Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERATURAN Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD, November lalu, disambut unjuk rasa dan kecaman. Pemerintah, khususnya Menteri Dalam Negeri Mohammad Ma’ruf, jadi sasaran tudingan, dianggap tak peka pada penderitaan rakyat.
Peraturan itu memberi tambahan pendapatan sangat besar bagi anggota dan pemimpin legislatif di daerah. Apalagi diberlakukan mundur, sehingga besaran rupiahnya sangat gemerlap.
Aksi mahasiswa dan lembaga swadaya masyarakat merebak di sejumlah kota, menuntut peraturan itu dicabut. Dua bulan setelah keluarnya peraturan heboh yang mampu menelan anggaran lebih dari Rp 1 triliun itu, sejumlah rapat darurat digelar. Menteri Ma’ruf memanggil ketua DPRD dan sekretaris Dewan seluruh Indonesia ke kantornya. Setelah itu, rapat dengan DPR.
Hasil dua pertemuan itu: peraturan ditunda sementara, dan revisi disiapkan. Kepada semua pemerintah daerah dilayangkan surat agar menunda pembayaran tunjangan, termasuk rapel, seperti termaktub dalam PP Nomor 37 itu.
”Saya juga mengundang sejumlah akademisi,” kata Ma’ruf. ”Mereka diminta memberikan masukan terhadap materi revisi yang sedang disiapkan.”
Ketika rencana revisi berembus, protes yang tak kalah sengit kembali muncul. Kali ini dari anggota DPRD yang merasa pendapatannya terpangkas kembali. Bahkan ada ancaman menggugat pemerintah, khususnya Kementerian Dalam Negeri, yang dianggap mempermainkan para anggota DPRD. ”Biarkan saja, kami siap,” kata mantan Duta Besar Indonesia untuk Vietnam itu.
Di ruang kerjanya yang seluas lapangan bulu tangkis, ayah tiga putri itu menerima Herry Gunawan dan Eko Ariwibowo dari Tempo, awal bulan ini. Perbincangan berlangsung santai, kerap diiringi tawa. Padahal di ruang tunggu sudah menanti sejumlah tamu yang ingin berjumpa dengan tokoh yang gemar bermain tenis itu—termasuk istrinya, Susiyati Hasmeng.
Sudah sampai di mana rancangan revisi peraturan yang menghebohkan itu?
Secara policy sudah selesai. Sudah kami sampaikan dalam rapat-rapat terbatas bersama sejumlah menteri dan Presiden. Tidak ada masalah lagi. Hanya, secara administrasi belum selesai. Giliran Tim Gabungan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Sekretariat Negara, yang bertugas menjabarkannya.
Bagian mana yang direvisi?
Rapel harus dikembalikan. Paling telat satu bulan setelah masa bakti berakhir, yaitu 2009. Caranya dicicil. Soal teknisnya diatur atas kesepakatan antara pemerintah daerah dan DPRD.
Selain itu?
Besar tunjangan DPRD disesuaikan dengan kemampuan daerah, yang kami bagi menjadi tiga kluster: daerah kemampuan tinggi (pendapatan daerah lebih dari Rp 1,5 triliun untuk provinsi dan Rp 0,4 triliun untuk kabupaten), sedang (provinsi Rp 0,6-1,5 triliun dan kabupaten Rp 0,2-0,4 triliun), dan rendah (provinsi kurang dari Rp 0,6 triliun dan kabupaten kurang dari Rp 0,2 triliun).
Kluster itu kami buat karena pendapatan daerah timpang. Ada Jakarta yang punya pendapatan asli daerah Rp 8 triliun setahun, sementara ada Kabupaten Keerom, Papua, yang pendapatannya hanya Rp 48 juta setahun.
Apa hubungan pembuatan kluster itu dengan tunjangan yang diterima DPRD?
Misalnya, tunjangan komunikasi intensif, yang tadinya disamakan bagi semua daerah, saat ini disesuaikan dengan kluster. Bagi daerah dengan kemampuan tinggi, besarnya maksimal tiga kali dari uang representasi (gaji bulanan), untuk daerah berkemampuan sedang dua kali, sedangkan bagi daerah berkemampuan rendah paling banyak satu kali. Tunjangan itu dibayarkan terhitung 14 November 2006. Tidak ada rapel.
Bagaimana kalau ada yang tidak bersedia mengembalikan rapel dengan alasan peraturan tidak bisa berlaku surut?
Kami memahami, dana rapel yang sudah dibayarkan ada yang terpakai. Makanya kami mengambil kebijakan, pembayaran diangsur sampai habis masa jabatannya. Teknisnya, akan keluar peraturan Menteri Dalam Negeri sebagai penjabaran PP revisi ini. Itu dilanjutkan dengan peraturan daerah. Kalau ada yang tidak bersedia mengembalikannya, kita serahkan kepada aspek hukum saja.
Kalau mereka dipaksa mengembalikannya, Anda siap seandainya DPRD melayangkan gugatan?
Ya, itu masalah hukum. Kalau ada yang menuntut, kami serahkan kepada aparat penegak hukum. Itu bukan lagi wilayah eksekutif, melainkan sudah bagian yudikatif.
DPRD merasa dipermainkan dengan kebijakan revisi ini…
Dalam era demokrasi, beda pendapat kan wajar saja? Kekhawatiran anggota DPRD, seperti dijebak atau dipermainkan, dapat dipahami walaupun tidak beralasan. Pemerintah sama sekali tidak bermaksud melakukan jebakan, apalagi menggiring anggota DPRD ke pengadilan. Terbitnya PP 37 (yang telah disempurnakan) justru merupakan payung hukum sekaligus pedoman dalam mengelola anggaran DPRD berdasarkan asas kepatutan, proporsionalitas, dan kemampuan keuangan daerah. Dengan begitu, daerah punya pedoman yang jelas.
Persoalannya, masih ada daerah yang tak mampu membayar. Bahkan Menteri Keuangan mencatat ada 13 daerah yang seperti itu….
Itu memang salah satu substansi yang secara teknis akan dibahas dalam tim terpadu. Saya kira tim yang akan memecahkannya. Bisa saja ada subsidi dari pemerintah pusat, misalnya.
Mengapa masalah ini luput dari kajian ketika mengeluarkan PP 37 pada November tahun lalu?
Begini, ya. Peraturan ini kan dinamis? Jadi, tidak sekali jadi langsung sempurna. Jangankan peraturan pemerintah, undang-undang pun, kalau sudah tidak cocok, dievaluasi. Itulah gunanya evaluasi peraturan.
Jarak antara diberlakukan dan rencana revisi begitu dekat, hanya dua bulan. Bukankah ini bukti tidak matangnya kajian yang dilakukan sebelumnya?
Seperti yang saya katakan tadi, itu dinamika perkembangan sosialisasi politik. Begitu ada respons dari masyarakat, kami bertindak cepat.
Jadi, karena desakan masyarakat yang memprotes kebijakan itu, Anda mengajukan revisi?
Kami mendengarkan aspirasi masyarakat. Aspirasi dari akademisi juga masukan yang bagus. Jika kita mendeteksi lebih awal (kelemahan peraturan), tentu lebih baik. Jangan sampai membiarkan berlama-lama. Sekarang sudah ada data yang lengkap, sehingga ada waktu yang tepat untuk merevisi.
Ada kesan pemerintah mau merangkul anggota partai di daerah dengan kebijakan tunjangan ini. Mungkin saja terkait dengan Pemilu 2009….
Saya kira tidak ada itu. Orientasi pemerintah ialah bagaimana pemerintahan di daerah bisa berjalan, pembangunan berjalan, begitu juga layanan publik. Untuk itu semua, butuh aspirasi dari masyarakat. Tujuannya ke situ. Setelah ditimbang-timbang, memang anggaran untuk komunikasi kurang. Selain itu, ini kan merupakan revisi dari PP Nomor 24/2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD.
Menurut Anda, ada yang salah dari kebijakan belanja DPRD yang berlaku selama ini?
Dulu kan dengan perhitungan persentase, yaitu 0,25 persen dari pendapatan asli daerah. Bayangkan ketimpangan pendapatan Jakarta dengan (Kabupaten) Keerom, Rp 8 triliun per tahun dibandingkan dengan Rp 48 juta. Hal seperti ini yang kami evaluasi, dengan dasar proporsionalitas dan kepatutan.
Pokoknya, kebijakan yang sekarang lebih rinci dan jelas. Karena itu, anggaran di luar yang sudah ditentukan dilarang. Selain itu, kami berharap ”anggaran siluman” (seperti anggaran kaveling tanah, uang terima kasih setelah jabatan berakhir—Red.) tidak ada lagi dengan adanya peraturan pemerintah yang menjadi pedoman bagi kepastian hukum di daerah.
Ketika menjadi tentara, Anda banyak bertugas di teritorial. Ada manfaatnya bagi upaya mengatasi dinamika di daerah seperti sekarang?
Ya, dengan kenyang bertugas di teritorial, saya jadi memahami adat istiadat daerah. Perbedaan pendapat wajar. Pengalaman bertugas itulah yang membuat saya sadar betul makna Bhinneka Tunggal Ika. Berpegang teguh pada konsep wawasan Nusantara menjadi modal saya.
Maksudnya bagaimana?
Saya sadar betul dengan tugas saya, berhubungan dengan adat istiadat yang beragam. Kalau ke Sumatera Utara, ya horas, ke Jawa Barat punten, ha-ha-ha…. Bagi saya, dalam demokrasi, dialog menjadi kata kunci. Kita tahu seseorang berpendapat seperti itu dengan latar belakangnya. Kemudian kita berdialog mencari titik temunya.
Belajar demokrasi juga ya ketika menjadi tentara?
Ya belajar, dong. Sejak di Magelang (Akademi Militer) sampai ikut ke Lemhannas (Lembaga Ketahanan Nasional).
Tapi itu kan hanya teori? Bukankah praktek di ketentaraan sifatnya hierarkis?
Kita belajar teori untuk apa? Kan, harus kita jabarkan dengan melihat perkembangan lingkungan.
Contohnya?
Kita me-manage demokrasi lewat peraturan. Buktinya, saat ini mungkin sudah 300 daerah yang melaksanakan pemilihan kepala daerah, dan umumnya berlangsung aman. Padahal kekuatan pendukung makin bawah kan makin rentan? Nah, semua ini kita jaga dengan segala aturan.
Saat ini Anda masih merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang kepala daerah yang mengikuti pemilihan kepala daerah. Mahkamah Agung sudah memutuskan harus mundur dulu dari jabatannya?
Revisinya masih jalan. Prinsipnya, tidak boleh ada kekosongan dalam pemerintahan daerah. Jika yang maju dalam pemilihan hanya kepalanya, tidak jadi masalah. Kan, ada wakilnya? Yang jadi masalah itu kalau dua-duanya maju.
Letnan Jenderal TNI (Purn.) H. Mohammad Ma’ruf A.R., SE
Jabatan: Menteri Dalam Negeri RI
Lahir: Tegal, Jawa Tengah, 20 September 1942
Pendidikan: Akademi Militer Nasional, 1962
Sebelum Menteri:
- Kepala Staf Kodam IX Udayana, 1990
- Kepala Staf Kodam IV Diponegoro, 1991
- Gubernur AMN Magelang, 1992
- Asisten Sosial Politik Kassospol ABRI, 1993
- Kepala Staf Sosial Politik ABRI, 1995
- Dubes RI untuk Vietnam, 1996
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo