Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Lapar di sekotong

Team komisi c DPRD lombok barat mencatat kematian 10 orang akibat kelaparan di sekotong. bahan makanan sulit diperoleh. musim kemarau panjang, sisa tanaman diserobot babi hutan. penduduk buta huruf. (dh)

6 November 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Beberapa kampung di desa Sekotong Tengah Kecamatan Gerung, Lombok Barat (NTB) akhir-akhir ini diberitakan diancam kelaparan. Bahkan disebut beberapa orang penduduk telah meninggal karena HO. Pembantu TEM PO di Mataram Oka Sunandi dan seorang lagi yang tak akan disebutkan namanya di sini -- telah melakukan peninjauan ke situ. Dilengkapi beberapa data dan wawancara, inilah laporan mereka. SAMPAI sekarang masih belum jelas apakah gerangan penyebab kematian beberapa orang penduduk desa Sekotong Tengah, Kecamatan Gerung, Lombok Barat. Menurut fihak resmi, seperti Kepala Kanwil Depkes NTB dan Komandan Korem Wira Bhakti, kematian itu disebabkan penyakit malaria. "Kematian penduduk di Sekotong bukan disebabkan HO, tapi oleh penyakit malaria yang sudah kronis di desa itu", ucap dr. Burhanuddin Tayibnapis, Kepala Kanwil Depkes NTB. Dengarlah pula apa kata kolonel Syamsi MS, Komandan Korem: "Sulit masuk akal kalau penduduk yang bermata pencaharian sebagai nelayan itu mati kelaparan". Sebaliknya fihak tak resmi yaitu penduduk berpendapat, kematian itu disebabkan busung lapar alias HO. Pendapat ini ditunjang oleh Komisi C DPRD Kabupaten Lombok Barat dalam laporannya bertanggal 16 Oktober 1976. Meninjau langsung ke wilayah-wilayah Kecamatan Gerung selama 2 hari (12 dan 13 Oktober 1976) Komisi C DPRD ini disertai pula oleh pejabat-pejabat eksekutif tingkat kabupaten. Dalam laporan yang akan dijadikan bahan sidang paripurna mendatang itu, antara lain disebutkan bahwa "kesehatan penduduk sudah sangat menurun 70%. Sekitar 10% di antara penduduk yang menderita sakit parah adalah karena busung lapar dan mulai ada yang meninggal". Berapa orang sesungguhnya yang telah meninggal karena bahaya kelaparan itu, juga agaknya masih bersimpang-siur. Menurut apa yang diungkapkan kolonel Syamsi kepada para wartawan di Mataram, "seorang meninggal sebelum bulan puasa, dua orang pada saat lebaran". Jadi 3 orang. Dari kalangan penduduk jumlah itu dibantah, "yang meninggal sudah 9 orang", kata seorang warga Sekotong kepada TEMPO. Laporan team Komisi C DPRD Lombok Barat sendiri setelah mengutip penjelasan penghulu kampung Blongas, menyebutkan angka-angka kematian selama bulan Agustus dan September di sana berikut ini: desa Blongas 4 orang (3 anak I dewasa), desa Selodong 2 orang, desa Telise 2 orang dan desa Sauh 2 orang. Semua 10 orang. Apa penyebabnya dan berapa jumlah sesungguhnya, agaknya bukan soal begitu penting. Yang pasti hantu kelaparan sedang mengintai di Sekotong, di Kecamatan Gerung itu. Wilayah ini terletak di pinggir pulau Lombok paling selatan menghadap Samudra Indonesia. Sekotong Timur berpenduduk 11.642 jiwa, Sekotong Tengah berpenduduk 8.857 jiwa dan Sekotong Barat 14.682 jiwa. Di kampung Blongas -- wilayah Sekotong Tengah di mana kematian akibat kelaparan itu mulai merayap -- berdiam sekitar 700 jiwa penduduk. Letaknya amat terpencil. Penduduknya bermata pencaharian sebagai petani, di samping juga sebagai nelayan. Babi bukan saja binatang hutan yang telah menghabiskan tanaman mereka secara tetap, namun juga sepanjang musim kering ini segala bentuk tanaman telah musnah secara merata. Angin selatan yang buruk akhirakhir ini juga rupanya telah menyapu rezeki mereka sebagai nelayan di laut. Bupati Lombok Barat sendiri, Lalu Rachman, dalam laporannya kepada Gubernur NTB 12 Oktober baru lalu bahkan mengakui bahwa "selama 2 bulan terakhir ini bahan makanan sangat sulit diperoleh mengingat musim kemarau yang panjang". Kata laporan itu pula: Komunikasi cukup sulit, sehingga bahan makanan dari desa-desa lain sering tidak sampai ke kampung Blongas. Walaupun beras ada, namun harganya sudah mencapai Rp 150 per kg, harga ini tak terjangkau oleh daya beli masyarakat yang rata-rata memiliki pendapatan sangat rendah. Lanjut laporan itu: Sebagai pengganti beras maka makanan pokok mereka sekarang adalah sagu dan bungkil pisang. Karena itu, seakan-akan memberikan lampu kuning, laporan Bupati itu memperingatkan gubernur, bahwa "situasi ini akan mengarah kepada bahaya kelaparan". Mengutip hasil penelitian Dinas Kesehatan Lombok Barat bupati menyebut "terdapat 3 orang telah menunjukkan gejala penyakit kelaparan yang apabila tidak segera diatasi akan mengarah kepada bahaya busung lapar (HO). Bupati juga menyebut pengiriman team kesehatan ke Blongas, mengusahakan droping bahan makanan dan obat-obatan. Demikian laporan bupati. Sebagian besar penduduk Sekotong Tengah masih buta huruf. Ada sebuah SD di kampung Sayung dan sebuah lagi di kampung Sepi. Di kampung-kampung Bengkang, Pengantap dan Blongas hingga sekarang belum pernah- ada gedung sekolah dan penduduknya pun belum pernah mengenyam pendidikan. Balai Pengobatan pun belum ada di wilayah ini. Sekitar 10 tahun lampau kepala desa Sekotong Tengah pernah mengusulkan kepada camat agar diadakan sekolah keliling. Artinya sang guru mendatangi para murid yang tersebar di kampung-kampung. Tapi usul ini tak pernah mendapat tanggapan. Adapun kampung-kampung ini dipisah oleh 4 sampai 5 buah gunung, sehingga masuk akal kalau murid-murid bukan saja lelah berjalan kaki setiap kali mengunjungi sekolah (di kampung yang ada sekolah) tapi juga mereka takut melintasi gunung-gunung itu. Jalur perhubungan di lingkungan kampung-kampung di sini maupun dengan dunia luar hanya melalui jalan setapak di sela-sela gunung/ bukit yang terjal berbatu-batu. Karena keadaan serupa ini pula, DPRD Lombok Barat dalam sarannya kepada Bupati menganjurkan agar droping bahan makanan maupun obat-obatan dilakukan melalui udara atau melalui laut (meskipun tak ada pelabuhan) atau dengan pos-pos beranting. Di Sekotong Tengah terdapat sekitar 85.000 hektar sawah tadah hujan di dataran sebelah utara dan sejumlah besar ladang-ladang liar di bagian selatan. Semuanya tak pernah dijamah selama musim kering ini, karena benar-benar tak mampu menumbuhkan bahan makanan yang masih bisa dimamah tenggorokan manusia. Ancaman kelaparan di kawasan desa ini memang bukan sekali ini saja terjadi. Musibah ini misalnya pernah tercatat di tahun-tahun 1932, 1940, 1947, 1948, 1962, 1965, 1972 dan sekarang. Untuk melepaskan penduduknya dari cengkeraman lapar yang sering berulang itu sejak beberapa tahun lampau transmigrasi sudah didengungkan di antara penduduknya. Tapi menurut R. Moetantho BA, Kepala Kanwil Ditjen Transmigrasi NTB, dari sekian ribu transmigran NTB yang pernah dikirim ke Sulawesi maupun Maluku selama ini, hanya sebagian kecil saja yang berasal dari kawasan kritis ini. Mengapa begitu? "Tampaknya mereka sudah apatis terhadap kehidupan mendatang yang lebih baik, lantaran mereka sudah terlalu lama menderita" jawab Moetantho. Lebih dari itu, warga di sini juga agaknya lebih senang sewaktu-waktu meninggalkan kampung halaman untuk memenuhi jalan jalan di kota Mataram, Cakranegara atau Ampenan sebagai pengemis. Tapi sementara itu pula, kampung halaman mereka sering dijadikan tempat persembunyian para buronan hamba hukum. Ini tentu karena kawasan itu sangat sulit didatangi petugas negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus