Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

18 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keberatan dari PKS

Terkait dengan tulisan dalam majalah Tempo edisi 11-17 Juli 2005, halaman 26-27, berjudul Oke Logika, tapi Tidak Etika, yang membahas mengenai tuntutan kenaikan take home pay anggota DPR RI, kami merasa perlu meluruskan tulisan tersebut, terutama alinea keempat, yang berbunyi: Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang kerap mengkampanyekan ”budaya hidup sederhana”, juga menyetujui usul BURT. Untung Wahono, Ketua Fraksi PKS di DPR, menyatakan kenaikan pendapatan DPR itu untuk memperbaiki kinerja anggota Dewan….

Pernyataan tersebut jelas sangat menyesatkan dan terkesan menggiring opini masyarakat bahwa Fraksi PKS pro terhadap kenaikan itu. Jika saja penulis agak rajin dan mau melakukan sedikit riset, tentunya tidak akan menulis seperti itu. Sebab, sejak isu kenaikan take home pay muncul Februari lalu, sikap Fraksi PKS sudah tegas: menolak kenaikan itu. Sikap itu telah disebarluaskan melalui media massa, baik cetak maupun elektronik. Bahkan, dalam suatu kesempatan, Wakil Ketua Fraksi PKS Mustafa Kamal pernah berdebat cukup keras dengan salah seorang anggota Dewan dari partai lain yang pro-kenaikan, di sebuah stasiun televisi.

Sikap itu kemudian ditegaskan lagi hanya beberapa hari sebelum tulisan di Tempo itu muncul. Sejumlah surat kabar berskala nasional memuat pernyataan Ketua Fraksi PKS DPR, Untung Wahono, yang menyatakan dengan tegas menolak kenaikan take home pay bagi anggota Dewan. Jika ingin meningkatkan kinerja anggota Dewan, F-PKS memandang cukup dengan memberikan staf ahli kepada anggota Dewan, yang gajinya langsung dibayarkan oleh pihak Sekretariat Jenderal DPR, tidak melalui anggota Dewan. Jadi, uang tunjangan untuk menaikkan kinerja itu tidak mampir ke kantong anggota Dewan terlebih dahulu.

Kami juga keberatan dengan kalimat redaksi, ”Keluhan serupa juga diungkap...” (halaman 27), yang mengacu pada pernyataan kami atas pertanyaan wartawan Tempo tentang untuk apa saja uang gaji anggota Dewan. Pernyataan itu seolah-olah kami mengeluh dengan pendapatan kami. Padahal, kami hanya menjelaskan pengeluaran-pengeluaran anggota secara transparan sebagaimana yang ditanyakan.

Semoga Tempo dapat lebih teliti dan jeli menuliskan fakta dan data.

UNTUNG WAHONO Ketua F-PKS DPR RI

—Terima kasih atas koreksi Anda. Keterangan itu kami peroleh berdasarkan wawancara wartawan Tempo, Purwanto, dengan Anda pada 4 Juli 2005 di DPR.


Petugas Pajak, Cermatlah

Saya telah berupaya menjadi warga negara yang baik, paling tidak, dengan taat membayar pajak. Namun, saya tetap mendapat pengalaman kurang menyenangkan dari kantor pajak di Jalan T.B. Simatupang, Jakarta Selatan.

Pada 19 Agustus 2002, saya menerima surat berisi imbauan pembayaran PBB. Surat yang ditandatangani Abdul Hadi itu menyebutkan, saya menunggak PBB tahun 1994, 1998, dan 2000. Akibat kelalaian ini, saya dikenai denda 2 persen per bulan.

Rupanya beberapa tetangga saya juga mendapat surat serupa. Pada 31 Agustus 2002, saya menemui petugas pajak yang membuka loket pembayaran di kantor Kelurahan Lebak Bulus. Saya mengemukakan bahwa saya sudah melunasi PBB melalui BNI 46, Jalan Fatmawati, sambil menunjukkan arsip. Petugas kemudian meminta arsip saya difotokopi untuk barang bukti.

Pada 6 Mei 2005, saya mendapat surat lagi dari kantor pajak yang masih diteken Abdul Hadi Achmad. Isinya masih soal imbauan pembayaran PBB. Saya dinyatakan belum melunasi PBB sejak 1998 ditambah denda 2 persen per bulan. Dengan demikian, total tagihan yang harus saya bayar mencapai Rp 295.556.

Bukankah pada 31 Agustus 2002 saya sudah jelaskan bahwa pada 9 Juli 1998 saya membayar pajak melalui BNI Cabang Fatmawati? Dalam rangka menghormati petugas pajak, pada 17 Mei 2005 saya menemuinya lagi di kantor Kelurahan Lebak Bulus. Kali ini saya menolak menyerahkan fotokopi pembayaran. Saya minta kepada petugas untuk meneliti dengan saksama arsip saya. Mengingat kantor pajak sangat besar peranannya dan menyangkut uang triliunan rupiah, saya mohon petugas bekerja lebih teliti, cermat, serta profesional.

SUGENG Lebak Bulus, Jakarta Selatan


Hemat Energi (1)

SAYA setuju dengan isi pidato Presiden, bangsa Indonesia sangat boros energi. Saya juga setuju lampu-lampu di jalan dan taman publik dikurangi. Tapi yang lebih penting lampu-lampu di jalan, juga di kantor-kantor pada siang bolong pun jangan sampai ada yang menyala. Saya juga sepakat, jam siaran semua stasiun televisi tutup pada pukul 01.00. Tidak seperti sebelumnya hingga 24 jam.

Ada cara yang lebih efektif, yaitu tiap Sabtu dan Minggu, mobil-mobil dinas dilarang keluar kecuali tugas khusus karena penting. Untuk itu agaknya aparat TNI/Polri bisa memeriksa mobil yang lalu-lalang dan tempat-tempat wisata. Kalau perlu, bila tidak ada surat tugas, mobil tersebut bisa ditahan. Juga untuk pompa bensin di seluruh Indonesia diinstruksikan dilarang mengisi BBM untuk mobil dinas pada Sabtu dan Minggu.

Penghematan energi ini bisa dilakukan dari Presiden sampai rakyat kecil, dan pejabat jangan hanya bicara, tapi harus memberi teladan. Kalau negara lain bisa hemat energi, kenapa kita tidak bisa?

H. SOEYONO Blitar


Hemat Energi (2)

KITA semua tahu kondisi negara saat ini silih berganti diterpa berbagai macam persoalan. Yang terakhir adalah krisis bahan bakar minyak (BBM), yang melanda banyak kota di Indonesia. Terlepas dari apa penyebabnya, pemerintah kemudian menyerukan gerakan hemat energi yang dimulai pada Senin pekan lalu. Jika pejabat-pejabat pemerintah bisa memberikan contoh dan teladan, saya rasa rakyat tidak akan keberatan dan akan mendukung sepenuh hati kebijakan ini.

Ada satu hal yang mungkin merepotkan pemerintah di kemudian hari. Pembatasan jam siaran stasiun televisi dan radio mulai Selasa (12/7). Kenapa? Pada pukul 01.00-05.00 WIB, masyarakat tidak bisa lagi menikmati hiburan murah meriah. Akibatnya, orang akan mencari alternatif aktivitas. Salah satunya hubungan intim atau seks.

Nah, bisa ditebak jika instruksi tersebut berlaku untuk jangka waktu enam bulan ke depan. Kira-kira sekitar satu atau dua tahun berikutnya, negara kita akan mengalami ledakan jumlah penduduk yang luar biasa. Apalagi, di masyarakat pemakaian alat-alat kontrasepsi seperti kondom masih rendah. Ini memang hanya prediksi, tapi tidak ada salahnya kita bersiap menyambut ledakan ini.

URIP HERDIMAN K. Jalan Perwira, Jakarta Pusat


SBY dan Kado HUT Kemerdekaan RI

PADA 17 Agustus nanti kita akan merayakan Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-60. Tak terasa umur republik tercinta ini sudah mencapai 60 tahun. Kita telah merasakan berbagai kemajuan, tetapi bersamaan dengan itu kita pun tidak menutup mata atas berbagai keterpurukan yang kita alami, yang hampir semuanya bernuansa pada mental korupsi, yang seolah-olah telah mendarah daging dalam perilaku kehidupan sehari-hari, baik oleh pejabat rendah, menengah, sampai yang tertinggi.

Di waktu yang lalu, kita selalu melihat acara-acara rutin yang digelar oleh pemerintah guna menyambut hari bersejarah itu. Maka, kali ini, selain hal-hal rutin, kita berharap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (sebagai presiden pertama pilihan langsung rakyat), di Hari Kemerdekaan, mengeluarkan maklumat atau kebijakan istimewa yang akan merupakan hadiah, kado, atau bingkisan yang amat berharga, bersejarah dan monumental bagi seluruh rakyat Indonesia, khususnya suatu kebijakan yang mampu menyingkap tabir/kabut kegelapan yang melindungi praktek korupsi di seantero negeri.

Apa kado yang diharapkan itu? Kado itu bukan uang atau berbentuk materi, yang selain membebani APBN juga akan cepat habis tak berbekas, melainkan kado berupa terbitnya inpres, keppres, perpres, atau apa pun namanya yang dapat segera dimaklumatkan oleh Presiden tanpa menunggu persetujuan DPR (karena bukan UU). Isinya: ketentuan yang mampu memaksa setiap warga negara yang berstatus ekonomi cukup mampu untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Dengan demikian, pendapatan negara dari pajak yang disetor akan meningkat. Dengan memiliki NPWP, setiap orang harus membuat laporan SPT (tahunan) dan menyetor pajak sesuai dengan penghasilannya setahun.

Selama ini banyak sekali warga negara yang tidak memiliki NPWP, sehingga mereka terbebas dari kewajibannya membayar pajak. Akibatnya, pendapatan negara dari pajak sangat kecil dibandingkan dengan yang seharusnya. Sangat aneh tetapi nyata bahwa Indonesia yang berpenduduk sekitar 220 juta, pemilik NPWP hanya berjumlah sekitar 2 juta orang (kurang dari satu persen). Padahal, saat ini pajak adalah sumber utama pendapatan negara.

Selain memperoleh pendapatan yang makin meningkat karena setoran pajak pribadi yang makin membesar, NPWP dapat digunakan juga untuk membuat sensus kekayaan, sehingga akan menciptakan iklim yang transparan yang akan cukup menyulitkan koruptor yang selama ini sangat leluasa ”bergerak” karena, salah satunya, tidak ada keharusan memiliki NPWP.

Keharusan memiliki NPWP itu, misalnya, dapat segera diberlakukan dengan cara seluruh dokumen bukti kepemilikan (sertifikat tanah/bangunan, BPKB mobil, deposito, dan sebagainya) hanya dinyatakan sah milik pribadi orang yang tercantum dalam dokumen-dokumen itu apabila dicantumkan juga NPWP-nya.

Artinya, keberadaan NPWP tidak bisa dipisahkan dengan nama pemilik harta tersebut. Hal ini dapat makin diperluas bahwa tanpa memiliki NPWP seseorang tidak bisa memperoleh sambungan listrik, telepon, memiliki rekening/tabungan di bank dan sebagainya. Pokoknya, segala urusan yang memerlukan nama pada prinsipnya harus pula mencantumkan NPWP-nya, kecuali bagi saudara-saudara kita yang masih belum beruntung karena tidak mempunyai harta apa pun (rumah, mobil, dan sebagainya) tentunya belum perlu memiliki NPWP ini. Pada waktunya nanti bahkan di KTP-pun harus dicantumkan NPWP seseorang.

Seiring dengan motto perubahan yang selalu dikampanyekan oleh Presiden Yudhoyono selama kampanye menjelang pemilihan presiden yang lalu, maka perubahan dari tidak harus memiliki NPWP menjadi harus memiliki NPWP akan menjadi suatu perubahan positif yang akan sangat mendukung membaiknya perekonomian nasional, karena pendapatan negara yang makin meningkat seiring dengan membludaknya jumlah warga negara yang memiliki NPWP.

WISDARMANTO Pasar Minggu, Jakarta Selatan


Nasib Sekolah di Ibu Kota

KAMI adalah orang tua dari salah seorang murid di SD Negeri Pondok Kelapa 03 Jakarta Timur. Sekolah itu kini sedang membangun gedung baru karena gedung lama dinyatakan tidak layak lagi. Selama setahun ini, murid-murid SD tersebut terpisah di dua sekolah tumpangan yang berbeda.

Awalnya, sekolah tersebut dijadwalkan rampung pada awal tahun ini. Namun, pembangunan kini terhenti entah karena masalah apa dan sampai sekarang belum terlihat tanda-tanda akan dilanjutkan. Kami mengimbau kepada yang berwenang agar masalah pendidikan diperhatikan dengan sangat serius demi generasi kita di masa mendatang.

Bisa dibayangkan, kalau di Jakarta saja pembangunan sekolah tersendat-sendat, apalagi di daerah. Dengan kondisi seperti ini, pantas saja peringkat pendidikan di negara kita tertinggal jauh dibanding Malaysia yang, katanya, pernah belajar kepada Indonesia. Sekali lagi, mohon perhatian dari para pejabat yang berwenang agar lebih serius memperhatikan masalah pendidikan.

EKI DAHLAN Pondok Kelapa, Jakarta Timur


Kecewa terhadap Merpati

PADA 7-9 Juni lalu, saya bersama seorang juru kamera naik Merpati Airlines untuk tugas meliput ke Sorong, Papua. Malang nasib kami, sejak berangkat dari Jakarta, Merpati kerap tidak menepati jadwal, sehingga kami tidak henti-hentinya merasa kecewa.

Kami berangkat pukul 20.30 WIB dari Jakarta menuju Manado dengan pesawat MZ 752. Waktu keberangkatan ditunda 30 menit tanpa penjelasan. Ketika di Manado, keberangkatan lanjutan dengan pesawat MZ 796 juga tertunda selama 30 menit.

Menjelang pesawat berangkat, tiba-tiba tempat duduk saya ternyata sudah diisi orang lain. Ketika petugas Merpati di Manado datang. Dia bukannya menjelaskan duduk persoalannya, tapi hanya berucap, ”Silakan Ibu mencari tempat duduk di belakang.” Lagi-lagi, tanpa penjelasan dan permohonan maaf.

Ketika kami tiba di Sorong pukul 07.00, kejutan berikutnya datang. Barang kami di bagasi dan juga milik sebagian besar penumpang tidak ada. Setelah saya memberitahukan kehilangan ini, pihak Merpati menjanjikan bagasi akan tiba pukul 12.00. Tapi hingga pukul 13.00 barang kami belum ada juga.

Seorang petugas mengatakan, upaya pencarian sedang dilakukan. Hasil pengecekan ke Manado ataupun Jayapura—pesawat yang kami tumpangi tidak melanjutkan penerbangan ke Jayapura—hasilnya tetap nihil. Begitu pula ketika dikonfirmasikan ke Jakarta, saat itu tidak ada jawaban.

Kami sangat kecewa atas kejadian ini. Kami datang ke Sorong dalam rangka tugas. Kami sempat dipertemukan dengan pemimpin Merpati di Sorong bernama Joko Pradoko. Kami juga sudah memberi kabar ke SCTV Jakarta. Sekitar pukul 15.45, kami mendapat informasi bahwa bagasi kami tertinggal di Jakarta bersama bagasi sejumlah penumpang.

Kenapa hal ini bisa terjadi? Menurut pihak Merpati, itu akibat kelebihan penumpang. Suatu alasan yang menurut saya tak bisa diterima akal. Pak Joko menjanjikan bagasi kami akan tiba esoknya, 9 Juni pagi. Alhamdulillah, tiga buah bagasi kami datang sekitar pukul 08.00 di hotel tempat kami menginap. Kepada yang berwenang, mohon peristiwa itu menjadi evaluasi kinerja manajemen Merpati Airlines.

SARI YUNIARSI Cilandak, Jakarta Selatan


Pengalaman Penderita Kencing Manis

SEJAK 1988, saya secara medis dinyatakan menderita kencing manis (diabetes). Badan sering masuk angin, diare, gatal-gatal. Setelah menjalani pemeriksaan dokter dan laboratorium, ternyata kadar gula 275. Di samping rutin diperiksa dokter dan di laboratorium serta minum obat, saya juga melakukan terapi urine selama dua tahun. Suatu ketika kadar gula saya 512, dua telapak kaki, dan kelingking kaki kiri luka tanpa disadari.

Saya memang suka olahraga dengan sepeda statis tanpa alas kaki. Rupanya telapak kaki saya yang menebal dan mati rasa tidak merasakan apa pun setelah terjadi luka itu. Dan luka tersebut dari hari ke hari makin melebar dan membusuk. Saya sempat dirawat inap selama tiga minggu. Tapi semua obat-obatan yang rutin saya minum tidak mampu menutup luka di telapak kaki dan jari kelingking. Akhirnya, saya harus merelakan jari kelingking kaki kiri saya diamputasi.

Penderitaan saya tidak cukup hanya sampai di sini. Saya masih menghadapi dua telapak kaki yang membusuk dan lukanya enggan menutup. Babak berikutnya, saya dikejutkan oleh saran dokter agar bersedia kaki saya diamputasi/dipotong (di atas mata kaki) agar luka tidak merembet ke atas. Saya merasa benar-benar stres dan pesimistis dalam menghadapi hidup. Saya merasa benar-benar dalam kondisi tidak berguna dan jatuh dalam kondisi paling dasar.

Saya bekerja di PT KAI. Banyak teman-teman yang memberikan spirit untuk tidak berputus asa, dan salah satunya menganjurkan saya minum obat kefir bening dengan langsung membawakan beberapa botol untuk saya. Semula saya ragu, sebab telah banyak obat-obatan yang saya konsumsi tidak menyelesaikan masalah. Setelah melalui proses diiringi doa, akhirnya saya minum kefir bening rutin setiap hari. Alhamdulillah, Tuhan mendengar doa saya, secara berangsur luka telapak kaki saya mulai menutup dan sembuh. Saya sudah dapat memakai sepatu kembali.

Semua keluhan seperti nyeri-nyeri, kesemutan, sulit tidur, lemas dan impoten telah sirna. Saya sangat menyadari bahwa penyembuhan kencing manis tidak mudah dan butuh kesabaran. Karena saya masih tetap minum kefir selama enam bulan berturut, kondisi saya tetap stabil dan sehat.

BUDI PURWANTO Taman Purwogondo I No. 19/5, Semarang


Ralat

Dalam tulisan Ilmu dan Teknologi pada majalah Tempo edisi 11-17 Juli 2005, tertulis Harry Widiono dari Balai Arkeologi Yogyakarta, semestinya Harry Widianto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus