Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Laporan terbaru “APAC AI Outlook 2025” oleh IBM mengungkapkan bahwa perusahaan di Asia-Pasifik kini bergerak menuju pemahaman yang lebih mendalam terhadap dampak atau pengembalian investasi (ROI) dari proyek kecerdasan buatan (AI). Lebih dari setengah atau 54 persen perusahaan di wilayah ini mengharapkan AI memberikan manfaat jangka panjang bagi bisnis mereka, seperti peningkatan pendapatan dan inovasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Roy Kosasih, Presiden Direktur IBM Indonesia, banyak bisnis di Indonesia yang kini mulai melirik atau bereksperimen dengan AI dan siap untuk melangkah ke tahap berikutnya. “Laporan ini menyoroti potensi tahun 2025, di mana fokus AI akan lebih mengarah pada tujuan strategis berdasarkan keunggulan kompetitif dan peningkatan ROI,” kata Roy di Kantor IBM Indonesia, The Plaza Office Tower, Jakarta, Rabu, 4 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Roy mengatakan bahwa perusahaan harus menggunakan model yang lebih kecil dan ditargetkan pada arsitektur open-source yang fleksibel, sehingga dapat diintegrasikan dengan platform AI penyedia teknologi pilihan mereka.
Upaya untuk meraih keuntungan jangka pendek ini telah bergeser menuju pemahaman yang lebih mendalam tentang potensi AI. Fokusnya juga telah bergeser dari penggunaan AI pada kasus berisiko rendah dan non-inti, ke penerapan AI Generatif dalam fungsi inti bisnis untuk meraih keunggulan kompetitif dan meningkatkan ROI.
Pada 2025, fokus utama investasi AI bagi organisasi di Asia-Pasifik akan berpusat pada peningkatan pengalaman pelanggan (21 persen), otomasi proses bisnis di back-office (18 persen), serta otomasi penjualan dan pengelolaan siklus hidup pelanggan (16 persen).
Roy menjelaskan, laporan ini juga mengidentifikasi lima tren strategis yang akan membentuk masa depan AI di Asia-Pasifik tahun depan.
Pertama, pendapatan berbasis AI menjadi fokus utama. Menurut Roy, organisasi-organisasi di Asia-Pasifik akan semakin mengadopsi pendekatan ‘AI Strategis’ dan memprioritaskan proyek AI berdasarkan kelayakan dan dampak bisnis.
Kedua, model open-source yang lebih kecil dan spesifik. “Model AI yang dibangun untuk tujuan tertentu akan semakin diminati,” kata Roy. Ini termasuk model yang lebih sederhana dan sesuai dengan konteks regional atau bahasa lokal.
Ketiga, perusahaan mengadopsi tools baru untuk tata kelola dan integrasi AI. Roy menyebut, organisasi akan semakin memanfaatkan model AI open-source untuk mendorong inovasi dan efisiensi. Dengan menggunakan alat orkestrasi itu, mereka dapat menyederhanakan manajemen solusi, meningkatkan fleksibilitas, efisiensi biaya, serta integrasi yang lebih lancar.
Keempat, agen AI mendefinisikan ulang masa depan dunia kerja. Dalam hal ini, agen AI akan semakin digunakan untuk menjalankan tugas secara mandiri, berkolaborasi dengan pekerja manusia, dan menciptakan nilai tambah bagi bisnis.
Penggabunganagen AI dengan otomatisasi ini berpotensi meningkatkan efisiensi operasional, pengalaman pelanggan, hingga pengambilan keputusan. “Namun organsiasi perlu menetapkan batasan internal dan secara berkala mengevaluasi model dasar untuk memastikan penggunaan yang etis dan bertanggung jawab,” kata Roy.
Kelima, inovasi yang berpusat pada manusia. Hal ini juga akan mendorong fase berikutnya dari AI. Meski alat produktivitas telah menjadi fokus utama dalam adopsi AI, masa depan AI akan tetap terletak pada pemanfaatannya untuk meningkatkan pengalaman dan kemampuan manusia.