SETAHUN resmi sebagai kota administratif, Banjarbaru hari-hari
belakangan ini tampak makin berbenah. H. Abdul Muis,
walikotanya, memang maunya meneceskan wajah kotanya. Ia bernafas
lega, setelah berhasil menggusur calon bioskop misbar (gerimis
bubar) yang banyak dipergunjingkan warga kotanya bak duri di
daging mengganjel mulut lapangan Murjani. Lapangan yang
mengabadikan nama gubernur (almarhum) dokter Murdjani di muka
eks kantor gubernur itu memang kurang layak dijoroki dengan
bioskop misbar. Lalu ke mana harus dipindah? "Semula
direncanakan di Loktabat, tapi karena penduduk sekitarnya
keberatan, terpaksa diurungkan. Untungna ada tanah lapang dekat
persimpangan empat". jawab Muis. Karena daerah sekitarnya masih
langka penduduk, reaksi nyaris tak terdengar. Tempatnya memang
tampan untuk bersantai-santai. Hanya satu kilometer dari pusat
Banjarbaru dan 4 kilometer dari kota Martapura yang hanya punya
satu gedung bioskop dan tanpa sebiji misbar pun. Alhasil bioskop
misbar yang bergelar THR "Ria Loka" itu memang berhasil menciduk
jumlah penonton yang lumayan beria-ria dengan bayaran Rp 75
selembar karcis.
Celakanya begitu bioskop diresmikan, musim hujan pun mulai
mengguyur. Tak kurang ikhtiar, pawang hujan khusus dicarter
menangkal hujan. Bila saja langit mendung bermuka muram. Tapi
karena namanya pawang hujan bukan payung hujan, sekali-sekali
jampi-jampi tak berhasii juga menolak hujan. Toh begitu, rupanya
penduduk yang langka hiburan tak pernah kapok ber misbar-misbar.
Namun alasan hujan ini dipakai juga oleh pengusaha bioskop untuk
mengelakkan restribusi. "Padahal nyatanya bioskop misbar itu
jejal juga dengan penonton. Sudah tiga bulan ini Ria Loka tak
pernah nyetor restribusi "gerutu Muis. Lalu apa tindakan
balaikota? "Akan kami panggil dan segera tertibkan", ucap Muis.
Rupanya Muis masih sabar, karena adanya bioskop misbar yang
bakal mendatangkan restribusi pengrsi kas kota yang terkenal
minim itu masih perlu ditenggang.
Tapi rupanya bukan pasal menunggaknya restribusi saja yang
memusingkan Muis. Tentang keharusan melaporkan daftar film-film
sebelum dipertunjukkan, belum dipatuhi pengusaha bioskop. Baik
Ria Loka, Angkasa Ria yang misbar maupun "Sederhana Teater" yang
non misbar. Sembari menunjukkan surat pemanggilan yang akan
diedarkan, Muis menjelaskan itu sesuai dengan ketentuan dari
gubernur yang diterimanya. Ini tentu ada kaitannya dengan upaya
mengawasi peredaran film yang bernilai negatif yang belakangan
di Banjarbaru sering dipergunjingkan orang juga. Sejauh ini
belum terdengar suara dari fhak legislatif yang menyorot
membiaknya bioskop misbar di kawasan Banjarbaru. Padahal ketika
misbar "Mutiara" dulu baru saja nonol di sana, ia serentak kena
palu yang mematikan si Mutiara hingga serentak jadi pudar pula.
Tidak cuma bioskop misbar yang sering mendebarkan jantung Muis.
Banjarbaru yang terlanjur berkembang sebagai kota satelit
Banjarmasin & Martapura menjuruskan tumbuhnya sarana hiburan
yang membiak. Hotel dan yang sebangsanya saja sudah ada lima
buah siap membuka pintu sewaktu-waktu. Padahal Martapura kota
induknya sebiji hotel atau losmen pun haram kalau punya. Perkara
tumbuhnya hotel semua orang setuju saja. Namun kabarnya ada
sementara hotel di Banjarbaru yang menyediakan all in hingga
membuat gemas warga kota. Tak kurang dari itu dipergunjingkan
adanya rumah makan yang nyaris dilengkapi dengan para pramuria
nan segar-segar dan sebagiannya bisa saja berdwi fungsi. Tentu
saja sas-sus ini membikin gatal telinga Muis. Katanya: "Saya
sendiri ikut dalam team operasi ke rumah-rumah makan dan hotel.
Sejauh ini belum ada yang tertangkap basah. Memang sulit mencari
bukti. Di mana-mana sekarang ada pramuria. Bahkan di Binuang
pun, di tempat yang kecil itu. Apa kita tindak begitu saja?
Padahal mereka juga ada izin usaha". Yang menyulitkan Muis,
"mereka bukan orang Banjarbaru, mungkin jemputan dari
Banjarmasin". Dan semuanya samar-samar. Terasa ada. tertankap
tiada.
Tapi yang itu ceritera rawannya. Di balik itu tak dimungkiri isi
kocek balaikota Banjarbaru tahun anggaran yang sedang berjalan
ini meningkat 75 persen lebih dibanding tahun sebelumnya. Kota
yang minus pendapatan ini berhasil mengatrol restribusi dan PP I
alias pajak pembangunan. Sehingga pemasukan perbulannya sekitar
lebih dari Rp 1 juta. Tentu saja harap jangan dibandingkan
dengan pendapatan kota-kota lainnya. Maklum kota ini sendiri
tetap menyusu ke pemda kabupaten Banjar yang mengayominya.
Bantuan ini perlu sebab agaknya propinsi harus menghibur kota
administratif Banjarbaru yang nyaris patah hati tak jadi ibukota
propinsi maupun kotamadya. Ini belum cukup. Pemda kabupaten
Banjar juga merasa perlu mendahulukan kota administratif
menunjukkan niatnya membuat boulevard alias jalur jalan raya
kembar di pusat kotanya Tak panjang memang, hanya 950 metel
"Rencananya dari persimpangan empat terus ke Loktabat. Tapi
ketiadaan biaya, tahun anggaran depan diteruskan ke simpang",
ucap Muis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini