"BOM" itu telah dijatuhkan dan para pelakunya seperti tidak tahu menahu bahwa mereka telah menghenyakkan orang banyak. Luar biasa. Profesor Sumitro Djojohadikusumo dan Taipan William Soeryadjaya, keduanya jago tua yang mendadak tampil bersama mempertahankan sebuah aset nasional bernama Astra. Dalam upaya itulah mereka melontar kejutan yang membuat kita tersentak dan sekaligus mengalihkan perhatian kita dari isuisu lain, seperti UU Lalu Lintas, pergantian pimpinan teras ABRI, atau surat sakti yang menghantui bank-bank pemerintah. Pak Cum begitu panggilan akrab Sumitro mulai 1 Agustus 1992 resmi jadi chairman PT Astra International Inc., sebuah perusahaan go public yang mempekerjakan sekitar 50.000 orang, dengan 57 anak perusahaan, omzet Rp 4,3 trilyun, utang Rp 2 trilyun, serta menguasai 54% pangsa pasar otomotif di Indonesia. Astra adalah teladan untuk sebuah sukses usaha yang dicapai dengan keuletan dan kerja keras selama sekitar 20 tahun. Dan mencerminkan pohon rindang yang tersohor dengan stuktur organisasi yang kukuh dan manajemen yang profesional. Kini kemudi Astra dipercayakan ke tangan nakhoda baru. Bersamaan dengan itu, Oom Willem panggilan akrab William Soeryadjaya turun dari pucuk pimpinan Astra, dan akan memusatkan seluruh perhatian dan kegiatannya pada Summa. Tamsil apa yang bisa ditemukan dalam peristiwa penting tersebut di atas, yang ikut mendominasi halaman koran-koran Jakarta selama beberapa hari sepanjang pekan silam? Satu hal pasti, tiba-tiba saja kita menyadari bahwa Astra, yang bulan silam diharapkan bisa tetap berdiri kukuh, ternyata memerlukan penopang ekstra. Konglomerat ini diguncang dari dalam oleh rongrongan Summa dan terancam dari luar oleh "todongan" para pesaingnya yang berusaha memanfaatkan peluang emas ini untuk menerkam Astra. Bila Sumitro menyebutnyebut hostile takeover maka yang dimaksudnya adalah terkaman para pesaing itu. Andai kata terkaman itu menancap ke Astra, maka tahulah kita bahwa bisnis yang sedang dan kelak berkembang di sini adalah bisnis yang berorientasi pada kekuasaan dan penaklukan, bukan bisnis yang mengutamakan persaingan fair dan sehat. Bisnis semacam ini tidak mengenal prinsip live and let live, dan baginya etika bisnis bukan "kitab suci". Hal lain yang juga mengusik alam pikiran kita ialah bahwa tidak semua pengusaha bisa mengandalkan seorang Profesor Sumitro yang pernah tiga kali menjadi menteri, sangat menguasai teori dan seluk-beluk praktek ekonomi, tokoh yang dihormati baik di dalam maupun di luar negeri. Kebetulan juga Prof. Sumitro adalah besan Presiden Soeharto, hingga lengkaplah unsur-unsur kombinasi yang langka itu pada dirinya. Tak heran kalau ada yang bersuara, tanpa Sumitro sulit dipercaya bahwa Astra akan keluar dari bayangbayang kemelut Summa dalam keadaan utuh. Kesedian Sumitro memikul tanggung jawab baru di Astra merupakan bagian pokok Laporan Utama minggu ini. Dan profesor yang berusia 75 tahun itu tetap akan menulis buku demi panggilan jiwa seorang idealis. Isma Sawitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini