Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH empat tahun lebih diinvestigasi, termasuk diperiksanya 130 saksi, perkara Bank Century akhirnya menggelinding ke pengadilan. Jaksa sudah membacakan surat dakwaan atas nama terdakwa Budi Mulya setebal 183 halaman pada Kamis dua pekan lalu. Sepekan kemudian, bekas Deputi Gubernur Bank Indonesia Bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa itu membantah dakwaan tersebut.
Budi didakwa mengamblaskan Rp 689,39 miliar uang negara dalam pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan Rp 6,73 triliun dalam proses penetapan Century sebagai bank berdampak sistemik. Terhadap tuduhan tersebut, Budi tak membuat pembelaan pribadi. Ia menugasi penasihat hukumnya, Luhut M.P. Pangaribuan, membacakan eksepsi. Di luar persidangan, dia pun irit bicara. "Saya serahkan kepada Pak Luhut," katanya.
Di surat dakwaan, peran Budi ditulis terang-benderang. Ia, misalnya, disebut menggiring BI agar mengucurkan Rp 689,39 miliar supaya Century tak ambruk setelah kalah kliring pada 13 November 2008. Budi pun dituding ngotot membantu bank milik pengusaha Robert Tantular itu. Padahal aset Century yang diagunkan—syarat untuk mendapatkan FPJP—belum dinilai secara cermat: dalam rapat di BI pada 20 November 2008 siang, di hadapan Dewan Gubernur BI, termasuk Gubernur Bank Indonesia Boediono, Budi berkata, "…seluruh angka yang kita cairkan dokumennya tidak comply…."
Ketika ada salah satu pegawai BI yang tak setuju karena pemberian FPJP itu menyalahi aturan, Budi Mulya cepat menukas. "Ini sudah diputuskan Dewan Gubernur. Sebab itu, tolong ini diamankan." FPJP buat Century diputuskan oleh Dewan Gubernur BI sepekan sebelumnya.
Pada 13 November 2008 pagi, Century terlambat menyetor dana untuk keperluan kliring. Kegiatan operasional bank dihentikan sementara. Akibatnya, nasabah tak bisa menarik uang. Sejak siang hingga malam, Boediono bersama para petinggi BI, termasuk Budi Mulya, menggelar rapat membahas Century.
Rapat akhirnya memutuskan Century harus dibantu. Namun, berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/26/PBI/2008 tertanggal 29 Oktober 2008, yang bisa mengajukan FPJP adalah bank yang memiliki rasio kecukupan modal (CAR) minimal 8 persen. CAR Century hanya 2,35 persen. Karena itu, pada 14 November 2008, Dewan Gubernur BI menerbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/30/2008 untuk merevisi aturan sebelumnya.
Aturan baru menyatakan bank pemohon FPJP hanya wajib memiliki CAR positif—asalkan tidak minus. Menurut Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto, setelah dana Rp 689,39 miliar mengucur ke Century, diketahui bahwa CAR terakhir bank itu sebenarnya minus 3,53 persen, bukan positif 2,35 persen. Rasio 2,35 persen berdasarkan neraca per 30 September 2008 alias kedaluwarsa satu bulan.
Selanjutnya, BI mengalirkan tambahan FPJP hingga totalnya Rp 689,34 miliar. Meski dokumen-dokumennya cacat hukum, Budi Mulya selalu memerintahkan pencairan. Dua hari kemudian, di hadapan Gubernur BI, deputi, dan sejumlah direktur, Budi Mulya mengakui bahwa pengucuran dana untuk Century tak ditopang data yang sahih. Pada saat itulah ia meminta keputusannya "diamankan".
Sampai di sini, baru peran Budi Mulya yang terang-benderang. Deputi Gubernur BI yang lain, yakni S. Budi Rochadi dan Siti Chalimah Fadjrijah, juga Deputi Gubernur Senior BI Miranda Swaray Goeltom, baru diungkap sekilas-sekilas.
Demikian pula mengenai peran Boediono. Meski Wakil Presiden itu disebut lebih dari 60 kali dalam dakwaan. Dia lebih banyak disebut hadir dalam rapat membahas Century dan menyetujui keputusannya. Di luar itu, sebagai Gubernur BI, Boediono adalah pejabat yang meneken revisi Peraturan BI—soal syarat FPJP—yang belakangan dipermasalahkan KPK.
Nama Boediono muncul lagi dalam proses penetapan Century sebagai bank berdampak sistemik. Pada 20 November 2008 sore, setelah Budi Mulya meminta pemberian FPJP "diamankan", BI mendapat laporan bahwa CAR Century sebenarnya minus 3,53 persen. Upaya BI menyembuhkan bank sakit itu lewat FPJP ternyata cabar.
Dalam rapat malam itu, bank sentral tetap memilih menyelamatkan Century. Setelah FPJP tak ampuh, satu-satunya cara adalah dengan menyerahkannya ke Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), yang diketuai Menteri Keuangan Sri Mulyani. Masalahnya, KSSK hanya mengambil alih bila likuidasi Century betul-betul berdampak sistemik bagi perbankan nasional seperti krisis 1997-1998.
Karena itu, BI menetapkan Century sebagai bank berdampak sistemik. KPK tak sepakat Century tergolong berdampak sistemik karena ukuran bank ini mini. Sebagai contoh, aset Century hanya 0,72 persen dari aset perbankan nasional. Menurut Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, surat BI ke KSSK pun tak memuat data yang valid. BI juga menyajikan kebutuhan dana bailout lebih kecil dari yang sesungguhnya.
Setelah memutuskan Century berdampak sistemik, BI menyurati Komite Stabilitas Sistem Keuangan malam itu juga. Dalam surat bernomor 10/232/GBI/Rahasia tertanggal 20 November 2008, BI menyatakan Century membutuhkan tambahan dana Rp 1,77 triliun agar mencapai CAR delapan persen. Menurut Bambang, sebelum sampai ke Sri Mulyani, angka Rp 1,77 triliun diubah oleh Sekretaris KSSK Raden Pardede menjadi Rp 632 miliar. Alasannya, bila angkanya tetap Rp 1,77 triliun tidak akan disetujui Sri Mulyani.
Surat dikembalikan ke BI dengan angka baru. Bunyi lengkapnya: "Untuk menambah CAR delapan persen pada Bank Century dibutuhkan tambahan modal Rp 632 miliar dan jumlah tersebut akan terus bertambah seiring dengan pemburukan kondisi Bank Century selama November 2008". Selanjutnya, revisi surat ditandatangani Boediono dan diserahkan kepada Sri Mulyani.
Betul saja, dalam rapat KSSK, Sri Mulyani menyetujui. Pada 21 November 2008, Century diinjeksi Rp 632 miliar. Tiga hari kemudian, Lembaga Penjamin Simpanan—yang mengambil alih Century—menggerojokkan Rp 2,65 triliun. Sampai Juni 2009, suntikan dana mencapai Rp 6,73 triliun. Membengkaknya bailout karena CAR yang sebenarnya minus hingga di bawah 30 persen.
Raden Pardede menyanggah mengubah angka yang diusulkan BI. "Itu diketik pegawai BI sendiri, di laptop mereka sendiri," katanya. Jumlah itu pun hasil diskusi dia dengan dua pegawai BI, Heru Kristiyana dan Pahla Santoso. Angka Rp 632 miliar mengacu pada CAR per 31 Oktober 2008—yang masih positif. Adapun Rp 1,77 triliun baru perkiraan sementara. "Tidak ada keuntungan dan motif saya secara pribadi agar Century diselamatkan," ujarnya.
Yang kelihatan motifnya memang baru Budi Mulya. KPK menemukan aliran dana Rp 1 miliar dari Robert Tantular kepada Budi pada Agustus 2008. Budi dan Robert mengakuinya sebagai pinjaman bisnis. Mereka berdua sudah lama berkawan. Menurut Luhut Pangaribuan, pengacara Budi, sekitar Januari 2009, Budi mengembalikan tunai duit itu dalam bentuk dolar Amerika Serikat dan Singapura.
Lepas dari motif pribadi, KPK menduga penyelamatan Century tak semata-mata untuk menstabilkan perbankan. Dalam surat dakwaan disebutkan bahwa simpanan nasabah tertentu di Century sebagai salah satu pertimbangan. Nasabahnya antara lain Yayasan Kesejahteraan Karyawan Bank Indonesia, yang memiliki rekening sekitar Rp 80 miliar. Bila Century dilikuidasi begitu saja, dana itu hanya diganti Rp 2 miliar.
Pengacara Luhut Pangaribuan mengatakan pemberian FPJP dan penetapan bank berdampak sistemik bukan keputusan kliennya seorang, melainkan Dewan Gubernur BI. Pemberian FPJP disebut tak merugikan negara karena uang itu sudah dikembalikan ke brankas Bank Mutiara—nama baru Century—pada Februari 2009. Dana talangan Rp 6,73 triliun pun tak raib karena menjelma aset Bank Mutiara.
Sebaliknya, menurut KPK, dana FPJP Rp 689,39 miliar justru betul-betul sudah amblas. Uang yang dikembalikan Bank Mutiara bukan berasal dari keuntungan, melainkan dari dana bailout. Dana yang Rp 6,73 triliun pun sudah melayang karena dipakai untuk mengganti duit Century yang dirampok para pemegang sahamnya.
Lewat juru bicaranya, Yopie Hidayat, Wakil Presiden Boediono mengatakan motivasinya menyelamatkan Century semata-mata demi kebaikan perekonomian nasional yang kala itu terancam krisis. Menurut Yopie, jaksa menulis surat dakwaan tanpa melihat kondisi pada saat itu. "Dakwaan jaksa sangat di luar dugaan dan mengagetkan karena mendakwa sebuah kebijakan," katanya.
Anton Septian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo