UNTUK pertama kali sebuah SPG di Purwakarta, pertengahan Oktober
kemarin, diresmikan Menteri P & K Sjarif Thajeb sebagai SPG
standar tipe B. Bekas bangunan Normaal School bikinan 1918
terletak di atas tanah seluas 4,9 ha itu, kini berubah wajah.
Bukan saja beberapa bagian bangunan lama mengalami perbaikan
(dengan biaya Rp 26 juta), tapi sekolah yang memiliki kompleks
terluas di Kabupaten itu bertambah dengan bangunan baru berupa
gedung utama, auditorium, ruang belajar tambahan, asrama pelajar
tambahan, yang seluruhnya menelan ongkos Rp 86 juta lebih.
Jumlah biaya yang belum termasuk peralatan mibeler itu, masih
menghabiskan uang untuk perlengkapan gedung sebanyak Rp 23 juta
lagi.
Kebijaksanaan pemerintah untuk membakukan semua SPC dalam
tipe-tipe A, B, C dan D nampaknya membutuhkan biaya tidak
sedikit. Tipe A direncanakan bisa menampung 1400 siswa dan tiap
tahun meluluskan 408 orang. Tipe B menampung 960 dan menamatkan
272 setahun. Tipe C menerima 480 dan melepas 136 tiap tahun. Dan
tipe D untuk 240 dengan kelulusan per tahun 68 orang. Namun
dengan cara merehabilitasi dan sekaligus melengkapi SPG lama
yang sudah ada (tidak membangun yang baru), usaha yang bertujuan
meningkatkan kwalitas dan kwantitas lulusan SPG itu dianggap
lebih ekonomis. "Usaha tersebut dapat menghindarkan pemborosan
biaya, pemborosan alat-alat pendidikan dan fasilitas lainnya",
ujar Menteri pada waktu peresmian SPG Purwakarta.
Dengan produksi 15 ribu guru SD per tahun yang dihasilkan 204
SPG negeri yang ada, kebutuhan akan tenaga itu terasa masih
sangat kurang. Lebih-lebih dengan semakin banyaknya SD Inpres
yang antara lain bertujuan agar 85% anak usia sekolah sudah bisa
tertampung di tingkat pendidikan itu pada akhir Pelita II. Di
beberapa daerah kekurangan ini bahkan cukup menyolok. Jawa Barat
misalnya yang sudah terpaksa mengimpor guru SD dari Yogyakarta
untuk tahun ajaran 1976 ini, pada 1980 nanti diperkirakan masih
akan tetap menderita kekurangan sekitar 16 ribu orang. Karena
itu SPG Purwakarta mestinya dibangun dalam tipe A. "Tapi kami
kekurangan biaya", ujar Anwar Jasin M.Ed. Direktur Pendidikan
Guru dan Tenaga Teknis P&K.
Atas dasar kebutuhan guru-guru SD di masing-masing propinsi
itulah SPG-SPG yang sudah ada sekarang dibakukan ke dalam empat
tipe tersebut. Beberapa yang hampir selesai, di Blitar untuk
tipe A, Watampone untuk tipe C, dan Bukittinggi untuk tipe B.
Diperkirakan pada 1984 nanti, dari semua SPC negeri, 126 di
antaranya sudah dibakukan. Sedangkan sisanya yang lain, secara
bertahap akan dihapus. Jadi kelak jumlah SPG akan semakin kecil.
Tapi selain mutu yang akan semakin naik, "jumlah lulusan waktu
itu, akan lebih besar dibandingkan dengan sekarang", ujar Anwar
Jasin. Direktur Pendidikan Guru dan Tenaga Teknis itu
menyebutkan, dari keempat tipe yang ada, tipe C lah yang
sebenarnya paling ekonomis. Namun untuk beberapa daerah seperti
Sintang atau Sampit di Kalimantan Barat terpaksa dibikin tipe D.
Di daerah-daerah itu,berdasarkan perhitungan ekonomis sebenarnya
tidak mungkin dibangun SPG. Sebaliknya tanpa SPG juga tidak
mungkin. Karena, menurut Anwar Jasin, pelajar di daerah itu yang
memang ada minat jadi guru, terpaksa datang ke kota-kota seperti
Palangkaraya yang jaraknya sangat jauh.
Lantas bagaimana nasib rencana dulu yang akan menjadikan
beberapa SPG yang ada sebagai SPG Induk? Rencana SPG Induk dan
pembakuan SPG sekarang, menurut Anwar Jasin, sebenarnya tidak
ada bedanya. "Hanya rencana yang dulu, tidak langsung pada
standar yang jelas", katanya. Maksudnya tentu saja, rencana yang
sekarang lebih baik dari pada yang dulu. Yang sekarang, seperti
yang dikatakan Menteri P & K dengan usaha rasionalisasi dan
konsolidasi SPG negeri dimaksudkan agar paling sedikit
persyaratan minimal di lembaga pendidikan tersebut sudah bisa
dipenuhi.
Hal ini tidak hanya menyangkut perbaikan gedung atau alat, tapi
juga termasuk guru, murid dan kurikulum. "Bagi pelajar yang
berminat masuk SPG, seleksinya semakin lama akan semakin
diperketat", ucap Anwar Jasin. Minat masuk SPG yang akhir-akhir
ini semakin besar kebanyakan adalah karena selain tamatan SMP
itu tidak diterima di sekolah lain (sebagai pelarian), juga
karena lulusan SPG sekarang mendapatkan jaminan pengangkatan
sebagai pegawai. Dan yang terakhir ini disebabkan Negara butuh
banyak guru. "Kedua motif itu jelas tidak menguntungkan", lanjut
Anwar Jasin lagi.
Di Bawah Pohon
Bagaimana dengan nasib SPG swasta? Saat ini terdapat sekitar 300
SPG swasta dengan jumlah murid yang hanya 1/3 dari jumlah murid
yang ada di SPG negeri (204 buah). Meskipun ada di antara SPG
swasta itu yang mutunya lebih baik dari pada SPG negeri,
"rata-rata SPG negeri lebih baik", ucap Anwar Jasin. Mereka,
kata Anwar Jasin, tidak akan disuruh tutup. "Sebab menurut Anwar
kalau SPG-SPG swasta itu tidak bisa mencapai standar yang telah
ditentukan, mereka dengan sendirinya akan mengalami masa
pembubaran bertahap. Di Jawa Barat yang memiliki 22 SPG negeri
(hanyamampu menghasilkan lulusan sebanyak 1279 per tahun),
menurut drs. Taudin Iskandar, Kepala Kanwil P & K Jabar,
pembinaan terhadap sekitar 19 SPG swasta akan semakin
diintensifkan. Bahkan tamatan SPG swasta, sebagai yang
dijanjikan Sjarif Thajeb, dapat diangkat langsung menjadi guru
SD. Maklumlah memang dibutuhkan.
Guru, dari kacamata Menteri P & K agaknya memang lebih penting
dari pada gedung. "Lebih baik belajar di bawah pohon beringin
tapi ada guru, daripada ada gedung tanpa guru", ujar Sjarif
Thajeb. Namun tentu saja akan lebih baik ada gedung dan ada
guru. Sebab ada guru tanpa gedung apalagi tanpa fasilitas alat
praktek, apa bedanya dengan tahun yang sudah-sudah?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini