PUCUK pimpinan PT Astra International Inc. (AII) menjadi penting sejak terbetik berita, Rabu pekan silam, mengenai kemungkinan diisinya posisi itu oleh Prof.Dr. Sumitro Djojohadikusumo. Kalau benar, ini berarti pendiri Astra, William Soeryadjaya, harus lebih dulu "turun takhta". Hal ini tak pernah terbayangkan, bahkan ketika Bank Summa dilanda krisis keuangan akhir Juni silam. Kamis malam, sehari sesudah berita itu tersiar, para pemimpin redaksi media cetak di Jakarta dijamu makan malam dan berbincang-bincang dengan Om Wilem dan Pak Cum nama populer Prof. Sumitro untuk kalangan dekat. Selepas dari acara itu kedua jago tua tersebut kabarnya masih melanjutkan pembicaraan di kediaman William di kawasan Menteng, Jakarta. Selang satu hari, tanpa diliput pers, Sabtu siang berlangsung acara serah terima jabatan chairman AII dari William Soeryadjaya kepada Sumitro Djojohadikusumo. Upacara ini diadakan di kantor pusat AII, Jalan Juanda, Jakarta. Jadi, itulah puncak berita besar sepanjang pekan silam. Bagi warga Astra, Om Willem telah pergi terhitung pukul 14.00 Sabtu, 1 Agustus 1992. Sampai detik itu proses pergantian pucuk pimpinan di perusahaan konglomerat Astra terkesan mengejutkan. Dari keterangan yang berhasil dikumpulkan TEMPO, proses itu sudah dirintis sejak Mei berselang. Memang, calon pengganti Om Willem dari awal adalah Prof. Sumitro. Untuk itu diadakan pembicaraan berantai sampai sebelas kali, sedangkan dari pihak Pak Cum, setidaknya melakukan konsultasi dulu dengan Presiden Soeharto dan Gubernur BI Adrianus Mooy. Kalau tidak salah, pada 1 Juni Sumitro mendapat greenlight dari Pak Harto. Dua belas hari kemudian Pak Cum bertemu dengan Gubernur BI Adrianus Mooy. Dalam kesempatan itu otoritas moneter ini berpesan agar dilakukan decoupling antara Summa dan Astra. Pesanpesan itu diramu dalam upaya perombakan struktur kedua perusahaan itu, yang intinya satu: pemisahan tegas, baik dalam kepemilikan maupun manajemen Astra dan Summa. Seperti diketahui, Bank Summa sejak tahun lalu mengalami krisis keuangan yang parah. Masyarakat maupun para bankir menduga bahwa krisis Summa akan menular ke Astra. William Soeryadjaya, yang menjabat presiden komisaris di Astra Group maupun di Summa Group, telah berulang kali menegaskan bahwa Summa dan Astra adalah dua perusahaan yang berbeda. Tapi suara Oom Willem sulit diterima masyarakat dan para kreditur Astra. "Kami menyimpulkan barangkali karena kami memegang jabatan chairman dari Astra dan Summa. Sehingga kami memutuskan, salah satu jabatan itu harus kami lepaskan," tutur William. Mengapa William menjatuhkan pilihan pada Prof. Dr. Sumitro? "Pak Sumitro sudah 40 tahun menjadi teman kami, mengerti ekonomi, dan terintegrasi baik dengan Astra," demikian pertimbangan sang taipan. Bahwa Sumitro, ayatullah ekonomi Indonesia ini, kenal Astra tentu tak bisa dibantah lagi. Sumitro pernah jadi konsultan Astra tahun 1982-1988. Kendati kini ia memencilkan diri karena sibuk menulis buku, Pak Cum masih terlibat di Astra sebagai presiden komisaris dari anak perusahaan Astra, PT Bank Universal. Tapi bahwa William dan Sumitro sudah 40 tahun jadi hopeng alias sahabat karib, praktis tidak diketahui orang banyak. Adalah Sumitro sendiri yang mengungkapkan hubungan akrab itu. "Kenalan saya banyak, tapi teman sedikit. William itu teman saya sejak lama." Persahabatan mereka ternyata sudah dimulai ketika Sumitro belum mempunyai posisi apaapa dalam pemerintahan. Malah persahabatan itu terjalin justru ketika Sumitro sedang dalam posisi kurang nyaman, akibat pertentangan politiknya dengan pemerintahan Orde Lama di bawah Presiden Sukarno. Orang desa dari kawasan Banyumas, Jawa Tengah, ini lalu bergabung dengan pemberontak PRRIPermesta dari Sumatera dan Sulawesi, dan kemudian melarikan diri ke Malaysia. "Di dalam pengasingan itu tak seorang pun kenalan saya berani menghubungi saya, menelepon pun tidak. Dan hanya keluarga William Soeryadjaya yang senantiasa datang pada saya," tutur Sumitro. Padahal ketika itu William (Tjia Kian Liong) dan saudaranya (Tjia Kian Tie) baru mulai merintis Astra dengan modal sangat kecil. William dan saudaranya sudah terjun dalam bisnis sejak 1949. Namun mereka tersudut oleh program Benteng. Usaha keluarga Tjia di bidang kerajinan kulit dan pabrik kretek bangkrut. Baru tahun 1957 keluarga Tjia mendirikan perusahaan baru, yakni Astra International. Ketika itu modal Astra masih sangat kecil. Bintang cerahnya, yang dalam bahasa Yunani dikenal sebagai Astra, baru bersinar sepuluh tahun kemudian, Astra mendapat rezeki nomplok "menang jackpot", menurut istilah Oom Willem. Astra yang mulamula berkecimpung dalam perdagangan (eksporimpor) pada tahun 1967 mendapat pesanan PLN untuk mengimpor pembangkit listrik bernilai US# 2,8 juta. Astra memesan genset itu dari General Motors Amerika. Untuk pembiayaannya, Astra mendapat kredit devisa BE (bonus expor) dari USAID (United States Agency for International Development). USAID ternyata menolak mencairkan kredit karena kontrak PLN untuk Astra tidak dimenangkan lewat tender. Devaluasi kurs rupiah terhadap dolar dari Rp 141 menjadi Rp 378 menyebabkan PLN membatalkan kontrak. Sementara itu, USAID telah setuju jika Astra mengimpor produk lain dari General Motor. Astra kemudian mengimpor 800 truk, tapi untungnya sedikit. "Jackpot yang kami dapat adalah akibat devaluasi tadi," kata William. Ketika itu Astra bisa memetik keuntungan sekitar Rp 383,6 juta. Namun keuntungan itu dipakai William "membantu" pabrik mobil milik pemerintah, PT Gaya Motor, yang sudah terancam bangkrut. William menyuntikkan modal dengan membeli 40% saham. Sumitro, yang kembali ke Indonesia di zaman Orde Baru, merasa punya utang budi kepada William. "Kebetulan pada tahun 1969 pabrik mobil Toyota sedang mencari mitra usaha di Asia Tenggara. Saya lalu merekomendasikan Willem bertemu dengan Perdana Menteri Jepang, Fukuda. Fukuda dekat dengan saya dan juga akrab dengan keluarga Chiyoda " tutur Sumitro. Setahun kemudian Astra dan Toyota mendirikan PT Toyota Astra. "Saya tidak mendapat saham atau komisi. Semua itu saya lakukan demi teman," tutur Sumitro. Ketika PT Toyota Astra terbentuk, Sumitro kebetulan mendapat jabatan sebagai Menteri Perdagangan. Sejak itu Sumitro dan William menjaga jarak. "Pokoknya, tak ada bisnis William yang tidak senonoh (dengan saya sebagai pejabat)," Sumitro memastikan. Tahun 1982, ketika dunia bisnis di Indonesia mulai terancam resesi, William pun mengajak Sumitro untuk ikut menjadi konsultan di Astra. Tahun 1985 Edward Soerdyadjaya, putra sulung William, mulai melakukan ekspansi besarbesaran. "Ketika itu saya sudah beri nasihat kepada William supaya hati-hati, karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi (tahun 1970an) sudah akan mengalami slowing down (menurun)," tutur Sumitro. "Itu betul. Nasihat itu bisa diterapkan Astra, tapi tidak diterapkan Summa," ujar William. Akibatnya, William ternyata harus ikut menanggung risiko Summa. Ternyata William tidak mudah mengontak Sumitro. Maklum, sejak 1988 Sumitro merasa terpanggil untuk menulis buku pegangan ekonomi, khususnya untuk diwariskan kepada para mahasiswa dan dosen ekonomi yang berada di pelosok dan kurang mampu. Karena itu tempat Sumitro sangat dirahasiakan katanya di Kebumen, padahal masih di sekitar Jakarta dan hanya cucucucunya yang bisa menelpon dia langsung. Usaha mereka menembus benteng Sumitro berhasil. Tanggal 22 Mei tim manajemen Astra mengutarakan masalah yang dihadapi. Seorang putra William dan temannya menekan Astra agar membantu Summa. Setelah mengumpulkan berbagai data dan mengecek langsung, Sumitro akhirnya merasa terpanggil untuk terlibat langsung di Astra. "Terutama karena Astra adalah aset nasional, selain William adalah teman," alasannya. Dan ternyata tidak tanggung-tanggung. Sumitro bersedia menggantikan William sebagai Ketua Dewan Pimpinan Astra. Sebagai presiden komisaris, Sumitro telah menyusun program jangka pendek. Ia menargetkan bahwa masalah yang dihadapi sudah tuntas. Sasarannya pertama adalah memulihkan kepercayaan masyarakat dan para bankir terhadap Astra. Untuk itu ia akan mengatur pemisahan personalia dan keuangan Astra. Dan yang kedua adalah rencana penjualan saham Astra milik William. Kalau mau dijual harus kepada investor murni beritikad baik. Karena itu, penjualan saham Astra oleh William harus seizin Preskom Sumitro. "Investor baru yang akan masuk akan diusahakan untuk tidak menguasai saham lebih dari 15%. Ini adalah angka yang lazim bagi pemegang saham untuk meminta kursi dalam dewan direksi," kata Sumitro. "Yang harus dijaga adalah jangan nanti pembelinya mempreteli perusahaan-perusahaan Astra. Astra adalah aset nasional karena sudah merupakan industri yang cukup berpengaruh dalam ekonomi Indonesia. Di dalamnya ada puluhan ribu tenaga kerja," kata pakar ekonomi kawakan itu. Calon pembeli saham William, menurut Sumitro, yang paling cocok sekarang ini adalah investor asing. "Mustinya sih lembaga-lembaga asuransi kita, tapi mereka kan belum siap," kata Sumitro. Presiden Komisaris Astra ini membantah bahwa Astra dikatakan tidak sehat. "Kalau tidak sehat, World Bank pasti akan menyuruh IFC keluar dari Astra. Laporan keuangan Astra juga sudah diaudit. Bukan cuma dengan predikat wajar tanpa syarat, tapi oleh akuntan SGV yang membawa nama perusahaan akuntan wahid nomor dua di dunia, Arthur Anderson," kata Sumitro. Salah satu program Sumitro sudah terlaksana, yakni lepasnya jabatan rangkap William Soeryadjaya di Astra dan Summa. Sementara ini beberapa personalia yang merangkap di Summa dan Astra, seperti Hagianto Kumala (dari PT United Tractor) dan Subagyo Wiroatmodjo dipersilakan memilih satu posisi saja, di Astra saja atau Summa. Sedangkan proses penjualan saham William ditargetkan sudah akan selesai tahun ini juga. Para direksi Astra, seperti Teddy P. Rachmat dan Edwin, tidak akan diubah. "Mereka adalah tenaga profesional yang masih muda. Belum perlu diganti," kata William. Kalaupun di antara mereka sudah ada yang memiliki perusahaan sendiri menurut Om Willem cepat atau lambat tentu hal itu terjadi juga tapi bagi Astra tak jadi masalah. Max Wangkar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini