Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DAVOS bukanlah Mekah. Udara di kota kecil di kaki Pegunungan Alpen itu amat dingin, sekitar 0 derajad C di akhir Januari, sedangkan kota Mekah amat panas. Tetapi tidak berlebihan menyebut, Davos di Swiss sebagai Mekahnya seminar dan simposium. Ini karena World Economic Forum yang berlangsung setiap tahun -- kali ini dari 30 Januari s/d 4 Februari -- dihadiri oleh pimpinan pemerintahan, entrepreneur, dan "captain of industry" serta akademisi yang semuanya merupakan pemuncak di bidangnya. Hadir sekitar 25 kepala negara/kepala pemerintahan, ratusan menteri, pimpinan konglomerat dan multinational dari negara maju dan berkembang, serta akademisi yang mempunyai reputasi dunia. Nama seperti Nelson Mandela, Henry Kissinger, Raymond Barre, Akio Morita, Narasimha Rao, Nawaz Shariff, Sulayman Demirel, V.W. De Clark, Jagdish Bhagwati, bertaburan di Davos. Lebih dari 80 negara terwakili di situ. Terdapat 800 peserta yang membayar amat mahal. Jika dihitung dengan wartawan dan peninjau, ada 2.000 orang yang hadir di Davos. Kontingen Indonesia tidak banyak, yaitu Harun Al Rasyid (Caltex), Soegiarto dan Sumardi (kelompok Bumiputera), Aburizal Bakrie (kelompok Bakrie), Suyanto Gondokusumo (kelompok Darmala), dan penulis sendiri, mewakili ECFIN. Kali ini, dilaporkan dulu tentang Politik Dunia sekarang. Satu sesi penting adalah "Apa yang dimaksud dengan Orde Dunia Baru". Tema ini tentu saja menggigit karena perubahan mendasar di Eropa Timur dan Uni Soviet, yang kini menjadi Persemakmuran Republik-Republik Merdeka. Persemakmuran ini, menurut Henry Kissinger, menjadi pertanyaan, berapa besarkah dimensi commonwealth atau persemakmuran dan berapa banyak kadar independent atau kemerdekaan dari republik-republik. Adanya konflik senjata antara Azerbaijan dan Armenia, serta konflik pendapat antara Rusia dan Ukraina mengenai kontrol terhadap angkatan laut di Laut Hitam, merupakan contoh nyata dari dimensi "persemakmuran" versus kadar "kemerdekaan" dari republik-republik itu. Sesi ini diketuai Henry Kissinger dan berbicara tokoh-tokoh seperti Suleyman Demirel (PM Turki), Cesar Gaviria Trujillo (Presiden Kolombia), Sid Ahmed Ghozali (PM Aljazair), Manfred Worner (sekjen NATO), serta Gianni De Michelis (menteri luar negeri Italia). Dari akademisi tampil Motto Shiina (presiden dari Policy Study Group, Jepang). Amat menarik pandangan dari "Selatan" yang diwakili oleh Cesar Trujillo serta Sid Ahmed Ghozali. Trujillo menekankan berkurangnya peran ideologi dan pentingnya pemahaman tentang konflik-konflik ekonomi. Ia menekankan, peran negara-negara Selatan yang akan semakin menonjol dalam Orde Dunia Baru. Masalah-masalah migrasi (menimbulkan rasialisme di Eropa Barat), lingkungan, drug trafficking atau lalu lintas narkotik, kesemuanya memerlukan peran yang semakin besar dari negara berkembang. Sementara itu, Sid Ahmed Ghozali memperingatkan bahwa "Orde Internasional Baru" akan dapat menjadi "DisOrder" atau kekacauan, bila masalah kemiskinan di negara berkembang tidak dianggap sebagai masalah dunia yang memerlukan penanganan dari semua negara. Sementara itu, pandangan "Utara" menonjol dari perkataan Sekjen NATO, Worner, yang menyatakan bahwa hubungan antara Amerika Utara dan Eropa menjadikan wilayah-wilayah itu sebagai pusat stabilitas bagi dunia. Ia memperkirakan, integrasi supranasional akan menggantikan persaingan dan ini membebaskan sumber-sumber ekonomi untuk digunakan sebagai wahana untuk mengatasi masalah-masalah negara berkembang. Pandangan yang melihat negara berkembang sebagai tempat memberi "sedekah" bagi negara maju bertentangan dengan fakta bahwa kawasan Pasifik justru bertumbuh sebagai salah satu pusat pertumbuhan dunia yang paling mengesankan. Inilah yang dengan tepat ditamsilkan oleh Motoo Shiina dari Jepang sebagai tugas Jepang terhadap negara berkembang. Tugas itu adalah menjadikan negara berkembang dari "pemakan kue" (pie eater) menjadi "pembuat kue yang andal" (skilled pie baker). Tentu saja negara berkembang dapat bertanya bagaimana wujud pelaksanaan dari pihak Jepang selain pandangan-pandangan umum seperti alih teknologi dan bantuan luar negeri yang diberikan Jepang. Bukan saja meningkatkan bantuan tetapi juga memfokuskan arah dan penyebaran bantuan, sehingga negara berkembang dapat menyerap kesempatan kerja serta sekaligus memacu pertumbuhan ekonominya. Di sini memang muncul masalah dari Dunia Baru pascaperang dingin. Dunia Baru ini, menurut Kissinger, adalah dunia dengan kekuasaan multipolar dan negara-negara harus belajar untuk hidup dengan keseimbangan kekuasaan serta pada saat yang sama mencari basis bagi kerja sama internasional. Yang kurang menonjol dalam analisa Kissinger adalah bagaimana perubahan yang harus dijalankan Amerika Serikat karena posisinya yang unik sebagai superpower yang kekuatan nuklir dan militernya jauh melampaui Inggris, Prancis, dan Cina, sementara kekuasaan nuklir dan militernya kini jelas melampaui Republik Rusia maupun negara-negara persemakmuran bekas Uni Soviet. Betapa Rusia nyaris lumpuh dapat diilustrasikan oleh keterangan Boris Yeltsin bahwa ia hanya mampu menaikkan gaji ahli nuklirnya US$ 50 sebulan. Ini amat mengkhawatirkan karena kalaupun nanti persenjataan nuklir ingin dihapus sehingga tinggal dalam jumlah yang minim, diperlukan ahli yang amat banyak untuk memusnahkan senjata nuklir itu. Bila isyarat dini adalah State of The Union Message dari Presiden George Bush, isyarat ini agak mengecewakan. Hanya US$ 50 milyar jumlah pengurangan biaya pertahanan dalam bujet federal yang akan datang. Seorang yang optimis dapat saja mengatakan bahwa yang penting adalah kecenderungannya dan trendnya adalah penurunan biaya pertahanan. Tetapi, mengingat besarnya dana yang diperlukan bagi turn around ekonomi Republik Rusia dan Persemakmuran serta negara-negara Eropa Timur, masih sulit mengharapkan sumber dana dari Amerika Serikat. Agaknya, peran Jepang dan Jerman semakin menonjol dalam kancah politik dunia. Jerman membuktikan dirinya dengan pengakuannya pada Kroasia (tanpa konsultasi dengan Amerika Serikat) dan ini menamatkan peta Yugoslavia yang kita kenal. Bagaimana dengan peta Ekonomi dan Bisnis Dunia 1992 ? Laporan minggu depan akan memuat hal ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo