AKHIRNYA Pemerintah mengungkapkan juga berapa besarnya itu
hutang-hutangnya yang dibuat Pcrtamina.Dibawakan oleh Menteri
Pertambangan Dr Moh. Sadli sebagai jawaban Pemerinta atas 10
pertanyaan Komisi VI, VII dan I DPR-RI, ruang sidang di Senayan
mendapat perhatian cukup besar Kamis pagi lalu. Selain para
anggota DPR dan pers yang memenuhi balkon sebelah kiri,lebih
dari 50 wakil mahasiswa berjaket merah anggur, dari
beberapa universitas Jakarta dan Bogor(IPB), tampak hadir
sebagai peninjau di balkon sebelah kanan. Dan Menteri Sadli yang
antara lain didampingi Dirut Pertamina Mayjen Piet Haryono dan
Gubernur Bank Sentral Rachmat Saleh yang muncul agak terlambat.
Dengan tenang membacakan jawaban Pemerintah setebal 29 halaman
itu menyangkut soal hutang Pertamina dan minyak. Berikut ini
adalah petikan-petikan penting dari keterangan itu:
* Hutang Pertamina yang berhubungan dengan berbagai macam kontrak
dalam dan luar negeri berjumlah sekitar AS 10,5 milyar. Ini
sudah termasuk kontrak pembangunan proyek LNG, kilang minyak
Cilacap, pupuk terapung Kalimantan Timur (yang hingga sekarang
kabarnya masih bermukim di,pelabuhan Antwerpen, Belgia dan satu
lagi di pelabuhan Liverpool, Inggeris) dan eksplorasi dan
produksi pipa gas Cilamaya. Juga sudah termasuk sewa beli armada
tanker luar dan dalam negeri yang menurut Menteri Sadli
berjumlah $AS 3,3 milyar. Untuk tanker luar negeri saja pernah
diberitakan meliputi jumlah 80 tanker samudera, menelan biaya
$AS 2,4 milyar (lihat laporan utama TEMPO 27 Maret lalu).
* Menurut Sadli, Pemerintah mengetahui dan menyetujui beberapa
kegiatan Pertamina di luar minyak. Tapi dana pembiayaannya tak
boleh memberatkan Pertamina. Apalagi membebani Pemerintah.
Ternyata, yang terjadi adalah sebaliknya. Tanpa diketahui dan
disetujui Pemerintah kata Sadli, Pertamina yang besar, untuk
membiayai kegiatan yang sebagian tak ekonomis dan tak punya
hubungan langsung dengan tugas pokoknya. Misalnya sewa beli
tanker samudera itu, pembangunan gedung Pertamina Plaza,
International Guest House Pertamina, Pertamina Square, Pertamina
Village yang kesemuanya ada di Jakarta. Dan beberapa lainnya
lagi
* Untuk memenuhi kewajibannya kepada bank dan supplier luar
negeri, maka Pertamina telah menggunakan bagian penerimaan
negara, yang berasal dari maskapai minyak Kontrak Karya (Caltex
dan Stanvac) serta perusahaan minyak Bagi Hasil. Uang negara
yang dipakai itu ternyata mencapai jumlahl AS 1,1 milyar.
Menurut Sadli, baru di awal 1975 Pemerintah mengetahui bahwa
Pertamina tak mampu lagi memenuhi kewajiban membayar kembali
hutang jangka pendeknya kepada para bankir di luar negeri.
Selain itu para bankir yang umumnya dari Eropa, Amerika Utara
dan Jepang itu banyak yang tak mau lagi memperpanjang hutang
Pertamina (roll-over)
* Sadli juga mengemukakan betapa Pertamina telah membiayai
proyek jangka panjang liwat hutang jangka pendeknya. Contohnya
adalah Krakatau Steel.Calon pabrik baja di Cilegon yang semula
direncanakan berproduksi 500 ribu ton setahun itu, tanpa
diketahui Pemerintah telah dinaikkan menjadi 2 juta ton setahun.
Rencana penaikan produksi yang 4 kali lipat itu adalah berkat
kerjasama PT Krakatau Steel dengan partnernya, maskapai
Ferrostahl dari Jerman Barat di bawah nama PT Krakatau-Ferro
Steel. Sekalipun pembentukan joint- venture itu menurut
pemerintah tak boleh merupakan beban Pertamina, dalam prakteknya
kegiatan PT Krakatau-Ferro Steel itu seluruhnya menjadi
tanggungan Pertamina.
Maka untuk menutupi kekurangan pembiayaan bagi Krakatau Steel?
Pertamina telah melakukan pinjaman jangka pendek. Mengapa
Pertamina sampai berani membenamkan hutang jangka pendek -- yang
kabarnya mencapai $AS 900 juta itu - untuk membiayai proyek
jangka panjang. menurut bekas Dirut Pertamina Ibnu Sutowo adalah
sebagai pembiayaan sementara (bridging loan) dengan harapan
beroleh pinjaman jangka panjang sebesar $ 1,2 milyar. Ternyata,
seperti kata Dr Ibnu Sutowo, Harapan itu adalah 'fatamorgana"
(lihat wawancara dengan Ibnu Sutowo dalam TEMPO 17 Januari).
Menurut Sadli, pemerintah memang mengizinkan Pertamina mencari
hutang jangka pendek tanpa lebih dulu minta persetujuan
Pemerintah. Tapi izin itu hanya terbatas untuk modal kerja dalam
batas-batas yang wajar. Kemudian ternyata, menurut Sadli,
pinjaman jangka pendek itu telah jauh melebihi dari semestinya.
Ini juga rupanya terjadi dengan kebolehan Pertamina melakukan
pinjaman berjangka antara 3 sampai 15 tahun. Sedang pinjaman
antara 1 sampai 3 tahun memang tak dibolehkan lagi oleh
Pemerintah.
Mengapa sampai Pemerintah tak mencium bau sebelumnya akan
praktek hutang dan pembangunan Pertamina itu tak ditanyakan para
anggota DPR rupanya. Menteri Sadli kemudian menjelaskan akan
langkah yang ditempuh Pertamina, liwat berbagai team penyehatan
yang dibentuk itu, guna meringankan beban Pertamina. Menurut
Sadli, hutang Pertamina yang semula $AS 10,5 milyar itu, kini
sudah bisa ditekan hingga menjadi $AS 6,2 milyar. Menteri juga
menjelaskanemerintah tengah bersiap-siap untuk menjual beberapa
kekayaan PertaMina, berupa: gedung dan bangunan, tanah, alat
pengangkutan dan sebagainya. Pendeknya: mudah-mudahan
alhamdulilah. Biar tetap berat, asal jelas duduk soalnya.
Sebab menghitung hutang Pertamina selama ini memang baru
duga-dugaan, biarpun tak selamanya meleset. Majalah Newsweek
terbitan 17 Mei misalnya, mengutip keterangan dari Rachmat Saleh
bahwa kewajiban Pertamina itu kini mencapai $AS 6,2 milyar.
Hanya, menurut Gubernur Bank Sentral itu, seperti dimuat dalam
rubrik Interational Marketplace, Pertamina masih punya komitmen
tambahan sekitar $AS 2 milyar dalam pasaran tanker yang sangat
spekulatif itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini