adegan awal film Unforgiven, film yang pekan lalu dinyatakan oleh juri Hadiah Oscar sebagai film terbaik produksi tahun 1992. Sebuah film yang disutradarai oleh si pemeran koboi tua itu sendiri, yakni Clint Eastwood, dan ia pun menggondol Oscar untuk penyutradaraannya. Sebuah film koboi klasik yang alur gambar-gambar adegannya begitu pas, karena itu penyunting film ini (Joel Cox) pun memenangkan penyuntingan terbaik. Dan permainan aktor pembantu dalam film ini, Gene Hackman, sebagai sherif yang sadistis, mengungguli calon-calon aktor pembantu dalam film lain yang dinominasikan. Tapi lebih dari itu adalah komentar sejumlah kritikus film. Dengan gaya tulisan berbeda-beda, mereka sepakat Unforgiven bukan film koboi biasa. Film ini bisa dilihat dengan sederhana sebagai kisah seorang jago tembak tua, yang di kala tak lagi bisa menembak tepat dan tak lagi tangkas berkuda terpaksa turun lagi ke padang prairi dan rumah-rumah minum untuk mengejar buron. Dan itu dilakukannya karena ia memburu hadiah 500 dolar -- jumlah yang menggiurkan untuk seorang bekas jago tembak yang peternakan babinya hampir bangkrut, dan ia harus menghidupi dua anaknya di tahun 1880-an. Film ini pun bisa dilihat menyindir Amerika Serikat, negeri besar yang tak bisa menyelesaikan masalah klasiknya: rasialisme. Dalam sebuah wawancara, Clint Eastwood menyatakan, antara lain, film koboinya yang ke-10 ini memang diilhami oleh pemukulan seorang sopir truk kulit hitam oleh empat polisi kulit putih Los Angeles akhir Maret 1992. Pemukulan yang menyulut kerusuhan rasial sebulan kemudian, dan Los Angeles pun porak-poranda. Unforgiven juga bisa ditafsirkan sebagai film yang menyimbolkan Amerika sebagai satu-satunya polisi dunia setelah Perang Dingin usai. Dalam keadaan dunia tanpa masalah, si koboi tua bisa hidup tenteram di rumahnya dengan dua anak dan peternakan babinya, sambil menunggui kuburan istrinya. Di kala dunia membutuhkan penampilannya kembali, si koboi tua itu pun menyandang kembali senapan berburunya. Dari sudut film koboi itu sendiri, Unforgiven adalah sebuah pengecualian. Ia tak hitam-putih sebagaimana umumnya film koboi. Antara kesadisan Sherif Little Bill Dagget dan sejarah hitam Pak Koboi tua bernama Will Munny (Clint Eastwood) tak jelas batasnya. Moral di sini campur aduk. Sherif hanya menghukum dua koboi yang menyincang seorang pelacur dengan enam ekor kuda, dan mencegah Will Munny beserta dua konconya memburu sang pembunuh. Tapi di sisi lain, Sherif Bill Dagget itu memberi contoh bagaimana ia akan memperlakukan orang yang dianggapnya bersalah tanpa lewat pengadilan: menghajar sampai mampus Ned Logan (Morgan Freeman), seorang kulit hitam, konco si koboi tua Will Munny -- adegan inilah yang disebut-sebut diilhami oleh kasus Rodney King, si sopir truk itu. Will Munny sendiri adalah jago tembak yang dulu hidup dengan merampok kereta api dan menjarah kota. Karena seorang perempuan yang kemudian menjadi istrinya ia menggantungkan pistolnya, mengandangkan kudanya, dan menjauhi botol whiski, lalu hidup beternak babi. Tapi ketika ia kembali menyandang senapannya, orang tahu, ia lebih berbahaya daripada Sherif Bill Dagget. Monster yang sudah ia lupakan bangkit kembali dengan penuh kesadaran. Katanya kepada dua orang koboi yang hendak dibantainya: ''Ya, saya dulu membunuh wanita dan anak-anak. Saya kira saya membunuh apa saja yang berjalan dan merangkak kapan saja.'' Tapi kenapa ia membunuh? Ia tak tahu, persisnya ia lupa, karena biasanya itu ia lakukan dalam keadaan mabuk. Menghukum orang seperti ini mungkin tidak sulit. Yang bisa membingungkan bila harus membandingkan -- dan demikianlah kecenderungan film koboi -- siapa yang pahlawan dan siapa yang penjahat. Tak mudah menarik garis pemisah antara si sherif dan si koboi tua itu dan dua koboi yang menyincang pelacur. Dari sudut sang sutradara sendiri, Clint Eastwood, film koboinya yang terakhir ini adalah yang terbaik. Dibuat setelah ia membintangi 36 film, dan menyutradarai 16 film -- 10 di antaranya film koboi. Ini boleh dibilang sebuah film hasil restropeksinya, dalam usianya yang 62 tahun. Kritikus film Richard Corliss menulis di majalah Time, Unforgiven bisa disebut sebagai ''meditasi Clint Eastwood tentang usia, reputasi, kejagoan, dan kepahlawanannya'' -- hal-hal yang menempel pada dirinya karena perannya dalam layar putih. Unforgiven juga sebuah film yang pahit. Tak ada artistik darah muncrat, slow motion kuda terjungkal dan seorang koboi yang melambung dengan tubuh melengkung, dan kemudian menghantam kaca jendela karena tembakan musuhnya, seperti yang bisa dilihat dalam film-film Sam Peckinpah, umpamanya Wild Bunch. Henry Sheehan dalam majalah Film Comment membandingkan dengan agak detail kecenderungan film koboi Eastwood dan karya Sam Peckinpah, sutradara yang pernah dijuluki sebagai master of violence. Antara lain tokoh-tokoh dalam film Sam Peckinpah, termasuk bandit-banditnya, adalah orang-orang yang romantis, karena desakan individualismenya. Sedangkan tokoh dalam film Clint Eastwood adalah orang-orang kesepian yang berhati pahit dan biasanya terisolasi dari masyarakatnya. Dan kecenderungan Eastwood begitu jelas dalam film terakhirnya ini. Peran utama Unforgiven adalah jago tembak dengan sejarah hitam dan hati yang pahit. Ketika ia harus turun gelanggang lagi pun bukan dengan alasan heroisme membela sang tertindas. Alasan utamanya karena ia butuh uang untuk membesarkan dua anaknya yang ditinggal mati ibunya. Dan untuk itu ia harus melawan sherif yang cuma menjatuhkan denda enam ekor kuda kepada buronan yang dikejar. Sherif yang dengan tangan besinya berhasil membuat Big Whiskey, nama kota itu, menjadi kota tenteram tanpa letusan senapan. Dan itulah yang ingin ia pertahankan: tak ada letusan senapan di kotanya. Tapi rekan-rekan pelacur yang dicincang marah. Mereka mengumpulkan uang dan menyewa siapa yang mau memburu kedua koboi bandit itu. Ini jelas bertentangan dengan hukum yang ditegakkan sang sherif. Dan ini menyulitkan Will Munny dan kedua kawannya yang membutuhkan duit itu. Maka bukan saja Unforgiven menjelaskan kecenderungan tokoh yang biasanya diperankan Clint Eastwood, tapi juga film ini tak lagi mengambil ukuran moral dengan gampangan. Bandingkan misalnya dengan film-film Clint Eastwood terdahulu: dari A Fistful of Dollars (1964) sampai Pale Rider (1985). Terutama film-film koboi spaghetinya, yang disutradarai oleh Sergio Leone, titik tolak pembuatan film itu jelas tak berbelit-belit: yakni dari perasaan pihak korban kejahatan. Maka segalanya bukan hanya menjadi hitam- putih, tapi benar-benar lampu sorot dikendalikan dari satu arah: sang jagoan pun membantai si penjahat dengan ringan tangan dan ringan hati. Dan ia tetap seorang yang kesepian terisolasi dari masyarakat. Nama sang jagoan dalam trilogi Sergio Leone, A Fistful of Dollars, For A Few Dollars More, dan The Good, the Bad, and the Ugly dengan pas mencerminkan hal itu: lelaki tanpa nama. Yang kemudian dikatakan oleh para kritikus Amerika adalah Unforgiven memang sebuah film koboi yang baru. Clint Eastwood sendiri menyebut film terakhirnya sebagai ''antiromantik, antiheroik, dan antikekerasan.'' Bahkan mungkin bisa disebutkan antikeadilan. Dalam Unforgiven tak ada peran yang tak punya cacat. Ini adalah film yang, sepertinya, tokoh-tokohnya dengan ukuran moral konvensional tak perlu diusut siapa pelakunya seandainya dibunuh. Di sini, tulis Richard T. Jameson dalam Film Comment, suara letusan senjata jadi lain, ''ada sesuatu yang lebih dalam suara tembakan itu daripada interpretasi yang bisa dibuat.'' Kalau demikian, lalu di mana nilai film ini? ''Film ini memang tak ada urusannya dengan keadilan. Ini lebih tentang suara hati nurani,'' kata Eastwood dalam wawancaranya dengan tabloid Rollingstone. Maka tak seluruhnya adalah gelap. Di balik warna pahit film ini ternyata masih ada optimisme sutradaranya: sejahat-jahat manusia ia masih punya suara hati nurani. Suara hati nurani itulah yang memilih ketika Will Munny diiming- iming 500 dolar dan sumpahnya kepada istrinya bahwa ia sudah meninggalkan dunia koboi. Suara hati itu pula yang bicara ketika ia memilih menghidupi kedua anaknya dengan mematikan kedua buron. Maka adegan seorang koboi menunggang kuda ke arah matahari terbenam sebagai ending sebuah film western tak laku untuk selera Clint Eastwood sekarang. Itu terlalu romantis. Ia menggambarkan akhir dari kisah koboi tua bekas perampok kereta api dan penjarah kota itu dengan suasana yang pahit, sebagaimana film diawali. Lihatlah, Will Munny mengendarai kudanya ke arah malam yang pekat. Lalu ia berdiri di depan kuburan istrinya. Sebuah siluet terhampar di layar. Sebuah perbatasan hidup sang jago tembak pun tampil. Di satu sisi adalah peluang untuk tetap hidup dan membesarkan anak-anaknya, dan di sisi lain adalah penebusan dosa-dosanya. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus