Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Ada Guru, Ada Gedung

Sekolah pendidikan guru dibakukan menjadi tipe a, b,c dan d. tipe c paling ekonomis. spg purwokarta di pugar dan dilengkapi. untuk menampung 85% anak sekolah dasar. dibutuhkan sejumlah lulusan spg. (pdk)

6 November 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNTUK pertama kali sebuah SPG di Purwakarta, pertengahan Oktober kemarin, diresmikan Menteri P & K Sjarif Thajeb sebagai SPG standar tipe B. Bekas bangunan Normaal School bikinan 1918 terletak di atas tanah seluas 4,9 ha itu, kini berubah wajah. Bukan saja beberapa bagian bangunan lama mengalami perbaikan (dengan biaya Rp 26 juta), tapi sekolah yang memiliki kompleks terluas di Kabupaten itu bertambah dengan bangunan baru berupa gedung utama, auditorium, ruang belajar tambahan, asrama pelajar tambahan, yang seluruhnya menelan ongkos Rp 86 juta lebih. Jumlah biaya yang belum termasuk peralatan mibeler itu, masih menghabiskan uang untuk perlengkapan gedung sebanyak Rp 23 juta lagi. Kebijaksanaan pemerintah untuk membakukan semua SPC dalam tipe-tipe A, B, C dan D nampaknya membutuhkan biaya tidak sedikit. Tipe A direncanakan bisa menampung 1400 siswa dan tiap tahun meluluskan 408 orang. Tipe B menampung 960 dan menamatkan 272 setahun. Tipe C menerima 480 dan melepas 136 tiap tahun. Dan tipe D untuk 240 dengan kelulusan per tahun 68 orang. Namun dengan cara merehabilitasi dan sekaligus melengkapi SPG lama yang sudah ada (tidak membangun yang baru), usaha yang bertujuan meningkatkan kwalitas dan kwantitas lulusan SPG itu dianggap lebih ekonomis. "Usaha tersebut dapat menghindarkan pemborosan biaya, pemborosan alat-alat pendidikan dan fasilitas lainnya", ujar Menteri pada waktu peresmian SPG Purwakarta. Dengan produksi 15 ribu guru SD per tahun yang dihasilkan 204 SPG negeri yang ada, kebutuhan akan tenaga itu terasa masih sangat kurang. Lebih-lebih dengan semakin banyaknya SD Inpres yang antara lain bertujuan agar 85% anak usia sekolah sudah bisa tertampung di tingkat pendidikan itu pada akhir Pelita II. Di beberapa daerah kekurangan ini bahkan cukup menyolok. Jawa Barat misalnya yang sudah terpaksa mengimpor guru SD dari Yogyakarta untuk tahun ajaran 1976 ini, pada 1980 nanti diperkirakan masih akan tetap menderita kekurangan sekitar 16 ribu orang. Karena itu SPG Purwakarta mestinya dibangun dalam tipe A. "Tapi kami kekurangan biaya", ujar Anwar Jasin M.Ed. Direktur Pendidikan Guru dan Tenaga Teknis P&K. Atas dasar kebutuhan guru-guru SD di masing-masing propinsi itulah SPG-SPG yang sudah ada sekarang dibakukan ke dalam empat tipe tersebut. Beberapa yang hampir selesai, di Blitar untuk tipe A, Watampone untuk tipe C, dan Bukittinggi untuk tipe B. Diperkirakan pada 1984 nanti, dari semua SPC negeri, 126 di antaranya sudah dibakukan. Sedangkan sisanya yang lain, secara bertahap akan dihapus. Jadi kelak jumlah SPG akan semakin kecil. Tapi selain mutu yang akan semakin naik, "jumlah lulusan waktu itu, akan lebih besar dibandingkan dengan sekarang", ujar Anwar Jasin. Direktur Pendidikan Guru dan Tenaga Teknis itu menyebutkan, dari keempat tipe yang ada, tipe C lah yang sebenarnya paling ekonomis. Namun untuk beberapa daerah seperti Sintang atau Sampit di Kalimantan Barat terpaksa dibikin tipe D. Di daerah-daerah itu,berdasarkan perhitungan ekonomis sebenarnya tidak mungkin dibangun SPG. Sebaliknya tanpa SPG juga tidak mungkin. Karena, menurut Anwar Jasin, pelajar di daerah itu yang memang ada minat jadi guru, terpaksa datang ke kota-kota seperti Palangkaraya yang jaraknya sangat jauh. Lantas bagaimana nasib rencana dulu yang akan menjadikan beberapa SPG yang ada sebagai SPG Induk? Rencana SPG Induk dan pembakuan SPG sekarang, menurut Anwar Jasin, sebenarnya tidak ada bedanya. "Hanya rencana yang dulu, tidak langsung pada standar yang jelas", katanya. Maksudnya tentu saja, rencana yang sekarang lebih baik dari pada yang dulu. Yang sekarang, seperti yang dikatakan Menteri P & K dengan usaha rasionalisasi dan konsolidasi SPG negeri dimaksudkan agar paling sedikit persyaratan minimal di lembaga pendidikan tersebut sudah bisa dipenuhi. Hal ini tidak hanya menyangkut perbaikan gedung atau alat, tapi juga termasuk guru, murid dan kurikulum. "Bagi pelajar yang berminat masuk SPG, seleksinya semakin lama akan semakin diperketat", ucap Anwar Jasin. Minat masuk SPG yang akhir-akhir ini semakin besar kebanyakan adalah karena selain tamatan SMP itu tidak diterima di sekolah lain (sebagai pelarian), juga karena lulusan SPG sekarang mendapatkan jaminan pengangkatan sebagai pegawai. Dan yang terakhir ini disebabkan Negara butuh banyak guru. "Kedua motif itu jelas tidak menguntungkan", lanjut Anwar Jasin lagi. Di Bawah Pohon Bagaimana dengan nasib SPG swasta? Saat ini terdapat sekitar 300 SPG swasta dengan jumlah murid yang hanya 1/3 dari jumlah murid yang ada di SPG negeri (204 buah). Meskipun ada di antara SPG swasta itu yang mutunya lebih baik dari pada SPG negeri, "rata-rata SPG negeri lebih baik", ucap Anwar Jasin. Mereka, kata Anwar Jasin, tidak akan disuruh tutup. "Sebab menurut Anwar kalau SPG-SPG swasta itu tidak bisa mencapai standar yang telah ditentukan, mereka dengan sendirinya akan mengalami masa pembubaran bertahap. Di Jawa Barat yang memiliki 22 SPG negeri (hanyamampu menghasilkan lulusan sebanyak 1279 per tahun), menurut drs. Taudin Iskandar, Kepala Kanwil P & K Jabar, pembinaan terhadap sekitar 19 SPG swasta akan semakin diintensifkan. Bahkan tamatan SPG swasta, sebagai yang dijanjikan Sjarif Thajeb, dapat diangkat langsung menjadi guru SD. Maklumlah memang dibutuhkan. Guru, dari kacamata Menteri P & K agaknya memang lebih penting dari pada gedung. "Lebih baik belajar di bawah pohon beringin tapi ada guru, daripada ada gedung tanpa guru", ujar Sjarif Thajeb. Namun tentu saja akan lebih baik ada gedung dan ada guru. Sebab ada guru tanpa gedung apalagi tanpa fasilitas alat praktek, apa bedanya dengan tahun yang sudah-sudah?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus