Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

'To Kassala' bagi Para Penjarah

24 Juni 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mumi itu melayang berputar di ruang tamu. Selanjutnya, lewat cerobong asap, ia menghilang. Para penghuni rumah tidak cuma jatuh tergagap, tapi satu demi satu terkapar dalam sakit yang tak bisa disembuhkan. Adegan ini bukan kisah nyata, melainkan hasil imajinasi Herge, sang komikus Belgia ter-kemuka, dalam seri petualangan Tintin berjudul Tujuh Bola Ajaib, yang terbit pada tahun 1948. Herge tak mencomot ide kosong dari langit. Selama dua dasawarsa sebelumnya, Eropa digemparkan rangkaian kematian orang-orang yang terlibat pembongkaran piramid makam Firaun Tutankhamen di Mesir. Makam itu dibongkar pada 1922, tapi setelah itu terjadilah serangkaian kematian 21 orang secara tak wajar, yang terjadi hingga tahun 1935. Bagaimana dengan para pembongkar kubur di Toraja? Memang tak menyaingi sensasi kasus Tutankhamen, tapi korban terbukti berjatuhan. Pada 1995, sebuah mumi bayi berusia sekitar 400 tahun raib disikat penjarah. Mumi yang satu ini diincar karena istimewa. Kondisinya masih utuh, dengan rambut lebat dan kulit yang praktis bebas kerut. Namun, bukan cuma itu daya pikatnya. Mumi ini juga dianggap sebagai penjelmaan dewa. Tak lama setelah kasus ini bisa diendus polisi, seorang pria berama Tatengkeng, yang diduga dalang penjarahan, tiba-tiba meninggal tanpa sebab yang jelas. Dua rekan Tatengkeng menyusul tewas tak lama kemudian, sementara lima anggota komplotan lain tampak hilang ingatan. Sebelum mumi ini diserahkan ke aparat oleh keluarga Tatengkeng, mereka dihantui mimpi buruk tak putus. Beberapa kolektor dari luar negeri juga mendapati tulah tak sedap setelah membeli benda antik asal makam Toraja. Seorang pria Prancis, sebut saja namanya Francois, pada akhir tahun 1999 di Rantepao mem-boyong tau-tau tulen seharga Rp 30 juta ke negaranya. Alih-alih bisa memanen rasa kagum koleganya, Francois malah kedatangan mimpi buruk terus-terusan. Dalam mimpinya, patung ini hidup dan berontak hendak kembali. Akhirnya, karena tak tahan, awal Februari 2001 lalu tau-tau ini ia kembalikan ke Rantepao. Layuk Sarungallo, pengelola perkampungan adat Ke'te Kesu di Kecamatan Sanggalangi, punya cerita yang tak kalah menarik. Pada tahun 1984, demikian tutur Layuk, seorang ilmuwan dari Inggris mengambil sebuah tengkorak kepala dari salah satu liang di Ke'te, lalu diam-diam membawanya ke Inggris. Saat itu para warga tak sadar hilangnya tengkorak itu. Maklum, di tempat ini banyak liang yang masing-masing berisi ratusan mayat. Satu tahun silam, sebuah paket dalam kemasan cantik datang ke Ke'te. Isinya sebuah tengkorak. Sebulan kemudian, sepucuk surat tanpa nama dengan cap pos London menyusul memberi penjelasan tentang aksi kriminal yang dilakukan, serta meminta maaf. Si pengirim anonim ini tak lupa menyampaikan rasa terima kasih karena kini hidupnya telah tenang. Tinting Sarungallo, adik Layuk, pada tahun 1993 mendapati pengalaman tak terlupakan saat berkunjung ke sebuah museum di Osaka, Jepang. Mengetahui sang tamu datang dari Toraja, eh, tiba-tiba pengelola museum meminta bantuan Tinting untuk membawa pulang sebuah patung tau-tau koleksi museum tersebut. Alasannya, patung tersebut telah menghantui orang-orang di situ. Mengapa fenomena supranatural ini bisa terjadi? Menurut Layuk, hal ini bersumber pada penghormatan orang Toraja terhadap para leluhurnya. Saat pemakaman, mayat dan perangkat lainnya dikebumikan lewat ritual magis yang panjang. Alhasil, artifak ini bisa bereaksi pada orang-orang yang berlaku tak layak padanya, kendati cuma lewat perantaraan mimpi. Layuk yakin ini semua terjadi karena penjarahan makam adalah tabu besar bagi masyarakat Toraja. Mereka percaya bahwa sang pelaku akan menjadi to kassala—seseorang yang mendapat tulah yang tak akan mendapat sedikit pun kebaikan di dunia. Ironisnya, toh frekuensi pencurian di Toraja tak kunjung surut. Artinya, ancaman dari leluhur yang bersifat mistik ini tak juga menciutkan nyali. Barangkali, "tulah" konkret seperti kemiskinan dan perut lapar lebih menakutkan sehingga penjarahan pun terus berlangsung. Yusi A. Pareanom (Jakarta) dan Tomi Lebang (Toraja)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus