Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Mencahari Pencuri Anak Perawan

Ernawaty, 16, penduduk kp. bandar sakti, tebingtinggi sedang mencari pekerjaan ketika bertemu zul, 23. dijanjikan pekerjaan, ia mengikuti ketika diajak ke kp. bagelen dan diperkosa di rumah kosong. (krim)

11 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANGKA kejahatan di Tebingtinggi dan Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, bertambah. Tahun lalu perkara yang menjadi urusan polisi ada 1689. Tahun sebelumnya 10% di bawah angka itu Sebagian kejahatan pencurian, selebihnya penganiayaan, narkotika sampai uang palsu. Tapi perkara susila, 51 perkara, masih tetap jadi pembicaraan mengesalkan setiap kali kasusnya teriadi. Seperti keresahan Ny. Maimunah, 40 tahun, penduduk Kampung Bandar Sakti Kecamatan Tebingtinggi di Deli Serdang. Mula-mula, sejak 4 Januari lalu, ia kehilangan anak perawannya, Ernawaty alias Taing, yang baru berusia 16 tahun. Saudara dan para tetangga dikerahkan ke sana ke mari. Sampai satu dua hari jejak Erna tak tercium. Dari pengalaman yang sudah-sudah, terutama cerita dari mulut ke mulut penduduk di sana, Maimunah sudah berprasangka buruk. "Anak saya pasti diperkosa orang!" Bukti memang belum ada. "Anak saya manis, sih. Dan banyak lelaki yang menyukainya," kata ibu ini. Baru empat hari setelah Erna lenyap, seorang penduduk ada memberi info: Ia melihat Erna digiring oleh lima pemuda menuju Kampung Bagelen. Salah satu penggiringnya cukup dapat dikenal: Zul yang sudah beken di kawasan situ. Menurut catatan polisi, Zul (23) ini "memang recidivis," kata Letnan Sitohang dari Kepolisian Sektor 20208 Tebingtinggi. Dosanya, menurut polisi, meliputi kejahatan perampokan, pencurian, penjambretan sampai pemerkosaan di sekitar kota Tebingtinggi. Zul ini juga sudah entah berapa kali masuk keluar penjara. Bagelen diacak-acak. Tapi baru 17 Januari berikutnya polisi berhasil menemukan Erna di sebuah rwnah kosong. Zul dan teman-temannya sempat kabur. Hingga kini masih buron. Hari itu, 4 Januari, Erna menyusuri Jalan Thamrin. Tanpa tujuan. Pikirannya sumpek dan buntu. Ia harus cari pekerjaan, tapi entah musti ke mana. Di jalan itulah ia kepergok Zul dan keempat temannya. Dua teman Zul, yaitu Asmara (21) dan Anton (19), sudah dikenal polisi. Permulaannya biasa saja. Erna digoda. Zul menegur sopan. Erna, yang semula acuh tak acuh, mulai tertarik oleh Zul. Sebab pemuda ini bertampang lumayan juga. "Saya menaruh simpati kepadanya," kata perawan ini kemudian. Bicara ke sana ke mari, Zul tampak meyakinkan hati Erna. Lalu si gadis berterus-terang: ia. bekas babu, kini tengah menganggur dan kepingin kerja. Zul mulai main. Ia menjanjikan pekerjaan yang baik, asal Erna sendiri mau mengikutinya ke Bagelen. Yang diajak menurut saja. Di Bagelen rombongan anak muda ini langsung ke sebuah rumah kosong. Kepada gadis yang baru digaetnya itu, Zul bilang rumah itu miliknya. Erna percaya. Tapi, setelah mereka berada di sana sampai malam, Zul belum juga bicara soal pekerjaan bagi Erna. "Besok saja," katanya. Jadilah Erna harus menginap di sana. Ia tak menolak, karena begitu mengharap pekerjaan yang dijanjikan kenalan barunya itu. Untuk menginap di sana, Zul menyediakan sebuah kamar dan balai-balai. Keempat temannya, sebelum tengah malam, sudah dipersilakan pergi. Dan Zul dan Erna kemudian merayakan pertemuan mereka dengan kacang goreng dan sebotol minuman keras, Vigour. Dari acara itu barulah mereka meningkat ke acara lain-lain. Erna, kemudian bercerita, ia terpaksa sekali menuruti keinginan Zul. Oleh pengaruh minuman keras yang memabukkannya, dan paksaan keras Zul itulah ia tak berdaya. Mau berteriak, "saya malu," katanya. Tapi malam-malam berikutnya Erna tak lagi harus terpaksa. Sebab, katanya, di samping sudah terlanjur, Zul juga menjanjikan sesuatu lebih dari hanya pekerjaan: akan mengawininya. Malam keempat, teman-teman Zul muncul kembali. Jumlahnya masih tetap empat orang. Dan mereka ternyata juga menuntut hak yang sama dengan Zul. Erna tak kuasa menghindar. Begitulah, Erna terkurung di antara kelima pemuda itu sampai polisi datang menjemputnya, 17 Januari berikutnya. Semua bajingan itu sempat kabur. Bioskop Lagi-lagi bioskop rakyat, yang diputar keliling daerah tanpa pembatasan umur bagi penontonnya dan sering diputar lewat tengah malam, dianggap sebagai penyebab malapetaka susila. Lewat film-film seks, begitu anggapan selama ini, pemuda yang kurang kuat imannya memperoleh informasi untuk melanggar kesusilaan. Dan dengan kasus Erna itu, sekali lagi pejabat di sana membuat janji: "Izin pemutaran film akan saya cabut jika masih melanggar peraturan" seperti kata Letnan Sitohang. Itu sudah janji yang kesekian pada setiap akhir peristiwa kejahatan susila yang menonjol di daerah itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus