SEKITAR 3.000 orang pedagang kaki lima dan bermodal lemah sedang
memperebutkan 2.000 buah kios. Yaitu tempat berjualan di Pusat
Perdagangan (pasar Inpres) Senen Blok V dan VI, Jakarta. Para
pedagang kecil itu terdiri dari mereka yang selama ini secara
berserakan beualan di wilayah-wilayah Jakarta Pusat. Yaitu di
sekitar Senen sendiri, Jalan Kwini, Lapangan Banteng, Kramat,
Kalibaru. Pasar Senen Blok V dan VI ini justeru disediakan untuk
menertibkan pedagang kaki lima atau yang berjualan di
tempat-tempat yang tak sedap dipandang mata.
Tapi persoalannya segera muncul, tatkala diketahui hanya
sebagian kecil saja pedagang-pedagang itu yang memiliki Kartu
Tanda Penduduk (KTP) Jakarta Pusat. Padahal Pasar Inpres tadi
dikhususkan bagi pedagang warga wilayah itu. Dan dari pihak lain
tak sedikit pula pedagang yang enggan beranjak dari tempat
mereka selama ini. Alasan mereka, di tempat yang sekarang mereka
sudah msmiliki langganan. Seperti warung-warung nasi atau
minuman di sekitar lapangan Bateng, tak mau putus hubungan
dengan orang-orang yang selalu berlalu-lalang naik turun di
terminal pusat bis kota itu.
"Mereka akan disaring," ucap drs MA Pandjaitan, Kepala
Penerangan Kota Jakarta Pusat. Maksudnya, tentu yang pertarna
dipilih adalah mereka yang ber-KTP Jakarta Pusat. Lalu, apakah
benar-benar murni sebagai pedagang di wilayah ini. Artinya bukan
pindahan dari luar wilayah ini dan apakah mereka musiman atau
menetap, yaitu berjualan hanya sewaktu-waktu saja. Tim peneliti
yang terdiri dari Staf Walikota Jakarta Pusat, Inspektorat DKI,
PD Pasar Jaya pihak kecamatan maupun kelurahan, mendapati
kenyataan: begitu soal Pasar Inpres Senen banyak terdengar
pedagang dari luar Jakarta Pusat pindah ke wilayah mi. Yang
bukan kaki lima turun ke jalan dan berlagak sebagai pedagang
bermodal lemah.
Melihat hal-hal serupa itu, menurut Pandjaitan, sekarang sedang
diusulkan kepada Gubernur Tjokropranolo agar "yang tidak ber-KTP
Jakarta Pusat pun dapat masuk ke pasar itu, asal mereka memang
benar-benar pedagang kaki lima atau bermodal lemah." Tapi
terhadap mereka yang benar-benar memenuhi syarat tapi menolak
kesempatan mendapat tempat berjualan di Blok V dan VI Senen itu,
akan dipaksa untuk meninggalkan kaki lima di mana mereka
berjualan sekarang. Kata B. Harahap, Kepala Humas DKI, "mereka
harus masuk, kaki lima mesti ditertibkan. Alasan tak laku di
tempat baru, adalah rasa-rasaan mereka saja."
Namun pihak Pemda DKI tampaknya hendak berhati-hati menghadapi
kemungkinan terjadinya keributan. Warga ibukota ini masih ingat
keributan di Pasar Waru Tanjung Priok yang diresmikan Gubernur
DKI September tahun lalu. Yaitu gara-gara membengkaknya jumlah
pedagang dari yang telah didaftar semula. Lain lagi di Pasar
Inpres Cempaka Putih yang sampai sekarang masih banyak kosong,
gara-gara para pedagang enggan masuk dengan alasan "tak akan
laku berjualan di sana." Dan memang, di kawasan Cempaka Putih,
pedagang kaki lima tampak berkembang terus.
Pasar Inpres di Blok V dan VI Pusat Perdagangan Senen itu akan
diresmikan bulan April nanti. Dari 37 buah Pasar Inpres yang
direncanakan Pemda DKI dalam tahun anggaran 1976/1977 lalu, baru
12 buah selesai--satu di antaranya di Senen itu. Dan sementara
sisanya masih belum digarap, untuk tahun 1977/1978 DKI
memperoleh lagi jatah Pasar Inpres sebanyak 36 buah dengan biaya
Rp 6,5 milyar. Semuanya dimaksudkan untuk menampung pedagang
kaki lima dan bermodal lemah yang jumlahnya tak kurang dari
40.000 orang di seluruh lakarta Raya ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini