Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Indeks Kehidupan Kualitas Udara atau AQLI menjelaskan bahwa penduduk DKI Jakarta, diperkirakan bakal kehilangan harapan hidup rata-rata 3-4 tahun akibat polusi udara. Perkiraan itu muncul dalam laporan pembaruan tahunan AQLI pada Selasa, 14 Juni 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Laporan tersebut menuliskan, seperti Asia Selatan, hampir seluruh Asia Tenggara (99,9 persen) sekarang dianggap memiliki tingkat polusi yang tidak aman. Polusi di wilayah itu meningkat dalam satu tahun sebanyak 25 persen di beberapa wilayah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Penduduk yang tinggal di bagian paling tercemar di Asia Tenggara, wilayah sekitar kota Mandalay, Hanoi, dan Jakarta diperkirakan akan kehilangan harapan hidup rata-rata 3-4 tahun,” tertulis dalam laporan itu.
Meskipun pada tahun pertama pandemi Covid-19 ekonomi dunia melambat, tapi polusi partikulat rata-rata tahunan global (PM2.5) sebagian besar tidak berubah sejak 2019. Disaat yang sama, semakin banyak bukti menunjukkan polusi udara, bahkan ketika dialami pada tingkat yang sangat rendah, membahayakan kesehatan manusia.
Fakta itu juga menyebabkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merevisi pedoman mereka, dari 10 μg/m3 menjadi 5 μg/m3, sebagai tingkat paparan polusi partikulat yang aman. Pedoman baru itu membawa sebagian besar dunia (97,3 persen global populasi) ke dalam zona tidak aman.
Laporan AQLI menemukan bahwa partikulat polusi udara merenggut 2,2 tahun harapan hidup manusia secara global, atau 17 miliar tahun kehidupan jika digabungkan. “Relatif terhadap dunia yang memenuhi pedoman WHO (5 μg/m3),” katanya.
Tingkat polusi Jabodetabek sempat menurun pada 2020
Di Pulau Jawa, wilayah dengan populasi tertinggi dan pusat industri di Indonesia, tingkat polusi turun pada tahun 2020 dibandingkan 2019. Di wilayah sekitar Jakarta yakni Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi atau Jabodetabek rata-rata konsentrasi PM2.5 tahunan mengalami penurunan sekitar 16 persen pada tahun 2020 menjadi 30,1 μg/m3.
“Namun, tetap saja, jika wilayah itu berhasil memenuhi pedoman WHO, sekitar 29 juta penduduk akan mendapatkan rata-rata kenaikan harapan hidup 2,5 tahun,” tertulis dalam laporan itu.
Sementara pada 2020, Sumatra Utara menjadi salah satu daerah di Indonesia yang paling tercemar. Namun, wilayah ini juga berhasil menurunkan kadar PM2.5 mereka. Di Medan, misalnya, konsentrasi PM2.5-nya turun dari 40 μg/m3 pada tahun 2019 ke 33,1 μg/m3 pada tahun 2020.
Di sini, penduduk bisa mendapatkan kenaikan 2,8 tahun harapan hidup jika pemerintah daerah setempat mampu memenuhi standar WHO.
Dampak harapan hidup enam kali lipat dari HIV/ AIDS
Laporan juga mengungkap bahwa dampak pada harapan hidup itu sebanding dengan aktivitas merokok yang dilakukan manusia. Namun, tiga kali lipat lebih dari konsumsi minuman beralkohol dan air yang tidak aman, enam kali lipat dari HIV/AIDS, serta 89 kali lipat dari konflik dan terorisme.
Direktur AQLI Christa Hasenkopf menjelaskan dengan memperbarui AQLI dan pedoman WHO baru berdasarkan ilmu pengetahuan terbaru, dia dan rekannya memiliki pemahaman yang lebih baik tentang biaya sebenarnya untuk menghirup udara yang tercemar.
“Sekarang pemahaman kami tentang dampak polusi terhadap kesehatan manusia telah meningkat. Ada alasan yang lebih kuat bagi pemerintah untuk memprioritaskannya sebagai masalah kebijakan yang mendesak,” tutur Hasenkopf.