Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Yang Sudah Ada

18 Desember 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBAGAI kota terdepan di Irian Jaya Sorong tampaknya banyak punya kemungkinan masa depan yang cerah. Hasil minyak bumi yang diolah Pertamina, Petromer Trend, Gulf Oil dan Sun Oil (2 terakhir masih dalam taraf eksplorasi), sudah kelihatan memberi harapan. Lalu 3 modal Jepang dan satu perusahaan milik negara, sudah pula kelihatan repot di bidang perikanan dan udang. Tak kurang 50 kapal perikanan bersliweran di kawasan laut sekitar kota ini. Kapal tangki minyak dan kapal lokal, ramai pula di bandar lautnya. Di samping Ujungpandang, tampaknya kota ini akan tumbuh jadi pusat ekonomi kawasan timur Indonesia. Tapi tak berarti Sorong sudah siap. menghadapi pertumbuhan seperti itu Sekarang ini cuma 3 dermaga dipunyainya. Pertama Sorong Doom, berukuran 40 x 8 M, punya gudang tapi tak bisa di manfaatkan. Lalu dermaga besar dari kayu, tapi sudah lapuk. Terakhir, yang paling kecil 15 x 3 M melayani kapal-kapal 10-150 dwt dan selalu dipadati sekitar 22 kapal. Crane yang dimilik cuma satu dan hanya berkemampuan 60%, forklift dan trailer rusak berat. Padahal Sorong harus membongkar barang sekitar 900 ton dan memuat 2000 ton tiap bulan. Apalagi Sorong merupakan pelabuhan transit jurusan Merauke dan Fafak. Hingga bila kapal ke jurusan selatan belum siap terpaksa barang ditumpuk dilapangan terbuka dengan cuma ditutup terpal. Bisa dibayangkan akibatnya bila barang-barang itu berupa semen atau beras. Belum lagi air untuk kapal-kapal itu jadi masalah. Di samping juga tenaga pandu. Namun perkara pertumbuhan kehidupan hiburan dan pelacuran tampaknya lebih cepat kelihatan. Klub malam, TTR (satu-satunya di Irian Jaya) dan tempat lokalisasi pelacuran bernama Malano sudah lama ada. Hingga Amo Suwarma, Kepala Kanwil Sosial Irian Jaya pernah berucap: "Perdagangan daging mentah" di Sorong sangat ramai". Menurut Suwarma mereka yang jadi pelacur itu kebanyakan berasal dari Lamongan. Wanita-wanita itu kebanyakan datang ke sana karena ditipu untuk dicarikan pekerjaan. Tapi sebenarnya cuma untuk dijadikan mangsa buruh-buruh minyak. Meski akibat banyak proyek Pertamina yang dihentikan, banyak pula mereka yang jadi penganggur. Lalu pulang ke kampung halamannya di Manado, Sulawesi Selatan atau Jawa Timur dan Maluku, dengan menumpang kapal secara gelap .

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus