Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bukan Seni Bukan Desain

Karya seniman dan perancang memasuki wilayah abu-abu dalam batas antara seni dan desain. Apakah ini "keserbabolehan" yang berlaku dalam praktek seni rupa?

25 November 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ruang pameran Lawangwangi Creative Space, yang tampak menjulang di Bukit Mekarwangi, Bandung, disesaki berbagai barang. Di mana-mana ada meja, kursi, rak buku, lampu, pot, sofa, peralatan makan, jam dinding, radio, cantelan baju, dan berbagai barang lain. Itulah pameran "Design/Art, Renegotiating Boundaries", yang berlangsung 3-25 November 2012 dan sekaligus menandai peresmian Lawangwangi Design Space sebagai perluasan fungsi Lawangwangi Art and Science Estate. Pameran ini menampilkan karya 47 seniman dan perancang dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Bali.

"Design/Art" menandai sebuah istilah berwajah ganda. Istilah itu tidak memisahkan desain dan seni dalam kotak yang berbeda. Apakah sebuah sofa atau kursi, misalnya, mungkin dilihat sebagai patung? Tidakkah sebuah tas atau mainan yang menggemaskan bisa mirip obyek seni? Di situ, persepsi tentang apa itu tugas seniman dan batasan kerja perancang bisa batal.

Di masa lalu, orang membedakan antara seni dan desain. Masing-masing mewakili gagasan tentang bagaimana mengeksplorasi keindahan (pada seni) dan bagaimana menciptakan sesuatu yang bermanfaat (bagi desain). Tapi pergeseran paradigma desain (yang makin kerap dipakai sebagai kanal subyektivitas perancang) dan perkembangan seni kontemporer (yang berupaya menyerap tradisi-tradisi yang selama ini dipinggirkan, semisal tradisi kriya) makin membuat keduanya beranjak ke wilayah abu-abu. Asmudjo Jono Irianto, kurator pameran ini, menyebut karya-karya di pameran itu sebagai "persinggungan antara seni dan desain".

Sejumlah karya di pameran ini, misalnya, menampilkan barang yang diciptakan karena fungsinya, seperti kursi dan sofa. Mitchy menggubah bentuk kursi—dan lampu tegak—dengan sandaran miring ­(Crosswind Chair and Standing Lamp), P. Sancoko memanfaatkan keelastisan batang lidi (Kursi Sederhana), dan Tejo Satmoko merajut lonjoran besi untuk menciptakan dudukan yang ganjil (Autumn). Ketiganya masih bisa menjalankan fungsi sebagai tempat duduk, tapi sudah melanggar standar kenyamanan. Dengan demikian, karya-karya itu lebih cocok sebagai obyek seni atau patung.

Meizan Diandra lebih kompromistis dengan menggabungkan kayu, kanvas, dan metal untuk menjahit bantalan kursinya di atas koper besi amunisi (Amno Chair). Goy Gautama membayangkan moncong mobil VW sebagai temuan estetis (Kursi Berbentuk Mobil VW Karmann Ghia). Terobosan bahan, misalnya, juga dilakukan oleh Faisal Reza dengan Stoel Zitten, sebuah kursi berbahan akrilik berbentuk orang setengah jongkok.

Kita juga menjumpai sikap main-main seniman seperti terlihat pada Kursi Bulan Sabit dan Bantal Bintang Merah karya S. Teddy D., yang lebih mengesankan patung lunak. Tampaknya tempat segede ini hanya bisa menampung satu orang. Sofa Teddy lebih merupakan sebuah medium untuk menyampaikan pesan seniman. Dalam kalimat Asmudjo, beberapa barang itu memang menunjukkan aspek fungsional, tapi sekaligus juga mensubversinya. Bukankah itu asumsi mengenai "keserbabolehan" yang berlaku dalam praktek seni rupa belakangan ini?

Dari kalangan seniman—yang tampak dari seniman Yogyakarta—muncul benda-benda aneh yang seakan-akan hanya terinspirasi dari fungsi sehari-hari. Lihatlah The Guardians karya Mella Jaarsma, berupa seperangkat sendok dan centong bergagang kaki-kaki binatang. Yuli Prayitno berangan-angan mengenai rak-rak buku yang tipis, halus, tidak lurus, tapi mengikuti lekuk anatomi hewan (babi, sapi, dan ayam). Mulyana membuat karya terutama dari bahan benang, dakron, dan kain, seperti sebuah obyek boneka pop dengan konstruksi lunak dan berbentuk binatang laut (Camouflage).

Nindityo Adi Purnomo dan Ali Robin bahkan jelas-jelas membuat obyek dan karya instalasi. Nindityo menciptakan Innocence Horn Installation, berupa tasbih raksasa dari bahan kayu dan aluminium serta besi pengeras suara berbahan batu granit. Ali Robin menghadirkan mesin ketik yang menyemburkan api (Dari Peradaban yang Tersisa). Ketimbang terobosan terhadap tata rancangan atau pesan visual desain, karya ini lebih merupakan representasi subyektif seniman. Seniman senior Ahadiat Jowdawinata menunjukkan kelaziman gubahan berbentuk wadah (Massa yang Dilipat/Di Dalamnya Ada Kehidupan), yang menunjukkan kehalusan garapan.

Kalangan perancang, yang umumnya dari Bandung, menyampaikan pesan berbeda. Pesan yang berkenaan dengan kepraktisan atau manfaat barang seraya mengunggulkan kreativitas dan kecanggihan garapan. Singgih Susilo Kartono menggubah raut ikonik perangkat elektronik modern berupa radio dari bahan kayu (Radio Magno). Radio Magno hemat rancangan, menampilkan warna alami kayu yang menggugah persepsi kita akan memorabilia atau perabot lama yang belum sepenuhnya pudar.

Adapun Zanun Nurangga menggubah cantelan baju berbentuk contong es krim dengan warna-warni cerah yang menancap di tembok (Gelato Wallhook). Adhi Nugraha dan Amirul Nefo merancang tas dengan memanfaatkan aneka bahan, dari karung beras, kulit, kain batik, sampai parket sisa pabrik. Barang-barang itu dipakai untuk mendapatkan sebuah rancangan yang apik dan terperinci. Keduanya memang lulusan Jurusan Desain Institut Teknologi Bandung.

Hermawan Tanzil, perancang dari Jakarta, yang berlatar seni dan kriya, memperkaya huruf Jawa dengan menambahkan ornamen naga yang rumit. Huruf adalah rancangan yang pertama kali menyerap pengaruh perkembangan komputer. Dengan gubahan manual yang rumit, Satwa Caraka karya Hermawan menunjukkan kreativitas perancang dengan kesadaran akan kelokalan.

Di pameran ini, jarang kita melihat seniman atau perancang yang tertarik menggubah barang atau peralatan kecil. Padahal barang-barang itu bisa sangat menantang kreativitas para perancang. Dari yang sedikit itu, ada Patricia Untario, yang menciptakan benda-benda dari kaca mirip ­hiasan mungil (Springfield), dan Yudi (Yellow Dino), yang menampilkan himpunan tokoh mainan berukuran mini dari bahan resin dan akrilik transparan (Mini Goji ­Clear Color Series). Ada Grup Kandura dengan serangkaian produk keramik di atas meja dan Aditya Novali dengan Sanctuary Series berupa kotak perhiasan dan isinya berwujud kerangka tubuh manusia.

Memang banyak kategori bisa ditemukan di pameran ini: seni, bukan seni, desain, bukan desain, design craft, design-art, art-craft, dan seterusnya. Batas-batas itu bisa mulur-mungkret. Tapi tentu saja kategori memang tidak melahirkan kecenderungan, sebaliknya penciptaanlah yang mencetuskan kategori. Wilayah abu-abu yang ditawarkan oleh pameran ini cukup menarik, tapi wilayah itu masih bisa jauh lebih kaya dengan mencermati dan mensubversi lapisan-lapisan keseharian kita yang makin canggih dan kompleks. Bukan sekadar tas, kursi, atau sofa.

Hendro Wiyanto, pengamat seni rupa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus