GENAP sudah perangkat hukum yang mengatur hak milik intelektual di Indonesia. Setelah Undang-Undang (UU) Hak Cipta 1982 dan UU Paten 1989 diberlakukan, Kamis pekan lalu mulai beredar pula UU Merek (UU Nomor 19 Tahun 1992). Pemilik merek pun terlindung dan mudah-mudahan belantara permerekan, yang menjadikan Indonesia bagai surga para pembajak merek-merek terkenal, bisa disiangi. UU Merek baru itu menggantikan UU Nomor 21 Tahun 1961 yang tak memadai lagi. Di sini diatur hal-hal yang baru, misalnya soal lisensi dan perluasan pengertian merek. Tapi perubahan yang mendasar terlihat pada sistem pendaftaran: stelsel deklaratif beralih ke stelsel konstitutif. Dalam stelsel deklaratif, pendaftar merek hanya diharuskan menunjukkan bukti pemakai pertama di Indonesia. Bila mereka itu belam ada dalam daftar merek, pendaftar bisa disahkan menjadi pemilik merek. Akibatnya, misalnya saja, perancang busana terkenal Pierre Cardin harus melakukan gugatan panjang di pengadilan Indonesia karena mereknya dipakai dan didaftarkan secara sah oleh para pengusaha di Indonesia. Stelsel konstitutif tidak hanya didasarkan pada prinsip pendaftar pertama. Petugas merek tak hanya memeriksa persyaratan formal dari suatu permintaan merek, tapi juga mengkaji data merek- merek terkenal agar tak terjadi pemalsuan merek. Selain itu di Kantor Merek didirikan papan pengumuman Berita Resmi Merek, yang memuat merek yang didaftarkan. Bila selama enam sampai sembilan bulan tak ada yang mengajukan keberatan, Kantor Merek bisa meneruskan proses pemeriksaannya, mencocokkan dengan data merek yang sudah ada. Ketentuan UU yang belum bisa dilaksanakan adalah soal tempat pendaftaran berikut Berita Resmi Merek yang mestinya bisa diajukan di daerah si pemohon. Tapi sampai sekarang setiap pemohon merek masih harus datang ke Jakarta dan mengajukannya di Kantor Merek di Tangerang. ''Tapi soal ini bukan semata-mata urusan kami. Itu tergantung anggaran pemerintah,'' kata Dirjen Hak Cipta, Paten, dan Merek Nico Kansil. Kelemahan lain, jangka waktu proses pendaftaran tak diatur dalam UU. ''Total waktunya sekitar dua tahun,'' kata Nico. Lamanya proses memang bisa menimbulkan masalah karena tenaga pemeriksa di kantor merek hanya 17 orang. ''Ini memeng kelemahan kami,'' ujar Direktur Merek Agustiar Anwar. Kini terdapat 23.000 berkas yang belum selesai diproses. Agustiar menggambarkan, seorang petugas hanya mampu menggarap empat atau lima permohonan dalam seharinya. Dengan tenaga yang ada, Kantor Merek cuma mampu menyelesaikan 11.000 berkas setahunnya, sedangkan setiap tahunnya masuk 18.000 sampai 19.000 berkas. Tentunya angka itu akan terus naik pada tahun-tahun mendatang. Pada hari peluncuran UU 1 April lalu masuk 85 permohonan. ''Idealnya, kami harus punya 50 tenaga pemeriksa,'' kata Agustiar. Menurut pengacara Rizawanto Winata, Kantor Merek terhitung hingga 31 Maret 1993 hanya mampu menyelesaikan permohonan yang diajukan sampai akhir Maret 1991. Berarti permohonan yang diajukan 1 April 1991 hingga 31 Maret 1993, berdasar Pasal 87 UU Merek, harus diajukan ulang. Ternyata tidak hanya persyaratan dokumen yang harus diperbarui, tapi juga biayanya harus mengikuti ketentuan baru. Ongkos pendaftaran, yang dulunya hanya Rp 15.000, kini menjadi Rp 300.000. Sejumlah pengacara pusing. ''Kan penundaan itu bukan kesalahan kami, mestinya tidak bayar lagi,'' kata Pengacara Toetoen Am Badar, yang sedang mengurus sekitar 1.500 permohonan merek kliennya yang harus didaftar ulang. Namun, menurut Pengacara Hotman P. Hutapea, UU baru ini terasa jelas memerangi pihak yang beritikad jahat. Pendaftar yang terbukti menjiplak, selain bisa dituntut ganti rugi oleh pemilik merek, dianggap melakukan tindak pidana. ''Di sini aspek proteksinya makin menonjol,'' kata Hutapea. Hanya saja, Hutapea mempertanyakan sejauh mana kesiapan Kantor Merek mencegah orang mendaftarkan merek yang sebenarnya bukan miliknya. ''Saya tak yakin semua merek terkenal di dunia bisa didata Kantor Merek, apalagi merek yang laku di suatu negara tidak langsung terkenal di seluruh dunia,'' katanya. Namun itulah yang sedang diupayakan Kantor Merek dengan bantuan asosiasi merek internasional. Namun di sisi lain pengecekan itu tidak harus hanya mengandalkan Kantor Merek. Pengecekan bisa dilakukan melalui Berita Resmi Merek. Selalu ada kesempatan bagi pemilik merek untuk mengajukan keberatan. Pemilik merek di luar negeri bisa menggunakan jasa pengacara di Indonesia. Apalagi bila merek itu direncanakan akan masuk pasar Indonesia. Ardian T. Gesuri dan Andy Reza
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini