Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ya Olahraga, Ya Makan Enak

Kebutuhan rekreasi terpenuhi. Menu makanan, selain beragam, juga lezat.

25 November 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERJALAN di halaman dalam penjara Port Phillip di antara sembilan blok sesekali membuat bulu kuduk ini berdiri. Maklum, tak sering saya masuk ke tempat seperti ini. Kalaupun pernah, itu hanya sebatas di ruang jenguk berbaur dengan puluhan pembesuk.

Menginjak blok kriminal biasa setelah keluar dari bangsal tempat penjara para pemuda, pemandangan di sana memang berbeda. Satu yang sama, keramahan narapidana yang bertemu pandang dengan saya. Semua masih saja mengangguk saat kami bertatap pandang.

Di sebuah halaman belakang blok penjara yang terkurung ram kawat. Empat orang hilir-mudik berjalan di atas sebuah karpet karet yang luasnya tidak lebih dari 35 meter persegi. Mereka mondar-mandir, satu di antaranya sambil mengapit rokok di jari. Sesekali asapnya ia semburkan sekaligus. Rileks sekali.

"Berjalan di karpet yang sempit itu adalah salah satu bentuk rekreasi yang kami berikan untuk para tahanan, menghirup udara luar yang segar, sekadar melatih otot kaki agar tidak kaku," kata Nick Selisky, Manajer Operasional Penjara Port Phillip. Penjara seluas lima hektare itu terletak 24 kilometer di barat daya Melbourne.

Masih di halaman belakang, terdapat sebuah samsak tinju tergantung dan dibiarkan tak digebuk. Di sudut lain, seorang narapidana mencoba mengangkat-angkat barbel dengan posisi telentang dibantu seorang rekannya. Mereka kelihatan sangat santai, tak seperti layaknya orang hukuman.

"Selain kunjungan keluarga, rekreasi olahraga semacam ini yang mereka butuhkan selama masa hukuman," kata Selisky sembari menunjukkan sebuah sepeda statis baru, mirip dengan yang ada di pusat-pusat kebugaran di kota besar. "Semua itu sumbangan masyarakat yang peduli pada rekreasi para narapidana."

Sementara itu, di halaman yang agak terbuka, bola rugby ditendang kuat. Satu orang berperan sebagai penangkap, lainnya jadi pelempar. Mereka biasa saja, tak tampak garang dan tegang, malah tersenyum. Menurut Selisky, waktu rekreasi dibatasi tiga jam pada pagi hari dan tiga jam berikutnya pada sore hari. Selebihnya, malam tidur, atau bekerja pada industri yang disediakan.

Kembali ke dalam ruangan, pandangan saya tertuju pada seorang pemuda yang sedang memainkan telepon umum. Ia tampak ragu memasukkan koin. Diane, sipir wanita di blok itu, menjelaskan kepada saya bahwa telepon umum tersebut dipasang sebagai alat komunikasi antara narapidana dan keluarganya yang jauh di luar penjara.

"Bahkan bisa menelepon ke nomor internasional," katanya. Namun, untuk sambungan telepon ini, mereka harus membayar sesuai dengan durasi pembicaraannya, persis seperti di luar penjara.

Soal kunjungan, Port Phillip yang berpredikat maximum security ini tidak seangker predikatnya. Setiap hari dalam satu tahun dari pukul 9 pagi hingga 5 sore, pembesuk bisa berjumpa dengan suami atau pacar bahkan mungkin ibu mereka yang berkunjung. Berdasarkan data G4S, perusahaan swasta pengelola penjara ini, setiap hari ada 200 pembesuk.  

l l l 

Wirawan Kartono, Wakil Konsulat Jenderal Bidang Konsuler dan Protokoler di Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Melbourne, tak henti-hentinya meyakinkan saya bahwa menu makanan di penjara Australia istimewa. Saya tentu tak percaya.

Kemudian ia menyerahkan selembar ­kertas berisi menu makanan untuk para ­pesakitan di rumah tahanan metropolitan di pinggiran Kota Melbourne itu. Perinciannya membuat mata melotot dan air liur menetes. Ada fish chips and salad, sapi, babi, dan ayam panggang, serta pasta dalam daftar menu santap malam mereka. "Hampir semua makanan seperti ini jadi standar penjara di sini," kata lelaki yang punya gawe rutin berkeliling penjara-penjara di Negara Bagian Victoria untuk mendampingi para tahanan asal Indonesia ini.

Masih tak percaya, saya bolak-balik membaca kertas itu. Mushroom quiche, misalnya, yang merupakan makanan khas suku Maya, serupa kue tart dengan isian jamur, keju, dan irisan daging sapi atau babi. Amboi. "Yang masak makanan itu mungkin salah satunya Jefrey, orang Indonesia," kata Wirawan.

 Lelaki lulusan Universitas Padjadjaran itu lantas bercerita tentang Jefrey Siregar, warga Indonesia berusia 42 tahun yang mendekam di Port Phillip lantaran tertangkap dalam kasus penyelundupan manusia pada Juni 2010. Ia divonis lima tahun penjara, tapi berkesempatan mendapat pembebasan bersyarat setelah menjalani tiga tahun hukuman. Berarti ada kesempatan pada Juni 2013 ia bisa pulang kampung.

"Ia dinilai berkelakuan sangat baik. Di sini ia bekerja sebagai koki," kata Wirawan. Sayang, sebagai jurnalis, saya tidak diperkenankan bertemu dengan alasan peraturan.

Lantaran baik, Jefrey hendak dipindahkan ke penjara lain yang lebih nyaman: Penjara Loddon, yang terletak di Castle­maine, satu setengah jam dari pusat Kota Melbourne. Sebuah penjara dengan tingkat medium security, yang pengamanannya lebih longgar dibanding Port Phillip.

Menurut Wirawan, fasilitas di Loddon—dia pernah berkeliling di dalamnya—lebih wah. Bayangkan saja, setiap bangsalnya memiliki televisi LCD 40 inci. Peralatan kebugaran lebih lengkap, sarana olahraga lain pun lebih memadai.

Sayang, baru sepekan, Jefrey tak betah. Ia lebih memilih balik ke penjara sebelumnya. "Soal adaptasi dan perkawanan jadi pertimbangannya. Ia lebih betah di Port Phillip," kata Wirawan, yang akhirnya kembali mengantar Jefrey pulang ke penjara asal.

Wirawan mengatakan kenyamanan di penjara-penjara Australia memang menonjol. Ia tak mau membandingkannya dengan penjara di Indonesia karena banyak faktor yang jauh berbeda. "Maknyus kan menunya? Jefrey saja betah," ujar Wirawan menggoda.

Saya setuju 100 persen dengan Wirawan. Permainan terkenal dari pabrikan ­game PlayStation 2 bertajuk Grand Theft Auto, yang dimainkan dengan mahir seorang pemuda 20-an tahun di depan televisi tabung 29 inci di Port Phillip, terus membetot kembali ingatan saya. Senyumnya mengembang ke arah saya tatkala game yang menceritakan petualangan seorang penjahat di berbagai kota itu beranjak ke level berikutnya. Walau di dalam bui, ia tampak santai. Rileks sekali.

Sandy Indra Pratama (Melbourne)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus