Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Wajah seorang hakim

Hakim sebagai manusia adalah hakim yang berwajah, berpe- rasaan, berhati nurani & berkemerdekaan. raja azlan shah contoh hakim yang bukan cuma alat dalam mengadili datuk harun idris, tokoh politik malaysia. (fk)

29 Mei 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAKIM, agaknya, bukan cuma apa, tapi juga siapa.Di Mahkamah Tinggi di Kuala Lumpur, pertengahan Mei 1976, seorang pesakitan dihadapkan pada seorang hakim. Sang pesakitan adalah Datuk Harun Idris, 51 tahun, tokoh politik Malaysia, bekas seorang kepala pemerintahan negara bagian - Menteri Besar--dari Selangor. Sang hakim adalah Raja Azlan Shah. Kasusnya jelas merupakan kasus bersejarah: orang yang begitu penting itu ternyata bisa didakwa dan diusut secara terbuka sebagai koruptor. Pelbagai suratkabar, tak cuma di Malaysia, melaporkannya dengan hampir lengkap. Di Indonesia orang mengikuti proses itu dengan komat-kamit. Dulu, dulu, kata orang di sini, pernah juga kita bisa begitu. Yakni, ketika seorang berpangkat tinggi bisa dihadapkan ke depan seorang hakim, dan harus menghormatinya. Tapi, bisakah kini? Ketika Raja Azlan Shah membacakan vonnisnya, semua mata menengok padanya. Ia memakai toga, ia memegang palu, dan di kepaanya terpasang rambut palsu resmi, sebagaimana layaknya para hakim di bekas jajahan Inggeris. Ia bisa nampak seolah-olah satu bagian dari gedung mahkamah. Ia mungkin perpanjangan dari suatu lembaga yang luhur. Tapi menarik: di antara argumentasi dalam onnisnya yang 80 halaman itu, toh terdapat juga kata 'saya". Ia tak segan-segan menyatakan mengenal secara pribadi Datuk Harun -- dan ini membuat tugasnya tambah berat. Ia berkata: "Saya ulangi apa yang saya katakan sebelumnya -- bahwa hukum tidak memandang pribadi-pribadi. Tapi mustahillah untuk mengabaikan kenyataan,bahwa anda ada dalam kategori lain dari siapapn yang pernah saya adili". Dan ketika hakim itu tampak tergerak emosinya sewaktu membacakan kesalahan-kesalahan si tertuduh, akhirnya kita sadar: ia seorang manusia juga. Tapi "manusia" di sini bukan dalih. Sebab pada dasarnya manusia tidak lemah dan gampangan. Hakim sebagai manusia adalah justru hakim sebagai seorang yang berwajah, yang berperasaan, yang berhati-nurani, yang bekemerdekaan. Ia bukan sekedar nomor dalam daftar anggota satu korps. Ia bukan cuma alat. la bukan seorang birokrat. Ia bukan seorang boneka. Salah satu hal yang paling mengerikan dalam novel Kafka Proses bukanlah karena Joseph K, si tokoh, akhirnya dibunuh dengan dingin. Tapi karena ia, yang pada suatu hari ditahan, sampai akhir tak diberi tahu apa salahnya. Tak seorang pun petugas hukum itu yang merasa berhak menjelaskan. Semuanya menunjukkan: atasan. Tapi siapa itu atasan, apa maksud sebenarnya dari atasan, adakah ia adil atau lalim, adakah ia lucu atau masuk akal -- semuanya tak ingin ditanyakan oleh mereka yang hanya alat. Pertanyaan adalah ketidakpatuhan. Hati-nurani adalah subversi. Logika.,adalah liku-liku yang cerewet dan tak perlu. "Saya cuma menjalankan tugas".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus