Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Digital

Internet yang Mencekik Dompet

Karena monopoli jaringan, tarif internet di Indonesia harganya selangit. Dibandingkan dengan Malaysia, tarif internet Indonesia 22 kali lebih mahal.

18 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setiap malam tiba, sang pengkhotbah mengetuk nurani umat. Tanpa podium, tanpa corong pengeras suara. Ia berceramah di depan komputer dengan membuka fasilitas mengobrol (chatting) Yahoo! Messenger. Dari rumahnya di sudut kota Penang, Malaysia, ia menyerukan pesan-pesan Nabi. Pemirsanya tentu saja bukan tetangganya, melainkan sejumlah orang yang tersebar di berbagai kota di Malaysia, Thailand Selatan, Jakarta, bahkan Jepang. Pengkhotbah tua, dengan sedikit rambut putih di sana-sini, yang tidak "gaptek" (gagap teknologi) itu adalah Kamaruddin bin Kassim. "Inilah kemajuan berkat internet," kata Kamaruddin kepada Tempo.

Sebelum kehadiran jaringan Internet pita lebar (broadband) ke rumahnya, Kamaruddin cuma seorang tukang ceramah biasa, keliling dari masjid ke masjid. Sehari-hari dia bekerja sebagai pegawai negeri biasa di kantor Departemen Agama setempat. Kadang-kadang dia menjadi polisi syariat Islam dengan merazia pasangan muda-mudi di hotel-hotel di kotanya. Internet membuat juru dakwah itu berubah. Dia kini lebih sering berceramah lewat Yahoo! Messenger dan situs yang dikelolanya tiap hari, yakni www.terasmelayu.org. Dia nyaris terus online dari subuh hingga tengah malam. Sebelum ke kantor, dia kadang memasukkan rekaman pengajian ke situs itu. Sore dia juga kembali nongol di dunia maya.

"Broadband di sini murah, cuma RM 66 (sekitar Rp 170 ribu) kita bisa melakukan apa saja," ujar pria yang sering melakukan telekonferensi via Yahoo! Messenger dengan teman-temannya di Jepang, Indonesia, dan Malaysia.

Di Indonesia, sosok seperti Kamaruddin—pengkhotbah, berumur separuh baya, dengan gaji pegawai negeri biasa, tapi terhubung lebih dari 12 jam sehari—sulit ditemui. Soalnya, selain pendapatan pegawai negeri yang mepet, tarif internet juga selangit. Tengoklah tarif Telkomnet Instant yang mencapai Rp 9.000 per jam. Pegawai negeri rendahan mana yang tahan membayar internet Rp 3,24 juta sebulan karena berinternet 12 jam sehari atau 360 jam sebulan?

"Tarif internet Indonesia memang kelewat mahal," kata pakar internet Onno W. Purbo. Menurut dia, dibandingkan negara tetangga yang berkembang maju seperti Filipina dan Thailand, Indonesia kalah. "Sama Bangladesh saja, (tarif internet kita) sama. Memalukan."

Onno memang tak pernah melakukan survei harga. Namun, lihat saja Malaysia, koneksi internet dengan menggunakan teknologi ADSL (Asymetric Digital Subscriber Line) untuk paket tak terbatas, cuma bertarif RM 66 (sekitar Rp 170 ribu). Dengan paket ini, orang seperti Kamaruddin bisa berselancar sepuasnya sepanjang hari. Di Indonesia akses tak terbatas seperti ini, yang dijual oleh Telkom dengan nama Telkom Speedy, dipatok dengan harga Rp 3,8 juta (lihat tabel). Harga ini lebih mahal 22 kali lipat, padahal koneksinya lebih lambat!

Mengapa tarif internet bisa terbang ke langit seperti itu? Menurut Bambang Lusmiadi, Marketing Senior Manager PT Telkom Divisi Regional II (wilayah Jabotabek), banyak komponen yang membuat koneksi internet di Indonesia lebih mahal dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Salah satu komponen biang mahal itu adalah tingginya tarif koneksi internasional lewat kabel laut. Malaysia, kata dia, hanya perlu biaya sekitar US$ 2.000 untuk koneksi per 1 megabyte untuk sambungan internasionalnya. Adapun Telkom harus membayar US$ 10 ribu ke Indosat sebagai pemegang hak koneksi internasional untuk koneksi dari Jakarta ke Singapura.

Perbedaan biaya ini disebabkan Malaysia dekat dengan Singapura, yang menjadi pusat koneksi internet dunia untuk wilayah Asia Tenggara. Selain itu, beberapa perusahaan telekomunikasi dunia juga sudah membuka koneksinya di Malaysia, sehingga negeri itu bisa terhubung ke Hong Kong tanpa melalui Singapura. "Ibaratnya, Indonesia itu ada di ujung gang, sementara Malaysia dan Singapura ada di jalan raya. Itulah yang membikin koneksi mahal," kata Bambang. Telkom Speedy sendiri kini butuh koneksi internasional selebar 170 megabyte per detik yang biayanya sekitar Rp 16,6 miliar.

Mahalnya koneksi internasional itu semakin terasa karena di Indonesia situs-situs lokal masih jarang. Akibatnya, para pengguna internet lebih suka berselancar situs-situs luar negeri. Misalnya, untuk surat elektronik saja, orang lebih suka memakai Yahoo!, Hotmail, atau Gmail. Ini yang membuat koneksi internasional habis terpakai. "Itu buang-buang devisa," kata Michael Sunggiardi, pemilik Bonet, penyedia jasa internet di Bogor. Itulah sebabnya, beberapa waktu lalu, Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia meng-galakkan pemakaian surat elektronik dan mailing list yang memakai server lokal. Namun, gaung gerakan ini kini kembali tenggelam.

Menurut Onno, biang melangitnya tarif internet di Indonesia adalah karena jalur sambungan internasional dan jalur sambungan antarkota dimonopoli oleh segelintir perusahaan. Tanpa kompetisi yang sehat, kata Onno, perusahaan-perusahaan itu bisa memainkan harga seenaknya. Akibatnya, rakyatlah yang tercekik.

Beberapa warung internet (warnet) di berbagai kota, misalnya Malang dan Bandung, mencoba menyiasati mahalnya koneksi internasional dan antarkota dengan membeli sambungan internasional sendiri dari Hong Kong atau Hawaii. Mereka menggunakan antena parabola sehingga harganya bisa ditekan. Mereka lalu menyalurkannya dengan gelombang radio.

Di mata Bino Oetomo, bos LintasLangit.Net, perusahaan penyedia koneksi internet lewat satelit, koneksi satelit bisa memangkas mahalnya harga sambungan antarkota dan internasional. Caranya dengan membangun stasiun bumi di Pantai Cermin, Medan. Pantai ini lokasinya dekat dengan jalur serat optik internasional. Selanjutnya pemerintah harus melobi pemilik jalur serat optik internasional agar mereka mau menghubungkan Indonesia ke jalur global langsung tanpa harus lewat Singapura. Koneksi internasional itu lalu dipancarkan lewat satelit ke kota-kota dan selanjutnya dibagi-bagi dengan teknologi ADSL. "Cara ini akan membuat internet lebih murah," katanya.

Bino yakin, jika pemerintah mau membenahi infrastruktur internet, tarif internet bisa melorot, pendidikan bisa lebih maju. Jika pemerintah bisa membangun jalan tol, mengapa membangun jalur tol buat internet tidak bisa?

Burhan Sholihin


Tarif ADSL di Berbagai Negara

Telkom Speedy Tak terbatas, 24 jam Unduh 384 kbps Kirim 64 kbps Rp 3.8 juta/bulan

TMNet Malaysia Tak terbatas, 24 jam Unduh 512 kbps Kirim 256 kbps Rp 170 ribu/bulan

Singtel Singapura Tak terbatas, 24 jam Unduh 512 kbps Kirim 256 kbps Rp 274 ribu/bulan

Telstra Australia Tak terbatas, 24 jam Unduh 512 kbps Kirim 128 kbps Rp 440 ribu/bulan

T-Online Jerman Tak terbatas, 24 jam Unduh 2 mbps Kirim 192 kbps Rp 354 ribu/bulan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus