Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HATTA Rajasa diam-diam menyambangi rumah Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat, Jumat malam akhir bulan lalu. Ketua Umum Partai Amanat Nasional ini berniat menjajaki koalisi kedua partai. Caranya, menduetkan Joko Widodo, yang ketika itu hampir pasti menjadi calon presiden dari partai Mega, dengan Hatta.
Wakil Sekretaris Jenderal PAN Teguh Juwarno membenarkan pertemuan ini. Tapi ia tidak mengetahui materi pembicaraannya. "Mungkin masih rahasia sehingga tidak disampaikan ke pengurus pusat," kata Teguh, Kamis pekan lalu. Hatta mengakui berkomunikasi dengan Megawati untuk menjajaki kemungkinan koalisi. Soal berpasangan dengan Jokowi, ia mengatakan, "Tergantung hasil pemilu legislatif."
Sekretaris Jenderal PDIP Tjahjo Kumolo mengatakan Hatta datang ke Teuku Umar bukan bertemu Megawati. "Bertemu saya," ujarnya. "Hanya ngobrol-ngobrol."
Hatta hanya satu dari sejumlah politikus yang telah mengirim lobi ke Partai Banteng. Dia juga masuk daftar calon pendamping Jokowi yang dibuat Tim Sebelas. Tim bentukan PDIP untuk urusan pencalonan presiden dan wakilnya ini memasukkan sejumlah politikus, pengusaha, mantan birokrat, dan perwira tinggi militer. Di antaranya mantan wakil presiden Jusuf Kalla, Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Akbar Tandjung, dan anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Pramono Edhie Wibowo.
Pendiri Grup Mayapada, Tahir, dan bos Trans Corp, Chairul Tanjung, adalah pengisi daftar dari kalangan pengusaha. Lalu ada mantan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Purnawirawan Ryamizard Ryacudu dan mantan Komandan Pendidikan dan Pelatihan Angkatan Darat Jenderal Purnawirawan Luhut Binsar Pandjaitan. Dua perwira tinggi aktif, yakni Panglima TNI Jenderal Moeldoko dan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Budiman, pun masuk daftar.
Tahir dan Chairul Tanjung telah berkomunikasi langsung dengan pengurus PDIP. Tahir bahkan telah menyebutkan nilai dana kampanye yang siap ditanggungnya. Dimintai konfirmasi soal ini, Tahir membantah. "Komunikasi dengan Megawati memang pernah, tapi itu sudah lama sekali," katanya. Tahir sudah lama ingin terjun ke politik. Pada November tahun lalu, di depan peserta rapat kerja nasional Perhimpunan Masyarakat dan Pengusaha Indonesia Tionghoa, ia dengan jelas menyatakan keinginannya menjadi pejabat negara.
Chairul Tanjung juga menyatakan tidak pernah mendekat ke PDIP. "Saya pengusaha, tidak akan mendekat ke partai politik mana pun," ujar pemilik Bank Mega ini.
Adapun Luhut bergerak cepat. Hanya dua jam setelah Jokowi dinyatakan sebagai calon presiden, Jumat pekan lalu bersama sejumlah purnawirawan TNI ia menggelar konferensi pers dukungan. Katanya, figur militer layak menjadi calon wakil presiden. Tapi, "Biarlah pasar yang menentukan. Pada akhirnya keputusan di tangan Ibu Mega," ujar Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar ini.
Moeldoko, Budiman, dan Ryamizard justru menggelinding di kalangan internal PDIP. Tapi Megawati kurang tertarik pada Moeldoko, yang pernah disorot karena nilai kekayaannya. Ia telah tiga kali bertemu dengan Ryamizard, yang pada akhir kekuasaan Megawati sebagai presiden pada 2004 diajukan sebagai Panglima TNI. Sang Jenderal kemudian beberapa kali diminta jalan bersama dengan Jokowi.
Yang terlihat gencar melobi Megawati adalah Jusuf Kalla. Ia disokong para pendiri lembaga pemikir Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan berhubungan erat dengan bos Kelompok Kompas Gramedia, Jakob Oetama. Untuk memuluskan langkah politiknya, Kalla, kini 72 tahun, merekrut konsultan politik Eep Saefulloh Fatah. Dalam pemilihan Gubernur Jakarta dua tahun lalu, Eep adalah penasihat politik Joko Widodo. Juru bicara Kalla, Husain Abdullah, membenarkan bekas Ketua Golkar itu menjalin komunikasi dengan Megawati. Adapun Eep berujar pendek, "Kalau pun saya membantu Pak JK, tak mungkin saya buka informasi penting yang berkaitan dengan kerja pemenangan."
Pendiri CSIS, Sofjan Wanandi, mengatakan hasil survei lembaganya memang menjagokan Jokowi berpasangan dengan Jusuf Kalla. Namun, kata dia, bukan berarti CSIS mendukung Jusuf menjadi calon wakil presiden Jokowi dan menjadi pelobinya. Ia mengatakan, "Negara ini butuh pemimpin yang cepat, tegas, dan punya pengalaman nasional."
Para politikus PDIP mengatakan Mega bertemu dengan Jakob di Hotel Santika Jakarta pada Januari lalu. Dalam jamuan itu, Jakob menyodorkan Jusuf Kalla. Megawati kabarnya hanya tersenyum. "JK lebih tua dari saya, dong," ujarnya, seperti ditirukan seorang saksi pertemuan. Direktur Komunikasi Grup Kompas Gramedia Nugroho F. Yudho mengaku tidak mengetahui isi pembicaraan Jakob dan Megawati. Menurut dia, Jakob sering menerima tokoh partai menjelang pemilu. Jakob disebutnya selalu memberi dukungan bila diminta. "Dukungan itu tidak pernah diterjemahkan sebagai kebijakan redaksi Kompas untuk mendukung calon tertentu," katanya.
Tjahjo mengakui sudah ada tim yang merapat ke partainya. Tapi ia mengatakan komunikasi tersebut belum sampai pada pembahasan kandidat wakil presiden. "Komunikasi mereka tidak langsung, tapi melalui tim penghubung," ujarnya. Pada saat mendeklarasikan pencalonan Jokowi, Ketua Harian Badan Pemenangan Pemilu PDIP Puan Maharani mengatakan partainya belum menetapkan calon wakil presiden. Menyatakan telah berkomunikasi dengan semua partai, Puan menambahkan, "Kami lihat dulu hasil pemilihan legislatif."
Jokowi menyebutkan kriteria calon pendampingnya kepada anggota Tim Sebelas dalam pertemuan di rumah dinas Gubernur Jakarta bulan lalu. Menurut seorang anggota tim, Jokowi ketika itu mengatakan, "Kalau bisa yang mengetahui soal makro." Anggota tim ini menafsirkan kriteria itu sebagai figur yang "tegas, berani, dan berpengetahuan luas tentang pemerintahan". "Seperti Ahok," katanya, menyebut Wakil Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.
Rusman Paraqbueq, Sundari, Singgih Soares, Tri Suharman, Linda Trianita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo