Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Warung kelontong yang dikelola orang Madura di Jakarta selalu buka 24 jam.
Eksistensi mereka kian dikenal sejak pandemi Covid-19 merebak.
Sempat disebut habis tergusur minimarket modern, warung kelontong Madura malah bertambah banyak.
Jalan Kemandoran I, Jakarta Selatan, terbentang hanya sekitar 1 kilometer. Namun ada tiga warung kelontong yang dikelola orang Madura di sana. Sementara, cuma ada dua minimarket modern di lokasi tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu di antara warung kelontong itu dijaga Arifin, 42 tahun. Lapak berukuran 3 x 4 meter di depan pos sekretariat RW 04 Kelurahan Grogol Utara itu dipenuhi berbagai bahan pangan. Dari beras, minyak goreng, makanan ringan, minuman kemasan, hingga rokok. Di situ pula Arifin dan istrinya, Findri, 41 tahun, bermukim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasangan itu bergantian menjaga warung kelontong yang buka 24 jam tersebut. "Saya menjaga malam sampai subuh. Habis itu, istri melanjutkan," kata Arifin kepada Tempo di lokasi, Jumat, 31 Maret lalu. Dia dan istrinya baru sebulan bekerja di sana, menggantikan pegawai lama, juga suami-istri, yang pulang kampung. Dia mengaku tak mengenal pemilik warung. "Cuma tahu dia orang Madura."
Warung kelontong tergeser oleh minimarket yang menjamur sejak awal 2000-an. Namun pandemi Covid-19 membawa perubahan. Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) mulai awal 2021 memangkas waktu operasional minimarket hingga pukul 19.00. Sementara itu, toko kelontong tetap buka, wabilkhusus warung milik orang Madura, yang tak ada jam tutup dan menjadi satu-satunya tempat belanja warga pada tengah malam. “Begitu pandemi mereda, warung Madura pun tetap jadi incaran,” kata Bhima Yudhistira, Direktur Pusat Studi Ekonomi dan Hukum (Celios).
Warung kelontong Madura di Jakarta, 1 April 2023. TEMPO/Ilona Esterina Piri
Buka 24 jam menjadi ciri khas warung Madura. Entah siapa yang memulai. Namun, setidaknya di Jakarta, hal itu menjadi konsensus di antara mereka. Kedai diatur sedemikian rupa. Misalnya, bagian depan warung yang hanya dibatasi etalase rokok dan barang jualan lain tanpa ada pintu warung. Kulkas untuk menjual minuman dan jajanan yang digantung kawat sengaja diletakkan di luar toko. “Memang dibuat enggak bisa ditutup warungnya,” kata Arifin.
Selama 24 jam itu pula Arifin dan istri menghabiskan hari di kedai berukuran 3 x 4 meter tersebut. Tak ada ruang privat, kecuali kamar mandi kecil. Mereka tidur bergantian menggunakan kasur lipat di tengah barang dagangan. "Kalau mau masak, kasur digeser dulu," ujarnya.
Di lapak sebelah, Muhammad Ridwan lebih beruntung. Pria berusia 47 tahun asal Sumenep, Madura, itu mendapat ruang tidur kecil di samping toko, lengkap dengan televisi. Seperti Arifin, Ridwan selalu ambil shift malam saat istrinya beristirahat. Modal kerjanya saban malam adalah kopi saset. Untuk mengusir kantuk, dia menelepon temannya di kampung halaman, lalu mengobrol ngalur-ngidul. Dia telah bekerja sebagai penjaga warung selama 20 tahun. "Alhamdulillah, aman-aman saja buka tengah malam."
Warung non-Madura mengakui daya tahan sejawat mereka. "Yang kuat jaga sampai 24 jam cuma warung Madura," kata Elsa Lubis, 26 tahun, pemilik toko kelontong Ucok Batubara di Kebayoran Lama. Lapaknya di Jalan Baru II, Jakarta Selatan, tutup paling lambat pukul 22.00.
Buka 24 jam memberi keuntungan bagi pemilik. Muhammad Cholil, 26 tahun, karyawan Toko MDR di Jalan Baru II, Kebayoran Lama, mengatakan gerai itu bisa meraup lebih dari Rp 10 juta sehari. "Selama ini tak pernah tutup. Buka setengah hari saja tidak pernah," kata pria asal Bangkalan, Madura, tersebut.
Toko MDR—singkatan dari mudah ditebak, Madura—buka sejak lebih dari 20 tahun lalu. Cholil, keponakan pemilik toko, merupakan salah satu dari lima karyawan. Dia mengatakan, setelah pandemi, makin banyak pengusaha Madura membuka warung kelontong di Jakarta. "Paling banyak dari Sumenep," ujarnya.
Mahwi Air Tawar, 39 tahun, mantan pemilik toko kelontong, mengatakan kuatnya kekerabatan ikut membuat warung Madura menjamur. Menurut pria asal Sumenep itu, ada semacam scout yang mengumpulkan informasi seputar pasar warung kelontong di berbagai kantong permukiman di Jakarta dan dilaporkan ke para pemilik modal di Madura.
Keunikan lain dari warung Madura, Mahwi melanjutkan, adalah sistem bagi hasil. Misalnya, dari pendapatan harian Rp 2 juta, sebanyak Rp 1,8 juta digunakan untuk belanja bahan, sisanya, Rp 200 ribu, dibagi rata antara pemilik dan penjaga warung. "Ini yang bikin penjaga juga merasa memiliki warung," kata penulis cerpen itu.
Bhima Yudhistira menilai pengusaha warung kelontong asal Madura memiliki keunggulan mentalitas berupa keberanian dan kecerdikan dalam berbisnis. “Begitu ada lokasi strategis, tanpa pikir panjang langsung datangkan saudara untuk buka warung,” kata dia. "Bahkan ada yang dengan berani membuka warung persis di depan minimarket modern."
Warung kelontong Madura di Jakarta, 1 April 2023. TEMPO/Ilona Esterina Piri
Keuntungan bagi Konsumen
Konsumen ikut merasa diuntungkan oleh kehadiran warung kelontong tradisional. Dewi, 41 tahun, warga Kemandoran, merasa terbantu ketika ada kebutuhan mendesak saat tengah malam. "Apalagi seperti sekarang ini, untuk sahur," katanya. "Harganya juga sebagian lebih murah daripada minimarket."
Tempo membandingkan harga sejumlah produk di minimarket dan warung Madura di Jalan Kemandoran I. Biskuit Roma Malkist dijual Rp 8.900 di minimarket dan Rp 8.000 di warung. Sedangkan minuman botol Nu Green Tea Rp 7.100 di minimarket dan Rp 6.000 di warung.
Selain jam buka dan harga, Bhima Yudhistira mengatakan warung Madura punya keunggulan lain berupa pilihan produk yang relatif lengkap dan lokasi yang tersebar di tengah permukiman.
Konsumen bisa mengenali pemilik warung dari penataan barang dagangan. Warung Madura biasa menempatkan beras dalam sekat-sekat dari kaca atau akrilik, sedangkan warung yang pemiliknya bersuku Batak lebih suka memajang beras dalam ember. Adapun warung yang pemiliknya suku Aceh menempatkan beras dalam sekat berbahan kayu. Perbedaan lain terlihat di susunan rokok. Di warung Madura, rokok ditumpuk secara horizontal, sedangkan di warung Batak, rokok dipajang menghadap muka—seperti di minimarket. Ciri khas lain dari warung Madura adalah snack, seperti Chiki dan Chitato, yang digantung bertumpuk menggunakan kawat. Sedangkan warung lain lebih suka memajangnya secara rencengan.
ILONA ESTERINA PIRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo