Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Yusril Tak Hilang, Hamid Terbilang

Menteri Hamid Awaludin ditengarai ikut berperan mencairkan uang Tommy Soeharto di Bank Paribas cabang London. Penelusuran Tempo menunjukkan, ia bahkan mengatur ke mana uang itu harus ditempatkan.

19 Maret 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
headline1004.jpg

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SURAT itu tertanggal 4 April 2005. Pengirimnya adalah Hamid Awaludin, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Surat itu ditujukan kepada dua alamat sekaligus: Bank Paribas cabang London dan Bank Paribas cabang Guernsey, sebuah pulau di selatan ibu kota Inggris Raya. Paribas pertama beralamat di Harewood Avenue London dan yang kedua di Sint Peter Port, Guernsey, Channel Island.

Dalam surat itu Hamid meminta agar uang Motorbike dikirim ke rekening Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Rekening itu ada di Bank BNI cabang Tebet, Jalan Profesor Supomo Nomor 25, Jakarta Selatan. Hamid meminta agar uang dikirim dalam bentuk dolar Amerika Serikat.

Motorbike adalah perusahaan milik Hutomo Mandala Putra, putra Presiden Soeharto. Perusahaan ini disebut berkantor di Kepulauan Bahama, nun jauh di Amerika Tengah. Selain memiliki Motorbike, Tommy juga mempunyai perusahaan bernama Garnet Ltd., yang berpusat British Virgin Island.

Kedua perusahaan itu menabung uang di Banque Nationale de Paris (BNP) Paribas. Ini sebuah bank swasta yang sohor di Eropa dan berpusat di Paris, Prancis. Garnet menabung uang di Paribas cabang Guernsey, sedangkan Motorbike menaruh duit di Paribas cabang London.

Uang itu menjulang jumlahnya. Bank Paribas cabang Guernsey menyimpan sekitar Rp 630 miliar. Adapun Bank Paribas London mengeram lebih dari US$ 10 juta atau Rp 100 miliar. Dana di dua bank itulah yang jadi polemik sepanjang tiga pekan terakhir.

Uang di Paribas Guernsey kini diperebutkan oleh pemerintah Indonesia dan Tommy Soeharto. Pemerintah menduga dana itu berasal dari usaha tak halal putra Soeharto itu di Tanah Air. Dugaan itu bermula dari laporan Financial Intelligence Services (FIS)—lembaga pelacakan keuangan di Inggris.

Lembaga itu mencurigai ada yang tak beres dengan uang itu. FIS menyebut fulus superjumbo itu sebagai ”dana yang terkait dengan Soeharto”. Atas permintaan lembaga itu, Paribas lalu membekukan dua rekening tersebut.

Sesudah gagal mencairkan dana itu, Garnet menyeret Paribas ke pengadilan Guernsey. Kasus ini sudah disidang dua kali. Sidang ketiga bakal digelar pada 30 Maret nanti. Kisah uang di Guernsey ini baru sampai di situ.

Kini, mari melihat uang di Paribas cabang London milik Motorbike. Uang Tommy masuk ke sana pada 2001. Setahun berselang, Tommy Soeharto—yang saat itu meringkuk di penjara Nusakambangan karena terlibat dalam pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita—meminta Irvan Gading mencairkan duit itu. Irvan adalah sohib Tommy sejak sekolah dasar.

Irvan lalu meminta bantuan hukum Ihza and Ihza, firma hukum yang sebagian sahamnya dimiliki Yusril Ihza Mahendra, yang saat itu menjadi Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Hidayat Achyar, pengacara dari Ihza and Ihza, yang menangani kasus ini. Irvan, Hidayat, dan petinggi Motorbike Sudjaswin Lubis lalu meluncur ke London guna mencairkan duit tersebut.

Tapi upaya itu gagal. Paribas tegas menolak. Bank itu menduga dana superjumbo ini terkait dengan upaya pencucian uang. Setelah adu ngotot dengan utusan Tommy, Paribas memberikan syarat. Uang bisa dicairkan jika ada verifikasi dari pemerintah Indonesia. Isi verifikasi: apakah Motorbike dan pemiliknya tidak terkait pencucian uang. Irvan, Hidayat, dan Sudjaswin lalu balik badan.

Di Jakarta mereka bergerak. Atas bantuan kantor Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, yang sat itu dipimpin Yusril Ihza Mahendra, Hidayat dan Irvan sukses mendapatkan verifikasi itu. Belakangan beberapa lembaga membantah memberikan verifikasi itu kepada Departemen Kehakiman.

Sejumlah kalangan menuduh Yusril menggunakan jabatan sebagai Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia untuk memuluskan pencairan duit Tommy. Saldi Isra, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Padang, menduga Tommy Soeharto memilih Kantor Ihza and Ihza karena Yusril menduduki jabatan Menteri Kehakiman. ”Patut diduga ada upaya saling memanfaatkan,” kata Saldi kepada Rini Kustiani dari Tempo.

Protes keras juga datang dari anggota Dewan di Senayan. ”Kalau dia menangani kasus yang berhubungan langsung dengan kewenangan jabatannya sebagai menteri, itu tidak pantas,” kata anggota Komisi Hukum Agun Gunandjar Sudarsa.

Yusril membantah keras soal konflik kepentingan itu. Dia beralasan, ”Orang lupa bahwa saya yang memindahkan Tommy Soeharto ke Nusakambangan.” Yusril juga menegaskan bahwa dirinya tak tahu soal pencairan dana itu. ”Proses pencairan terjadi saat Hamid Awaludin menjadi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia,” katanya.

Sampai Yusril pindah posisi menjadi Menteri Sekretaris Negara, dana itu tak kunjung cair. Upaya mendapatkannya kemudian dilanjutkan Menteri Hamid.

Pada 18 Februari 2005, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia mengirim surat ke Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Surat ditandatangani Zulkarnain Yunus, Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum.

Surat itu meminta penegasan dari PPATK apakah Tommy Soeharto, Sudjaswin Lubis, dan Abdurrahman Abdul Kadir Mulahela—ketiganya pendiri Motorbike—terkait dengan transaksi yang mencurigakan atau laporan yang mengarah pada pencucian uang.

Surat itu dibalas sepuluh hari kemudian dan diteken Yunus Husein, kepala lembaga itu. Dalam surat tersebut, kata Yunus kepada Tempo, disebutkan bahwa transaksi keuangan yang mencurigakan atas tiga nama itu tidak ditemukan dalam database. Tentu saja kawan-kawan Tommy Soeharto kegirangan.

Tapi sabar dulu. Di alinea terakhir surat, Yunus memberikan tiga catatan penting. Pertama, informasi itu bersifat rahasia. Kedua, informasi ini tidak dapat diteruskan ke pihak mana pun tanpa persetujuan tertulis lembaganya. Ketiga, informasi ini tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti dalam proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan, atau hal-hal lain tanpa persetujuan PPATK.

Yang terjadi malah sebaliknya: semua informasi itu diteruskan Menteri Hamid ke Paribas. Selain meminta Paribas melepas duit itu ke rekening di Bank Negara Indonesia (BNI) cabang Tebet, Hamid juga mengirim surat lain ke Paribas pada 4 April 2005.

Mari kita lihat isi surat kedua itu. Ada empat poin penting di situ. Dalam poin pertama Hamid menegaskan bahwa berdasarkan informasi rahasia dari PPATK tanggal 28 Februari 2005, Hutomo Mandala Putra, Sudjaswin Lubis, dan Abdurrahman Mulahela tidak pernah dilaporkan melakukan transaksi mencurigakan.

Motorbike, kata Hamid, tidak sedang tersangkut perkara kriminal. Juga tidak ada laporan dari pengadilan bahwa perusahaan itu tengah tersangkut perkara hukum. Itu sebabnya, ujar Hamid, ”Tidak ada alasan hukum bagi pemerintah untuk menahan uang itu.”

Selain dikirim ke Paribas, informasi rahasia itu juga disampaikan ke Gubernur Bank Indonesia. Lihatlah surat ketiga Menteri Hamid. Tanggal sama dengan dua surat sebelumnya: 4 April 2005. Surat ini dikirim ke Bank Indonesia.

Sifat surat cuma pemberitahuan. Dalam surat ini, Hamid menegaskan bahwa pihaknya telah menerima informasi dari Kepala PPATK bahwa nama pengurus Motorbike tidak tersangkut kegiatan pencucian uang.

Sumber Tempo di lembaga pemerintahan heran mengapa Hamid membocorkan informasi ke Paribas. ”Kan Yunus Husein tegas-tegas meminta bahwa informasi itu tidak boleh diteruskan ke pihak lain,” kata sumber itu.

Yunus Husein juga protes keras atas bocornya surat itu. ”Kok, dikirim ke mana-mana, ya?” katanya. Informasi ini, ”Diteruskan secara tidak bertanggung jawab.”

Sejumlah pakar hukum terheran-heran mengapa Hamid membiarkan uang pribadi Tommy itu masuk ke rekening negara. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara jelas melarang penggunaan rekening pemerintah untuk menyimpan uang pribadi atau perusahaan swasta. ”Rekening itu hanya untuk menampung pendapatan negara bukan pajak,” kata Romli Atmasasmita, mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum dan guru besar Universitas Padjadjaran, Bandung.

Penegasan serupa disampaikan Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan Mulia Nasution. Departemen hanya punya kewenangan mengelola uang negara, bukan uang pribadi atau swasta. ”Kalau ditangani, itu namanya cari-cari kerjaan,” katanya.

l l l

UPAYA pencairan dana itu sukses. Dana masuk ke rekening BNI cabang Tebet, 14 Juni 2005. Jumlahnya sekitar Rp 100 miliar. Rekening ini dibuka Zulkarnain Yunus pada April 2005 khusus untuk menampung uang Tommy Soeharto itu (lihat ”Riwayat Pendek Rekening Tebet”).

Tapi uang segunung itu tak sempat mengendap lama. Hari itu juga uang itu dikirim ke rekening sebuah perusahaan, PT PSA, di BNI cabang Melawai Raya, Jakarta Selatan. Perusahaan ini diketahui milik seorang berinisial IYG, sohib Tommy Soeharto.

Cuma dua hari di situ, fulus kemudian mengalir ke sejumlah tempat. Jika dipilah, ada empat kategori penerima uang. Pertama perusahaan milik Tommy Soeharto, kedua sohib karibnya yaitu IYG, ketiga kepada lawyer Ihza and Ihza, dan keempat tarik tunai dengan cek (lihat infografik).

Penerima duit bermasalah pada tiga kategori pertama jelas identitasnya. Tapi identitas yang mencairkan cek tanggal 15 Juni 2005 gelap-gulita. Jumlahnya Rp 4,5 miliar. Sumber Tempo di pemerintah menganjurkan polisi memeriksa IYG untuk mengetahui siapa penerima dana ini. ”Dari IYG bisa diketahui kepada siapa uang itu diberikan.”

Hamid mengatakan tak menerima sepeser pun duit Tommy Soeharto ini. ”Kalau ada yang menyebut saya terima uang, itu sebuah tuduhan yang keji,” katanya. Kalaupun Hamid membantu pencairan dana ini, itu karena, ”Semua proses sudah dimulai sebelum saya menjadi menteri,” katanya (lihat ”Saya Hanya Melanjutkan Pendahulu Saya”).

Sumber Tempo di lembaga pemerintah menuturkan, Yunus sesungguhnya sudah melaporkan kasus ini ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, segera setelah kasus ini riuh dua pekan lalu. Presiden, kata sumber itu, berjanji, ”Akan berkonsultasi dengan lembaga terkait, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi.” Juru bicara kepresidenan Andi Mallarangeng mengaku tak tahu soal ini. ”Saya belum mendengarnya,” kata Andi.

Wenseslaus Manggut, Kurie Suditomo, Agoeng Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus