Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Waspadai ’Si Pencuri Penglihatan’

Glaukoma menjadi penyebab kebutaan kedua di Indonesia setelah katarak. Kehadirannya sering tak disadari.

19 Maret 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di usianya yang lewat setengah abad, penglihatan Budi Rustando terbilang awas. Kecuali kaca mata plus yang sesekali dia kenakan saat membaca, tak pernah Budi merasakan keluhan apa pun pada kedua bola matanya. Berlama-lama memelototi layar komputer pun tak masalah. ”Saya juga masih suka nyetir malam-malam. Semua masih jelas,” ujarnya.

Namun situasi jadi berubah ketika pada Agustus 2005 Budi mengantar istrinya yang dokter mata ke Jakarta Eye Center. Iseng-iseng Budi memeriksakan matanya ke dokter spesialis. Ternyata ada yang tak beres dengan dua bola matanya. Mata kiri Budi menderita glaukoma, yakni penyakit yang merusak saraf mata (saraf optik) akibat tekanan bola mata. Lebih dari 50 persen saraf penglihatan mata kirinya rusak.

Setelah dokter mengecek dengan alat pengukur tekanan mata atau tonometer, baru ketahuan tekanan bola mata Budi di atas normal. Tekanan bola mata normal adalah 10-20 mmHg, sedangkan tekanan bola mata kanan Budi 28 mmHg, dan mata kirinya 31 mmHg. Tekanan setinggi itu dapat merusak serabut saraf optik mata (penglihatan), yang bila terus dibiarkan dapat mengakibatkan kebutaan.

Pria yang tinggal di daerah Pondok Labu, Jakarta Selatan, ini mengaku kaget bukan kepalang mendengar diagnosis itu. Dia malah sempat berdebat dengan dokter. ”Siapa tahu dokter salah,” ujarnya waktu itu. Maklum, selama ini yang dia tahu, pengidap glaukoma biasanya sering merasakan sakit kepala, mual, dan sakit di sekitar mata. Dia sama sekali tak pernah merasakan berbagai gejala itu.

Ternyata Budi terkena glaukoma primer sudut terbuka, yang merusak penglihatan secara perlahan-lahan tanpa rasa sakit. ”Makanya sering disebut sebagai si pencuri penglihatan,” kata Ikke Sumantri, spesialis mata dari Jakarta Eye Center, yang menangani Budi. Karena tidak mengalami gejala umum penderita glaukoma, banyak pasien yang baru ketahuan menderita kerusakan mata serius ketika diperiksa pertama kali. Tak jarang pula yang tidak tahu jika sebelah matanya sudah buta.

Nah, untuk mendorong kesadaran masyarakat akan bahaya glaukoma dan perlunya deteksi dini terhadap glaukoma, Jakarta Eye Center membuka Glaucoma Center di Jakarta Barat. Pusat deteksi dini dan penanganan glaukoma yang diresmikan dua pekan lalu itu menggandeng Singapore National Eye Center untuk melakukan berbagai riset tentang glaukoma di Indonesia.

Di Indonesia, penderita glaukoma seperti Budi terbilang jarang. Mayoritas justru penderita glaukoma primer sudut tertutup, dengan risiko kebutaan lebih besar dan terjadi secara cepat. Walaupun ditandai sejumlah gejala seperti pusing, tetap saja glaukoma jenis ini sering diabaikan.

Namun, apa pun jenisnya, glaukoma tetap berakibat fatal, yakni buta total. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga 1993-1996 (survei ”terbaru” hingga kini), tingkat kebutaan di Indonesia mencapai 1,5 persen atau sekitar 3,3 juta penduduk. Sebanyak 0,2 persennya disebabkan glaukoma.

Data poliklinik mata RSCM-FKUI menyebutkan bahwa pada 1999-2000, 36 persen penyandang glaukoma yang datang ke poliklinik mata menderita kebutaan pada kedua mata. Sisanya buta satu mata. ”Berbeda dengan kebutaan akibat katarak yang bisa dipulihkan, kebutaan akibat glaukoma bersifat permanen,” kata Ikke, staf pengajar glaukoma di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSCM ini.

Jadi, tak ada cara lain menghindari glaukoma kecuali deteksi sedini mungkin, terutama bagi yang berisiko tinggi: berusia di atas 40 tahun, orang tuanya memiliki riwayat glaukoma, mengidap rabun jauh atau menderita penyakit sistemik seperti hipertensi dan diabetes. Deteksi dini juga berguna menekan kasus kebutaan akibat glaukoma, yang menurut Ikke dari tahun ke tahun terus meningkat.

Adapun pemeriksaan glaukoma dilakukan dengan mengukur tekanan bola mata, memeriksa lapang pandangan mata dan keadaan saraf mata dengan pemindai Heidelberg retinal tomography atau optical coherence tomography. ”Glaukoma itu penyakit kronis yang tidak bisa disembuhkan, tapi bisa dicegah supaya tidak bertambah parah,” kata Iwan Soebijantoro. Saraf mata yang sudah mati tak bisa diperbaiki lagi.

Penanganan glaukoma memang bertujuan mempertahankan saraf optik mata yang belum rusak, serta menurunkan tekanan bola mata agar berada di kisaran normal. Caranya bisa dengan obat-obatan berupa tetes mata atau tablet, laser, atau operasi, tergantung kondisi mata. Pada kasus Budi, misalnya, awalnya kedua bola matanya cuma diberi obat tetes mata secara rutin setiap hari. Tapi, karena tekanan bola matanya tak juga menurun, lalu digunakan pengobatan dengan laser. Ini pun belum memuaskan.

Budi akhirnya memutuskan menjalani operasi pembuatan saluran kecil dari bilik mata depan ke saluran mata (konjungtiva). Tujuannya agar tekanan di dalam bola mata menurun. Pada Juli 2006 mata kirinya dioperasi. Selang empat bulan kemudian giliran mata kanannya. Kini tekanan bola mata Budi relatif normal: mata kiri berada dalam rentang 18-20 mmHg dan mata kanan 12-13 mmHg. Meski begitu, mata kirinya yang sudah positif terserang glaukoma tetap harus ditetesi obat mata setiap hari. Tiap tiga bulan sekali, kondisi matanya terus dimonitor dokter.

Iwan menjelaskan, berkunjung ke dokter spesialis mata secara rutin memang menu wajib penderita glaukoma yang tak bisa ditawar lagi. Sekali seseorang terkena glaukoma, penanganannya seumur hidup. ”Agak merepotkan memang,” ujarnya. Meskipun demikian, Budi bersyukur karena selamat dari ”si pencuri penglihatan”.

Nunuy Nurhayati

Empat Glaukoma Penyebab Buta

Glaukoma merupakan penyakit yang merusak saraf mata (saraf optik) karena tekanan bola mata (intraokular) di atas normal (10-20 mmHg). Tekanan bola mata ini menjepit serabut saraf mata (N II atau saraf optik) sehingga mengakibatkan kerusakan. Pada mata normal, saraf mata berfungsi meneruskan bayangan yang kita lihat ke otak. Di otak, bayangan itu akan bergabung di pusat penglihatan dan membentuk suatu benda. Kerusakan serabut saraf mata menyebabkan blind spot atau titik buta. Bila seluruh saraf rusak, terjadi kebutaan total.

Glaukoma ada empat jenis:

  1. Glaukoma primer sudut terbuka

    Jaringan trabekula, sebagai saluran keluar cairan bola mata, tersumbat, sehingga menyebabkan tekanan bola mata meninggi secara perlahan. Proses kerusakan serabut saraf mata pun berjalan perlahan-lahan tanpa rasa sakit. Penderitanya tidak menyadari kondisi matanya, sampai akhirnya buta atau menderita kerusakan saraf mata yang tak tertolong.

  2. Glaukoma primer sudut tertutup

    Sudut bilik mata depan tertutup secara mendadak dan menyumbat aliran cairan bola mata. Akibatnya, tekanan bola mata mendadak tinggi dan muncul gejala seperti sakit kepala, rasa mual disertai muntah, tampak pelangi bila melihat lampu, ketajaman penglihatan menurun, dan sakit di sekitar mata.

  3. Glaukoma sekunder

    Terjadi karena bilik mata rusak akibat kecelakaan, obat-obatan, tumor, reaksi peradangan, dan sebagainya.

  4. Glaukoma kongenital

    Glaukoma pada bayi. Sudut bilik depan mata berbentuk tidak normal sejak lahir, sehingga aliran cairan bola mata terhambat. Tanda-tandanya, bola mata lebih besar dari normal, kornea mata tidak jernih, keluar air mata bila melihat cahaya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus