Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUCUK dicita ulam pun tiba. Peribahasa lawas itu pas buat ConocoPhillips Grissik Indonesia Limited. Setelah bertahun-tahun mengusulkan penyesuaian harga gas, apa yang dinanti-nanti ConocoPhillips akhirnya kesampaian juga. Pada akhir Juli lalu, pemerintah menyetujui kenaikan harga gas Lapangan Grissik, Blok Koridor, Sumatera Selatan, yang dikelola perusahaan asal Houston, Amerika Serikat, tersebut.
Terkabulnya permintaan ConocoPhillips tertuang melalui surat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 5882 Tahun 2017 tertanggal 31 Juli 2017. Surat yang diteken Menteri Energi Ignasius Jonan ini merestui kenaikan harga gas Blok Koridor yang dijual ke PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk area Batam. "Kami dapat menyetujui perubahan harga jual gas bumi dari CPGL kepada PGN di wilayah Batam untuk volume gas kontrak Batam I sepanjang pelaksanaannya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan," demikian kata Jonan dalam suratnya.
Dalam besel tersebut, untuk kontrak dengan penyaluran sebesar 27,27-50 billion British thermal unit per day (BBTUD), harga penjualan gas menjadi US$ 3,50 per million British thermal unit (MMBTU), atau naik sebesar US$ 0,9 per MMBTU dari harga sebelumnya. Keputusan itu berlaku mulai 1 Agustus 2017 sampai akhir kontrak 2019.
Kenaikan harga gas itu menjawab harapan ConocoPhillips. Selama ini, perusahaan mengeluh harga yang ditetapkan untuk PGN paling rendah di antara kontrak jual-beli gas kontraktor kontrak kerja sama lain. Dalam perjanjian jual-beli gas yang diteken pada 2004, harga gas dari Grissik ke PGN Batam dibanderol US$ 2,6 per MMBTU. "Harga gas ConocoPhillips itu memang relatif rendah dibanding kontrak gas lain dengan sumber gas yang sama," kata Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar, Selasa pekan lalu.
Bukan perkara itu saja. Arcandra mengatakan, karena harga yang terlalu rendah, ConocoPhillips melihat selisih antara harga beli dan harga jual PGN ke industri terlalu besar. Dengan membeli gas dari Conoco sebesar US$ 2,6 per MMBTU, PGN menjual gas untuk kebutuhan pembangkit PT PLN sebesar US$ 5,7 per MMBTU. "Jadi kenapa ini dinaikkan? Ini asasnya keadilan," ujar Arcandra.
Rupanya, sepanjang dua pekan terakhir, keputusan pemerintah menaikkan harga gas dari ConocoPhillips menjadi sorotan. Penyebabnya, meski harga gas di hulu mengalami kenaikan, Perusahaan Gas Negara dilarang menaikkan harga ke pembelinya, baik kepada PT Pelayanan Listrik Nasional Batam maupun pengembang listrik swasta (independent power producer/IPP) pemasok listrik ke PLN Batam.
Masih dalam surat tersebut, pemerintah memutuskan harga jual gas bumi PGN tetap mengacu pada Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral 2011. Artinya, harga jual gas PGN ke Pelayanan Listrik Nasional dan IPP di Batam bertahan di posisi US$ 3,32-5,7 per MMBTU. Sedangkan harga gas ke industri masih US$ 5,7 per MMBTU.
Klausul inilah yang belakangan menjadi persoalan. Sejumlah pihak menilai kebijakan Menteri Jonan tak lumrah lantaran hanya harga di hulu yang naik tanpa penyesuaian sampai di hilir. "Menurut saya berat sebelah, harga di hulu naik, tapi di sektor hilir tidak boleh dinaikkan," kata pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, Kamis pekan lalu.
Menurut Fahmy, urusan harga keekonomian di hulu semestinya diserahkan ke mekanisme pasar. Apalagi harga minyak mentah saat ini sedang rendah, di bawah US$ 50 per barel. Fahmy berpendapat, dengan penetapan harga di hulu, pemerintah justru memberikan subsidi ke ConocoPhillips. "Sehingga saya menyimpulkan pemerintah berpihak ke korporasi asing daripada perusahaan pelat merah," ujarnya.
Suara dari Senayan tak jauh berbeda. Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi badan usaha milik negara, Inas Nasrullah, misalnya, heran terhadap kebijakan tersebut. Sebab, di satu sisi investor asing boleh mendapat kenaikan harga, sementara perusahaan pelat merah di bidang transmisi dan distribusi gas bumi ini tak boleh ikut menyesuaikan harga jual ke konsumen. "Mana mungkin PGN membeli lebih mahal tapi harga jualnya tetap? Ini menghancurkan PGN," kata Inas, Kamis pekan lalu.
Dengan kenaikan harga gas US$ 0,9 per MMBTU di hulu tanpa kenaikan harga di hilir, PGN berpotensi merugi. Jika setiap hari PGN mendapat pasokan 27 BBTUD untuk penyaluran ke Pelayanan Listrik Nasional Batam, potensi kerugian bisa mencapai Rp 120 miliar per tahun.
Arcandra Tahar tak banyak berkomentar soal tudingan tersebut. Menurut dia, tak ada yang mesti dipersoalkan lantaran keputusan sudah disepakati kedua belah pihak. "Sudah melalui proses business to business yang wajar untuk menjaga fairness di sisi pasokan," ujarnya.
DESAKAN ConocoPhillips Grissik Indonesia Limited untuk menaikkan harga jual gasnya di Lapangan Grissik, Blok Koridor, bukanlah yang pertama kali. Pada 2012, permintaan serupa disampaikan perusahaan ini kepada pemerintah. Salah satu penyebabnya adalah harga minyak mentah yang melonjak di atas US$ 100 per barel.
Selain soal harga minyak, harga jual gas Grissik ke Perusahaan Gas Negara untuk konsumen di Jawa Barat melalui pipa South Sumatera West Java dirasa terlalu rendah. Pasokan gas sebanyak 412 BBTUD selama kontrak 2007-2023 dibanderol US$ 1,85 per MMBTU. Walhasil, agar ConocoPhillips tetap mau berinvestasi, Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi-sebelum berubah menjadi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi-menyetujui kenaikan harga gas dari ConocoPhillips ke PGN.
Majalah Tempo edisi 25 Juni-1 Juli 2012 menulis kenaikan harga gas hulu dari Grissik mencapai lebih dari dua kali lipat. Renegosiasi kontrak jual-beli harga gas dari lapangan di Sumatera Selatan itu mengungkit harga gas ke PGN menjadi US$ 5,6 per MMBTU. Tidak berhenti di situ saja, harga gas tersebut naik secara bertahap hingga menyentuh US$ 6,5 per MMBTU pada 2014. Bedanya dengan penyaluran gas di Batam, PGN diperbolehkan menyesuaikan harga jual ke konsumen.
Meski terkesan mulus, seorang pejabat di lingkup internal ConocoPhillips yang mengetahui proses renegosiasi tersebut mengatakan tak ada urgensi menaikkan harga gas Grissik pada masa itu. Apalagi tak ada kaitan antara kontrak harga jual-beli gas hulu untuk domestik dan pergerakan harga minyak mentah. "Rencana pengembangan lapangannya (POD) sudah ditentukan di awal dan harga US$ 1,85 per MMBTU itu keekonomiannya di kisaran 30 persen," kata pejabat tersebut.
Begitu pula proses pembahasan kenaikan harga gas Grissik ke PGN wilayah Batam kali ini. Negosiasi yang dimulai pada pertengahan 2012 itu sempat alot lantaran kedua pihak tak menemukan titik temu. Salah satu penyebabnya, menurut seorang anggota tim renegosiasi kontrak jual-beli ini, apa lagi kalau bukan soal ketidaksesuaian harga yang ditawarkan ConocoPhillips. Usul ConocoPhillips ketika itu di atas US$ 5 per MMBTU. "Kira-kira hampir setara dengan harga jual gas ke PGN untuk pasokan di Jawa Barat," ucap anggota tim tersebut.
Wakil Menteri Energi Arcandra Tahar tak menampik kabar ada persoalan selama proses negosiasi kedua belah perusahaan. Tapi, menurut dia, negosiasi alot karena semula PGN menganggap tidak ada perkembangan lapangan baru oleh ConocoPhillips sehingga belum ada urgensi menaikkan harga gas hulu. "PGN bilang harga jual ConocoPhillips kemarin sudah memenuhi unsur keekonomian karena tidak ada pengembangan lapangan baru. Tapi dari sisi ConocoPhillips tidak," ujarnya.
Seorang pejabat di lingkup internal SKK Migas mengatakan ConocoPhillips membutuhkan tambahan belanja modal dan biaya operasi untuk memperbaiki keekonomian lapangan agar ada kepastian pasokan buat PGN. Tanpa menyebutkan nilainya, kebutuhan belanja itu meliputi pengeboran sumur dan pengadaan flowline. "ConocoPhillips juga membutuhkan biaya pengadaan kompresor untuk Lapangan Suban, yang gasnya nanti akan dipasok untuk PGN," kata pejabat tersebut.
Karena negosiasi tak mencapai titik temu, pemerintah mengambil alih penetapan harga. Masalah tak selesai di situ. Penandatanganan surat keputusan pada 31 Juli 2017 menimbulkan syak wasangka lain. Musababnya, besel ini terbit tak lama setelah Menteri Ignasius Jonan berkunjung ke Houston, Amerika, sepanjang 24-26 Juli lalu. Dalam kunjungan tersebut, salah satu agenda menteri adalah bertemu dengan sejumlah petinggi ConocoPhillips.
Arcandra menampik dugaan itu. Ia berdalih kebijakan itu bagian dari paradigma energi sebagai modal pembangunan. Apalagi, menurut dia, penerimaan gas bumi bagian negara pun akan meningkat. Tanpa menyebutkan angka nominalnya, ia memastikan kenaikan harga lebih menguntungkan negara. "Jadi tidak ada hubungannya dengan pertemuan Menteri ESDM dengan CEO ConocoPhillips," ujarnya.
Dihubungi berkali-kali, manajemen ConocoPhillips tak kunjung memberi penjelasan. Vice President Development and Relations ConocoPhillips Joang Laksanto sempat merespons ketika dihubungi pada Rabu pekan lalu. Namun Joang mengatakan perlu waktu koordinasi di lingkup internal perusahaan. "Saya harus membawa narasumber yang mengerti betul proses ini karena sudah lama dan jangan sampai masyarakat salah persepsi," ucapnya.
Adapun penjelasan juru bicara SKK Migas, Wisnu Prabawa Taher, tak jauh berbeda dengan Arcandra. Ditanya lebih jauh mengenai proses negosiasi, Wisnu menjawab, "Proses awal B to B sebaiknya langsung dengan ConocoPhillips dan PGN karena ini ranah korporasi."
Belakangan, sikap Perusahaan Gas Negara melunak. Sekretaris Perusahaan PT PGN Rachmat Utama mengatakan perusahaan akan mengikuti keputusan pemerintah soal perubahan harga jual gas bumi dari ConocoPhillips itu. Perubahan harga jual gas bumi ini, kata dia, diharapkan dapat meningkatkan keekonomian hulu. "Karena terkait dengan target penerimaan negara dari kegiatan hulu," ujar Rachmat, Kamis pekan lalu. AYU PRIMA SANDI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo