Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Selain serangan siber yang menyasar Pusat Data Nasional Sementara (PDNS), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) juga mengungkap adanya kebocoran data milik Indonesia Automatic Fingerprint Identification System atau Inafis Polri yang dijual di dark web.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Hinsa Siburian mengakui data Inafis Polri bocor dan dijual ke dark web. Namun, menurut Hinsa, data yang bocor ini bukanlah dokumen baru, melainkan data lama milik institusi tersebut. Insiden ini pun dianggapnya tidak memengaruhi layanan di Inafis Polri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Hasil koordinasi dengan kepolisian, ini kan datanya ditemukan dari dark web atau pasar gelap. Jadi tentu kita cross check dan konfirmasi dengan kepolisian. Apakah benar ini data kalian? Itu (kepolisian) bilang data lama," kata Hinsa saat konferensi pers di Gedung Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Senin, 24 Juni 2024.
Hinsa tidak merincikan apakah bocornya data Inafis Polri ke dark web ini imbas dari serangan ransomware ke PDNS. Ia hanya bisa memastikan bahwa serangan yang menyasar PDNS termasuk jenis ransomware varian LockBit 3.0 dan sudah mulai terdeteksi sejak 20 Juni 2024 lalu. Hingga kini BSSN serta instansi terkait masih berupaya mengisolasi atau mengamankan sistem yang terkena serangan ini.
"Kami barusan selesai melaksanakan rapat koordinasi. Kami menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat karena kemarin itu masyarakat terganggu, terutama layanan keimigrasian. Tentu ini tidak kita inginkan," ujar Hinsa.
Terkait mitigasi dan penanganan yang dilakukan untuk merespons serangan siber ini, kata Hinsa, pihaknya sudah melakukan investigasi secara menyeluruh, misalnya dengan memecahkan kode data PDNS yang terenkripsi atau dikunci oleh peretas.
"Kondisi barang bukti itu ditemukan terenkripsi dan ini menjadi pekerjaan kita untuk dipecahkan (dibuka kembali). Layanan keimigrasian yang terdampak sudah beroperasi dengan normal," ucap Hinsa.
Sementara itu, Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan, menyebut pihaknya juga sudah berkoordinasi dengan BSSN terkait serangan siber ini. Kominfo, menurut Semuel, mengetahui adanya serangan sejak 20 Juni 2024 subuh.
"Kerugiannya kami belum bisa pastikan, tapi kerugian yang pasti bisa kita lihat adalah layanan publik terganggu. Paling berdampak adalah layanan imigrasi ya, karena itu langsung pada masyarakat," ujar Semuel di Gedung Kominfo.