Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Bayi yang lahir dengan berat kurang dari 1.500 gram atau di usia kehamilan kurang dari 37 minggu disebut prematur. Bayi prematur menjadi penyumbang terbesar angka kematian bayi dan cacat fisik. Kelahiran prematur juga menjadi penyebab kematian kedua tersering pada balita setelah pneumonia. Baca: Kiat Merawat Bayi Prematur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bayi prematur berisiko memiliki kelainan pada otak, jantung, dan pernapasan. Selain itu, bayi prematur juga memiliki risiko mengalami gangguan mata yang disebut Retinopati Prematuritas (ROP). Penyakit ini diduga disebabkan oleh pertumbuhan pembuluh darah retina yang tidak sempurna.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dokter spesialis mata anak Rita Sita Sitorus, gangguan mata ROP dapat terjadi dalam skala ringan, yang dapat menghilang secara spontan seiring dengan perkembangan retina bayi. Tapi ada juga yang mengalami ROP dalam skala berat yang dapat mengakibatkan kebutaan. Baca juga: Faktor Pemicu Bayi Lahir Prematur
“Walaupun angka kejadian kebutaan pada anak tidak setinggi kebutaan pada orang dewasa, beban emosional, sosial, ekonomi yang harus dibayar akibat kebutaan seorang anak lebih besar daripada orang dewasa,” ujarnya dalam seminar kesehatan di Jakarta, Jumat, 27 Oktober 2017.
Guru besar departemen ilmu kesehatan mata Universitas Indonesia ini menekankan pentingnya pencegahan kebutaan pada bayi yang lahir prematur. Selama ini cara pencegahan atau merawat bayi prematur di Indonesia masih sangat kurang. Artikel terkait: Bunda, Inilah Faktor Penyebab Bayi Lahir Prematur
Meskipun kini angka kematian bayi prematur telah berkurang karena ketersediaan fasilitas inkubator neonatal intensive care units (NICU) di rumah sakit, kasus ROP diperkirakan masih akan meningkat karena banyak bayi prematur yang bertumbuh menjadi anak-anak.
“Walaupun standar dan pedoman tata laksana penanganan ROP sudah ada, sayangnya tidak banyak dipatuhi secara sistematis karena kurangnya pelatihan, kapasitas, dan ketidakmampuan untuk mengidentifikasi bayi berisiko dan merujuk untuk mendapatkan perawatan,” ujar Rita.