Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sebuah Ruwatan di Boko

Bekas reruntuhan keraton Boko pekan lalu dipakai seorang koreografer Yogya untuk menampilkan sebuah tari meditatif.

25 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Prosesi ruwatan itu dimulai. Delapan anak laki-perempuan usia belasan berpakaian serba putih berjalan memasuki kompleks petilasan Boko. Sekitar 100 pe--nonton mengikuti dari bela-kang. Tampak di antaranya Arifin Pa--ni-go-ro, artis Widyawati dan Rima Melati.

Begitu delapan anak menapak di pe--lataran Candi Boko, empat orang pe-nari menyambut. Mereka bergerak tak beraturan arah. Mereka ber-jalan naik meniti tangga Candi Boko. Ini----lah awal dimulainya tari Nrtta Nir--baya karya Jiyu Wijayanti, staf pe--ngajar Jurusan Tari Institut Seni Indonesia Yogyakarta, pekan lalu, di Yogyakarta.

Makin banyak penari yang meman-faat--kan candi atau situs arkeologi. Kom--pleks reruntuhan Istana Boko yang lokasinya 3 kilometer arah se------la---tan dari Prambanan, areal itu bu-kan per-tama kali dipakai untuk me--nari. Ka-wasan luas ini memang me--nan-tang untuk dieksplor. Sampai bagian-nya yang paling belakang se-perti be--kas tempat pemandian ke-pu-tren dan candi pembakaran sehari-hari, misalnya, suasana ”rasa da-hulunya” masih terjaga. Tapi memang kawasan depan atau gapura yang paling banyak digunakan—ter-masuk Jiyu.

”Saya menggunakan bagian dari Candi Boko yang banyak tangga dan ruang berundak terbuka,” kata Jiyu. Itu karena koreografinya berhubung-an dengan tahap-tahap pelepasan di-ri. Karya dengan konsultan arkeolog Prof Timbul dari Universitas Ga-djah Mada ini gagasannya tampak se-derhana. Jiyu ingin menampilkan se-buah perjalanan keselamatan me-nundukkan nafsu-nafsu angkara da-----lam diri manusia yang penuh tan-ta-ng--an. Nrtta Nirbhaya secara harfiah artinya itu.

Dan antara teras dan trap itu ia me----nampilkan para penarinya seba-gai simbol amarah, lauwammah dan supiyah. Belum selesai empat penari di atas merecoki, mendadak muncul empat penari lain berpakaian putih-pu-tih dibalut selendang merah dan hitam. Lalu disusul empat penari la-gi. Dua belas penari itu kini bersama-sama meliuk-liuk menggoda.

Berpakaian serba putih, Jiyu Wija-yanti berada dalam pusaran itu. Jiyu me--nempatkan diri sebagai simbol mut-h-mainah, yang akan mengantarkan seseorang pada kesejatian manu-sia. Ia berusaha melepaskan diri dari cengkeraman hasrat. Tapi gerak dan langkahnya selalu diikuti oleh 12 penari simbol angkara mur-ka itu.

Ke mana-mana bergerak ia dibuntuti. Ketika Jiyu Wijayanti berusaha naik meniti tangga candi, 12 penari itu terus mengikutinya. Dengan sangat halus Jiyu terus naik ke tangga paling tinggi. Elemen kesabaran, kebeningan seolah ingin ditampilkan Jiyu di sini. Selendang hitam, merah, dan kuning yang semula dikenakan 12 penari itu akhirnya terlepas.

Jiyu terus naik. Para penari tetap ber-usaha mengekor, tapi mereka ga-gal mengikuti langkah Jiyu yang -ak--hir---nya berhasil menginjakkan kaki-nya di tangga paling tinggi. Dua be-las ”se-tan” itu hanya mampu mencapai trap tangga sedikit di bawah Jiyu. Kli-maksnya tiba-tiba muncul asap putih mengepul, Jiyu berteriak le-pas. Simbol dari kesuksesan melepas-kan diri dari godaan itu.

”Nrtta Nirbhaya adalah perja--lanan- manusia dari tingkat bawah, te--ngah menuju ke atas sebagai tu-juan akhi-r,” Jiyu mencoba berfilsafat. Durasi ta---ri ini hanya sekitar 50 me---nit. Sejak- de-lapan anak sukerta me--masuki kom-plek-s petilasan Candi Ratu Boko sam--pai Jiyu berjalan dan me-naiki tang-ga, penonton pun me-ng-ikuti dari belakang.

Unsur penonton yang terlibat ade-gan per adegan adalah kekuatan ter--------sendiri. Tapi sebagaimana karya-kar-ya yang dilaksanakan di candi, un---sur utama yang diambil dari candi adalah atmosfer atau lanskapnya. Ko-reografinya sendiri masih meng-ulang gagasan-gagasan lama dan da-ri sudut isu tidak menggali persoal-an bertolak dari temuan-temuan ar-ke-olog yang kiranya menampilkan pers-pektif baru yang segar dari seja-rah candi itu sendiri. Pada titik itu Ji-yu agaknya ”belum terbebas”.

Seno Joko Suyono dan Syaiful Amin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus