Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gelap , gelaap , gelaaap !" suara lantang perempuan itu kian lemah, hingga kemudian diam. Panggung menjadi senyap dan benar-benar gulita. Sebentar muncul sinar ungu lembut, merah dan kuning menyorot ke sebuah lubang di depan panggung. Dari lubang itu menyembul boneka putih raksasa.
Diiringi lantunan lagu Jangan Menangis Indonesia, boneka raksasa itu merambat naik hingga ke bibir panggung dan duduk terkulai di sana. Boneka lain yang berukuran lebih kecil datang, menolong si raksasa agar tak jatuh rebah.
Areal panggung kemudian ditaburi sinar terang-benderang. Bersamaan dengan itu, para pemain berlarian merubung dua boneka itu, dan pertunjukan pun berakhir. Sang sutradara, Putu Wijaya, lantas memperkenalkan kedua belas pemain utama sandiwara berjudul Jangan Menangis Indonesia itu.
Ya, Putu Wijaya dengan grupnya, Teater Mandiri, kembali pentas. Seperti pementasan-pementasan sebelumnya, dalam pementasan di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 15-16 Juli lalu, Putu juga menampilkan dua boneka raksasa itu. Si Bandotdemikian nama dua boneka itutelah menjadi bagian dari teater yang berdiri pada 1971 tersebut sejak sekitar 25 tahun lalu.
Menurut Putu, boneka raksasa yang terbuat dari katun dan puluhan balon itu pertama kali ditampilkan pada 1980, saat mementaskan lakon Los di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Putu terinspirasi Tintia, sosok dalam tradisi Bali, sebagai gambaran zat tertinggi. "Saya mengadopsi sosok dan gerakan Tintia yang begitu magis, " kata Putu menjelaskan.
Awalnya, boneka itu hanya menjadi dekorasi panggung. Kedua Bandot itu kadang hanya tergolek di pinggir arena pertunjukan. Atau sesekali melintas di atas panggung. Tapi lama-kelamaan, Bandot-Bandot itu diberi peran sesuai dengan tema pementasan. Porsinya lebih banyak diberikan kepada Bandot yang kecil. "Bandot yang besar baru kali ini mendapat peran lebih," ujarnya. Dan adegan penutup tadi pun baru ditemukan Putu dua hari menjelang pementasan Jangan Menangis Indonesia digelar.
Jangan Menangis Indonesia lahir dari kegelisahan Putu atas berbagai hal beruntun yang menerpa negeri ini, mulai dari krisis ekonomi, politik, teror bom, tsunami, gempa bumi, korupsi, hingga ketakberdayaan hukum. "Idenya mulai diwujudkan sekitar tiga bulan lalu," katanya. Prosesnya cukup cepat. Yang agak tersendat, beradaptasi dengan penata musik dan artistik. Putu tak lagi diperkuat Harry Roesli dan Roedjito. Sebab, kedua seniman yang sering bekerja sama dengannya sejak dekade 1980 itu telah tiada.
Yang pasti, dalam pementasan kali ini, Putu tetap konsisten dengan gayanya: menyuguhkan teater teror mental. Se-niman kelahiran Tabanan, Bali, 61 tahun lalu itu mencoba mengusik pikiran penonton tapi tidak untuk merusak. Putu hanya ingin mengajak penonton mempertimbangkan segala keputusan yang diambilnya. "Tujuannya bukan menjadikan mereka berubah pikiran, melainkan meyakinkan bahwa semua keputusan diambil dengan sadar," katanya menjelaskan.
Dan Jumat malam pekan lalu "teror" itu digelar. Menggunakan layar putih sebesar ruang panggung Graha Bhakti Budaya sebagai medium utama, Putu menyajikan bahasa-bahasa simbolis melalui gerak, warna, juga cahaya. Dalam bentangan layar besar itu dipantulkan berbagai bayangan, intinya mengungkap carut-marut perjalanan bangsa ini sejak reformasi bergulir pada pertengahan 1998 lalu hingga kini.
Sebuah "esai visual" perihal kian terpuruknya negeri ini bergulir dalam bentangan layar putih, lampu sorot berwarna-warni. Selebihnya adalah energi bermain yang pejal, dan kehadiran properti-properti sederhana, untuk ditumbuhkan menjadi bahasa bayang-bayang. Malam itu pementasan Putu bertumpu sepenuhnya pada kekuatan impresi visual.
Putu menyatakan, dalam pementasan itu, layar merupakan tirai sekaligus nyawa peristiwa artistiknya. Itu sebabnya layar tak dibiarkan sebagai bentangan kain datar. Layar itu dibetot, digelombangkan, tersobek, menyeruak, sehingga menciptakan arsitektur visual yang tumbuh. Juga kedalaman ruang di dalam layar itu tercipta, efek misteri dan nuansa magis diupayakan menyeruak dan dapat ditangkap penonton.
Dalam pertunjukan yang mengandalkan efek bayang-bayang itu, tata lampu menjadi sangat penting. Yose Rizal Manua, yang memegang peran dalam hal ini, tampaknya bekerja cukup maksimal. Begitu pula Yala Harry Roesli dan Depot Seni Kreasi Bandung (DSKB) yang menghadirkan efek bunyi-bunyian cukup bisa mengimbangimeski ini merupakan kerja bareng perdananya dengan Putu. Mereka cukup menawan menyebarkan efek bunyi-bunyian ke seantero ruangan gedung. Kadang kala terdengar begitu mencekam, terkadang ingar-bingar meningkahi suasana yang dibangun para pemain.
Hanya, tak semua efek visual lewat layar sepanjang pertunjukan sekitar satu setengah jam itu tampil menarik. Pemain yang menyeruak keluar dari balik layar, lalu beraksi di latar depan, terasa kurang menyatu dengan gerak bayangan yang dipantulkan pemain lain di belakang.
Putu, dalam pementasan kali ini, tak hanya menyuguhkan kekuatan visual, tapi mencoba menggabungkannya dengan bahasa verbal. Menurut dia, itu karena bergabungnya dua bintang tamu: Butet Kertaredjasa dan Rieke Dyah Pitaloka. Dan untuk kedua artis itu, Putu "terpaksa" membuatkan skenarionya sesuatu yang jarang dilakukan dalam berbagai pementasan sebelumnya.
Upaya penggabungan itu bukan tanpa risiko. Pada Butet, upaya itu cukup menarik. Seniman asal Yogya itu tampak berhasil memerankan tokoh Bung Karno, Munir, dan waria, juga muncul memikat ketika bermonolog tentang korupsi. Hanya pada Rieke, upaya itu agak kedodoran. Artikulasi dialog pemeran Oneng dalam sinetron Bajaj Bajuri itu terasa kurang berhasil memunculkan karakter yang spesifik.
Bagi Putu, setiap pementasan memang bukan sekadar mencari selamat. Pementasan merupakan semacam uji coba. Kalau berhasil, bagus sekali. "Tapi, kalau gagal, kita jadi tahu apa kegagalan itu, untuk diperbaiki kemudian," kata penulis novel dan cerpen itu menjelaskan.
Nurdin Kalim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo