Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KONTROVERSI pencairan uang Tommy Soeharto di Bank Paribas cabang London menyeret nama Menteri Yusril Ihza Mahendra. Yusril, yang saat itu menjadi Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, kabarnya mengeluarkan rekomendasi sehingga duit itu cair dari brankas Paribas.
Pria kelahiran Belitung 51 tahun lalu ini juga dikritik karena mengizinkan rekening departemen itu dipakai untuk menampung dana Tommy dari Paribas. Dalam pencairan dana ini, Tommy menggunakan jasa hukum kantor Ihza and Ihza, yang sebagian sahamnya dimiliki Yusril.
Yusril lalu dijepit kiri-kanan. Ada yang mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendepak Yusril dari kabinet. Yang lain mendorong kejaksaan mengusut perkara ini dan memeriksa pria yang kini menjadi Menteri-Sekretaris Negara itu. Trimedya Panjaitan, Ketua Komisi Hukum DPR, menyatakan polisi harus proaktif menyelidiki surat itu. "Yusril harus menjelaskan apa motif rekomendasi itu."
Menteri Yusril mengaku bahwa Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia tidak sembarangan mengeluarkan surat itu. Jawaban ke Paribas itu dikirim, kata dia, setelah mendapat penjelasan dari lembaga terkait, seperti Kejaksaan Agung, Bank Indonesia, Pengadilan Tinggi DKI Jaya, serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Penjelasan Yusril itu diperkuat Hamid Awaludin, menteri yang menggantikannya. Dengan mantap Hamid bilang, "Uang Tommy itu halal." Tapi penjelasan dua menteri ini dibantah petinggi sejumlah lembaga itu. Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengaku harus mengecek dulu siapa jaksa yang dimintai konfirmasi saat itu. Para jaksa yang saat itu sibuk mengurus perkara PT Timor milik Tommy Soeharto mengaku tidak pernah ditanyai soal kasus ini. "Saya tidak pernah dimintai konfirmasi soal harta Tommy Soeharto," kata Sudhono Iswahyudi, bekas Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, yang saat itu menyelidiki kasus Timor.
Pengadilan tinggi juga mengaku tidak pernah mengeluarkan surat yang berisi Tommy Soeharto bebas dari tindak pidana korupsi. Beberapa lembaga lain juga membantah.
Dibantah kiri-kanan seperti itu, guru besar ilmu tata negara Universitas Indonesia ini masih cekatan berargumentasi. "Saya tidak akan mundur dari tanggung jawab," katanya kepada Wahyu Muryadi dari Tempo akhir pekan lalu. Petikan wawancaranya:
Anda kenal Tommy Soeharto?
Tidak. Bicara melalui telepon saja tak pernah. Dengan keluarga Pak Harto, saya cuma kenal Tutut dan Bambang Trihatmodjo.
Aneh rasanya, mengapa rekening departemen malah dipakai untuk memarkir dana milik seorang narapidana?
Terjadinya kasus pidana pada seseorang tidak bisa lantas menghapuskan hak-hak perdatanya. Dia kan dihukum karena kepemilikan senjata gelap dan pembunuhan hakim agung.
Kenapa Anda selaku Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia saat itu membantu pencairan dana Tommy?
Kami kan hanya membantu setiap warga negara yang membutuhkan bantuan. Inti masalah yang perlu Anda tahu adalah Bank Paribas ingin menguasai duit itu. Kita ini ribut-ribut di sini, yang untung justru mereka, karena yang punya duit tak bisa menikmati bunganya selama 10 tahun. Sedangkan Paribas bisa saja memutar uangnya. Jelek-jeleknya duit itu kan bisa dipakai Tommy membalap lagi, menghidupkan Sirkuit Sentul, berinvestasi di sini, buka warung nasi goreng atau apalah yang bisa membuka lapangan kerja.
Kenapa harus mengirim surat ke Paribas?
Surat yang saya kirim isinya sangat normatif. Itu sesuai dengan permintaan mereka. Semula sudah dilakukan pengecekan ke Kejaksaan Agung, apakah yang bersangkutan pernah beperkara. Zulkarnain Yunus juga mengirim surat ke PPATK. Berdasarkan surat PPATK, ada dua suratnya, salah satunya sangat rahasia, yang intinya menyatakan tak pernah ada transaksi yang mencurigakan. Menurut Pengadilan Tinggi DKI Jaya juga tak ada masalah. Saya cuma menjawab Paribas, semua dokumennya lengkap.
Apa saja yang Anda tegaskan dalam surat itu?
Saya tegaskan juga dalam surat bahwa kondisi tak beperkara ini terhitung sampai dengan hari itu. Bahwa kemudian ada perkara yang menyusul, itu soal lain. Tapi kenapa dari tahun 2005, sejak dana itu diterima, sampai 2007 ini, kejaksaan dan kepolisian tidak memperkarakannya? Namun, soal pencairan rekening, itu terjadi di zaman (Menteri) Hamid. Dia bilang, sebelumnya pernah mengirim surat ke Departemen Keuangan dua kali, tapi tak pernah dibalas. Juga pemberitahuan ke Bank Indonesia. Tapi mereka kini saling cuci tangan. Namun saya tak mau menjelaskan lebih jauh, tak mau jadi juru bicara Hamid.
Bukankah setiap penerimaan negara harus disetorkan ke kas negara?
Itu kalau penerimaan negara. Ini kan duit orang, bukan penerimaan negara. Rekening itu cuma dibuka sebentar, untuk sekali pengiriman dana ini, lalu ditutup lagi. Bagi saya, sih, kita ini bersusah payah meminta dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia agar kembali ke sini susah betul. Duit kita malah dibawa kabur ke luar negeri. Tapi ada duit yang mau masuk kemari malah ribut.
Kenapa memakai jasa firma hukum Ihza and Ihza milik Anda?
Itu soal kebetulan saja. Wajar dong kalau mereka mendapatkan fee. Pertanyaannya sengit ke Paribas dan akhirnya sukses. Berapa fee-nya bisa Anda cek ke Direktorat Jenderal Pajak. Kalau saya mendapat dividen sebagai salah satu pemilik firma hukum itu, apa salahnya?
Kabarnya, Anda ikut memonitor perkara ini dan seminggu sekali ikut rapat di kantor firma hukum itu?
Saya nggak pernah ikut-ikutan soal itu. Hidayat (pengacara partner dan karib Yusril) yang mengurusi kasusnya sampai selesai. Jangan khawatir, soal kasus ini atau apa pun saya tak pernah mundur. Saya bertanggung jawab penuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo