PENGAMBIL-ALIHAN pengelolaan pelelangan ikan di Krakas oleh
Walikota Cirebon dari pengurus Koperasi Perikanan Laut (KPL)
(TEMPO, 16 Oktober),tentu saja menggembirakan para nelayan. Dan
diharapkan menambah darah kehidupan perkoperasian di sana. Namun
nampaknya langkah Walikota dengan SK tanggal 29 Juli 1976 itu
belum membawa tuah banyak. Sebab setelah beberapa bulan
berjalan, nasib para nelayan dan kehidupan perkoperasian, belum
juga beranjak baik.
Sementara itu sindikat beberapa cukong yang menguasai pelelangan
ikan sudah begitu dalam mencengkeramkan kukunya. Mereka ini
menguasai perahu-perahu pukat (trawl) yang masuk dengan
mengharuskan menjual hasil tangkapan kepada mereka. Pembeli yang
terdiri dari bakul-bakul ikan, juga tak bisa langsung membeli
ikan kepada perahu itu. Tapi harus lewat agen yang ditunjuk
cukong-cukong tadi. Dengan harga yang sudah tinggi tentu saja.
Dan bakul-bakul ini selain mesti membayar pungutan Pemda Kodya
Cirebon, juga harus membayar uang keamanan dan entah apa lagi.
Tak aneh, bila sindikat cukong tadi punya kekuasaan besar. Sebab
memang merekalah yang menyediakan segala keperluan kapal-kapal
pukat, sejak solar. beras sampai es. Semua itu sudah berlangsung
sejak 1972. Yaitu sejak para pengusaha trawl dari Bagansiapi-api
mengalihkan usahanya ke sana. Tak kurang dari 600 trawl asal
sana berpangkalan di pelabuhan nelayan Cirebon. Mereka
beroperasi di laut Jawa bagian utara yang kesohor memendam
berjenis-jenis ikan itu. Sudah tentu ini berarti memberi isi
pada pundi-pundi Kodya Cirebon Sebab setiap trawl, sekali
berlayar yang lamanya 5-6 hari, bisa menyiduk ikan bernilai Rp
350-Rp 500 ribu. Terutama bila sedang musim udang.
Si Joki & Bakri
Tapi keadaan ini tak berarti menggembirakan para nelayan
sendiri. Sebab sebagai awak trawl, nelayan-nelayan itu cuma
mendapat uang makan Rp 500 sehari atau Rp 3.000 paling tinggi
sekali berlayar. Padahal setiap bulan kapal trawl itu rata-rata
memperoleh untung bersih Rp 1 hingga Rp 1 1/2 juta. Dari
keuntungan bersih itu, sang cukong memperoleh 40%. Belum lagi
keuntungan dari penjualan ikan. Dan meski mereka dikenal dengan
nama-nama Joni, Osay atau Bakri, asal mereka bukan dari Cirebon.
ltu semua tampaknya masih menunggu langkah berikutnya dari
Walikota Aboeng Koesman. Yang sampai kini tampaknya belum
teringat memanfaatkan organisasi semacam Pertiwi atau
Barunawati. Misalnya untuk kegiatan penyediaan bahan-bahan baku
para nelayan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini