Beberapa kampung di desa Sekotong Tengah Kecamatan Gerung,
Lombok Barat (NTB) akhir-akhir ini diberitakan diancam
kelaparan. Bahkan disebut beberapa orang penduduk telah
meninggal karena HO. Pembantu TEM PO di Mataram Oka Sunandi dan
seorang lagi yang tak akan disebutkan namanya di sini -- telah
melakukan peninjauan ke situ. Dilengkapi beberapa data dan
wawancara, inilah laporan mereka.
SAMPAI sekarang masih belum jelas apakah gerangan penyebab
kematian beberapa orang penduduk desa Sekotong Tengah, Kecamatan
Gerung, Lombok Barat. Menurut fihak resmi, seperti Kepala Kanwil
Depkes NTB dan Komandan Korem Wira Bhakti, kematian itu
disebabkan penyakit malaria. "Kematian penduduk di Sekotong
bukan disebabkan HO, tapi oleh penyakit malaria yang sudah
kronis di desa itu", ucap dr. Burhanuddin Tayibnapis, Kepala
Kanwil Depkes NTB. Dengarlah pula apa kata kolonel Syamsi MS,
Komandan Korem: "Sulit masuk akal kalau penduduk yang bermata
pencaharian sebagai nelayan itu mati kelaparan".
Sebaliknya fihak tak resmi yaitu penduduk berpendapat, kematian
itu disebabkan busung lapar alias HO. Pendapat ini ditunjang
oleh Komisi C DPRD Kabupaten Lombok Barat dalam laporannya
bertanggal 16 Oktober 1976. Meninjau langsung ke wilayah-wilayah
Kecamatan Gerung selama 2 hari (12 dan 13 Oktober 1976) Komisi C
DPRD ini disertai pula oleh pejabat-pejabat eksekutif tingkat
kabupaten. Dalam laporan yang akan dijadikan bahan sidang
paripurna mendatang itu, antara lain disebutkan bahwa "kesehatan
penduduk sudah sangat menurun 70%. Sekitar 10% di antara
penduduk yang menderita sakit parah adalah karena busung lapar
dan mulai ada yang meninggal".
Berapa orang sesungguhnya yang telah meninggal karena bahaya
kelaparan itu, juga agaknya masih bersimpang-siur. Menurut apa
yang diungkapkan kolonel Syamsi kepada para wartawan di Mataram,
"seorang meninggal sebelum bulan puasa, dua orang pada saat
lebaran". Jadi 3 orang. Dari kalangan penduduk jumlah itu
dibantah, "yang meninggal sudah 9 orang", kata seorang warga
Sekotong kepada TEMPO. Laporan team Komisi C DPRD Lombok Barat
sendiri setelah mengutip penjelasan penghulu kampung Blongas,
menyebutkan angka-angka kematian selama bulan Agustus dan
September di sana berikut ini: desa Blongas 4 orang (3 anak I
dewasa), desa Selodong 2 orang, desa Telise 2 orang dan desa
Sauh 2 orang. Semua 10 orang.
Apa penyebabnya dan berapa jumlah sesungguhnya, agaknya bukan
soal begitu penting. Yang pasti hantu kelaparan sedang mengintai
di Sekotong, di Kecamatan Gerung itu. Wilayah ini terletak di
pinggir pulau Lombok paling selatan menghadap Samudra Indonesia.
Sekotong Timur berpenduduk 11.642 jiwa, Sekotong Tengah
berpenduduk 8.857 jiwa dan Sekotong Barat 14.682 jiwa. Di
kampung Blongas -- wilayah Sekotong Tengah di mana kematian
akibat kelaparan itu mulai merayap -- berdiam sekitar 700 jiwa
penduduk. Letaknya amat terpencil. Penduduknya bermata
pencaharian sebagai petani, di samping juga sebagai nelayan.
Babi bukan saja binatang hutan yang telah menghabiskan tanaman
mereka secara tetap, namun juga sepanjang musim kering ini
segala bentuk tanaman telah musnah secara merata. Angin selatan
yang buruk akhirakhir ini juga rupanya telah menyapu rezeki
mereka sebagai nelayan di laut.
Bupati Lombok Barat sendiri, Lalu Rachman, dalam laporannya
kepada Gubernur NTB 12 Oktober baru lalu bahkan mengakui bahwa
"selama 2 bulan terakhir ini bahan makanan sangat sulit
diperoleh mengingat musim kemarau yang panjang". Kata laporan
itu pula: Komunikasi cukup sulit, sehingga bahan makanan dari
desa-desa lain sering tidak sampai ke kampung Blongas. Walaupun
beras ada, namun harganya sudah mencapai Rp 150 per kg, harga
ini tak terjangkau oleh daya beli masyarakat yang rata-rata
memiliki pendapatan sangat rendah. Lanjut laporan itu: Sebagai
pengganti beras maka makanan pokok mereka sekarang adalah sagu
dan bungkil pisang. Karena itu, seakan-akan memberikan lampu
kuning, laporan Bupati itu memperingatkan gubernur, bahwa
"situasi ini akan mengarah kepada bahaya kelaparan". Mengutip
hasil penelitian Dinas Kesehatan Lombok Barat bupati menyebut
"terdapat 3 orang telah menunjukkan gejala penyakit kelaparan
yang apabila tidak segera diatasi akan mengarah kepada bahaya
busung lapar (HO). Bupati juga menyebut pengiriman team
kesehatan ke Blongas, mengusahakan droping bahan makanan dan
obat-obatan. Demikian laporan bupati.
Sebagian besar penduduk Sekotong Tengah masih buta huruf. Ada
sebuah SD di kampung Sayung dan sebuah lagi di kampung Sepi. Di
kampung-kampung Bengkang, Pengantap dan Blongas hingga sekarang
belum pernah- ada gedung sekolah dan penduduknya pun belum
pernah mengenyam pendidikan. Balai Pengobatan pun belum ada di
wilayah ini. Sekitar 10 tahun lampau kepala desa Sekotong Tengah
pernah mengusulkan kepada camat agar diadakan sekolah keliling.
Artinya sang guru mendatangi para murid yang tersebar di
kampung-kampung. Tapi usul ini tak pernah mendapat tanggapan.
Adapun kampung-kampung ini dipisah oleh 4 sampai 5 buah gunung,
sehingga masuk akal kalau murid-murid bukan saja lelah berjalan
kaki setiap kali mengunjungi sekolah (di kampung yang ada
sekolah) tapi juga mereka takut melintasi gunung-gunung itu.
Jalur perhubungan di lingkungan kampung-kampung di sini maupun
dengan dunia luar hanya melalui jalan setapak di sela-sela
gunung/ bukit yang terjal berbatu-batu. Karena keadaan serupa
ini pula, DPRD Lombok Barat dalam sarannya kepada Bupati
menganjurkan agar droping bahan makanan maupun obat-obatan
dilakukan melalui udara atau melalui laut (meskipun tak ada
pelabuhan) atau dengan pos-pos beranting.
Di Sekotong Tengah terdapat sekitar 85.000 hektar sawah tadah
hujan di dataran sebelah utara dan sejumlah besar ladang-ladang
liar di bagian selatan. Semuanya tak pernah dijamah selama musim
kering ini, karena benar-benar tak mampu menumbuhkan bahan
makanan yang masih bisa dimamah tenggorokan manusia. Ancaman
kelaparan di kawasan desa ini memang bukan sekali ini saja
terjadi. Musibah ini misalnya pernah tercatat di tahun-tahun
1932, 1940, 1947, 1948, 1962, 1965, 1972 dan sekarang. Untuk
melepaskan penduduknya dari cengkeraman lapar yang sering
berulang itu sejak beberapa tahun lampau transmigrasi sudah
didengungkan di antara penduduknya. Tapi menurut R. Moetantho
BA, Kepala Kanwil Ditjen Transmigrasi NTB, dari sekian ribu
transmigran NTB yang pernah dikirim ke Sulawesi maupun Maluku
selama ini, hanya sebagian kecil saja yang berasal dari kawasan
kritis ini. Mengapa begitu? "Tampaknya mereka sudah apatis
terhadap kehidupan mendatang yang lebih baik, lantaran mereka
sudah terlalu lama menderita" jawab Moetantho. Lebih dari itu,
warga di sini juga agaknya lebih senang sewaktu-waktu
meninggalkan kampung halaman untuk memenuhi jalan jalan di kota
Mataram, Cakranegara atau Ampenan sebagai pengemis. Tapi
sementara itu pula, kampung halaman mereka sering dijadikan
tempat persembunyian para buronan hamba hukum. Ini tentu karena
kawasan itu sangat sulit didatangi petugas negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini