HAKIM, agaknya, bukan cuma apa, tapi juga siapa.Di Mahkamah
Tinggi di Kuala Lumpur, pertengahan Mei 1976, seorang pesakitan
dihadapkan pada seorang hakim. Sang pesakitan adalah Datuk Harun
Idris, 51 tahun, tokoh politik Malaysia, bekas seorang kepala
pemerintahan negara bagian - Menteri Besar--dari Selangor. Sang
hakim adalah Raja Azlan Shah. Kasusnya jelas merupakan kasus
bersejarah: orang yang begitu penting itu ternyata bisa didakwa
dan diusut secara terbuka sebagai koruptor. Pelbagai suratkabar,
tak cuma di Malaysia, melaporkannya dengan hampir lengkap. Di
Indonesia orang mengikuti proses itu dengan komat-kamit. Dulu,
dulu, kata orang di sini, pernah juga kita bisa begitu. Yakni,
ketika seorang berpangkat tinggi bisa dihadapkan ke depan
seorang hakim, dan harus menghormatinya.
Tapi, bisakah kini? Ketika Raja Azlan Shah membacakan vonnisnya,
semua mata menengok padanya. Ia memakai toga, ia memegang palu,
dan di kepaanya terpasang rambut palsu resmi, sebagaimana
layaknya para hakim di bekas jajahan Inggeris. Ia bisa nampak
seolah-olah satu bagian dari gedung mahkamah. Ia mungkin
perpanjangan dari suatu lembaga yang luhur. Tapi menarik: di
antara argumentasi dalam onnisnya yang 80 halaman itu, toh
terdapat juga kata 'saya". Ia tak segan-segan menyatakan
mengenal secara pribadi Datuk Harun -- dan ini membuat tugasnya
tambah berat. Ia berkata: "Saya ulangi apa yang saya katakan
sebelumnya -- bahwa hukum tidak memandang pribadi-pribadi. Tapi
mustahillah untuk mengabaikan kenyataan,bahwa anda ada dalam
kategori lain dari siapapn yang pernah saya adili".
Dan ketika hakim itu tampak tergerak emosinya sewaktu membacakan
kesalahan-kesalahan si tertuduh, akhirnya kita sadar: ia seorang
manusia juga. Tapi "manusia" di sini bukan dalih. Sebab pada
dasarnya manusia tidak lemah dan gampangan. Hakim sebagai
manusia adalah justru hakim sebagai seorang yang berwajah, yang
berperasaan, yang berhati-nurani, yang bekemerdekaan. Ia bukan
sekedar nomor dalam daftar anggota satu korps. Ia bukan cuma
alat. la bukan seorang birokrat. Ia bukan seorang boneka.
Salah satu hal yang paling mengerikan dalam novel Kafka Proses
bukanlah karena Joseph K, si tokoh, akhirnya dibunuh dengan
dingin. Tapi karena ia, yang pada suatu hari ditahan, sampai
akhir tak diberi tahu apa salahnya. Tak seorang pun petugas
hukum itu yang merasa berhak menjelaskan. Semuanya menunjukkan:
atasan.
Tapi siapa itu atasan, apa maksud sebenarnya dari atasan, adakah
ia adil atau lalim, adakah ia lucu atau masuk akal -- semuanya
tak ingin ditanyakan oleh mereka yang hanya alat. Pertanyaan
adalah ketidakpatuhan. Hati-nurani adalah subversi.
Logika.,adalah liku-liku yang cerewet dan tak perlu. "Saya cuma
menjalankan tugas".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini