Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Digital

Terpikat Sang Robot Hijau

Android mencuri perhatian di sentra penjualan telepon seluler Jakarta. Kendalanya sinyal lemah di luar kota.

9 Mei 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AGUNG Purnomo terperangah melihat kemampuan telepon seluler berbasis Android milik temannya menampilkan lenggak-lenggok Lady Gaga di YouTube. Pegawai Kementerian Sosial berusia 30 tahun ini langsung ngacir ke ITC Kuningan, Jakarta Selatan, dan membeli Samsung Galaxy Mini seharga Rp 1,5 juta akhir pekan lalu.

Meski ponsel itu varian termurah dari ponsel bersistem operasi Android, dia puas. Berbagai aplikasi yang mejeng di halaman utama memudahkan penggunaan dengan sekali pijit. Rekaman Presiden Barack Obama mengabarkan kematian Usamah bin Ladin dinikmati dalam hitungan detik. ”Browsing jauh lebih cepat daripada ponsel lama,” katanya menunjuk BlackBerry Storm 9500 di sakunya.

Dia juga terhibur deretan permainan, yang bisa diunduh gratis via Google Market. Di kantornya, Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, ponsel mungil itu juga membuat orang kepincut. Saat Agung kembali ke ITC Kuningan, Selasa lalu, seorang rekannya langsung titip Rp 4,5 juta untuk dibelikan ponsel Android teranyar, LG Optimus 2X.

Agus Hamonangan, 32 tahun, mungkin jadi orang paling berbahagia dengan meluasnya wabah itu. Maklum, saat membuat mailing list pengguna Android, [email protected], lebih dari tiga tahun lalu, dia kesepian. Anggotanya cuma tiga orang. ”Itu pun teman-teman yang saya paksa masuk,” katanya. Forum ini membahas rencana pendiri Google, Sergey Brin dan Larry Page, idolanya, menelurkan telepon seluler. Wajar saja sepi karena produk yang digunjingkan baru terwujud Oktober 2008 dan masuk Indonesia Juni 2009. Itu pun hanya satu jenis, HTC Magic, yang jarang dilirik orang.

Android, berlogo robot hijau bertubuh tambun, baru jadi buah bibir sejak Indosat memasarkannya pada Februari 2010. Selain paket bundling dengan HTC, ada Sony Ericsson, Samsung, LG, Motorola, dan Huawei. Setelah itu pasar menjual ponsel tanpa kewajiban bundling dengan operator.

Jumlah anggota milis Agus pun terus naik, sampai lebih dari 7.000 pada pekan lalu. ”Mereka tertarik sistem operasi terbaru,” katanya. Mereka mengupas Android dari A sampai Z. Surat elektronik yang masuk sampai 10 ribu per bulan, mulai keluhan sinyal buruk sampai cara upgrade versi Android di ponsel.

Latar belakang anggota milis macam-macam, dari mahasiswa, wiraswasta, hingga dokter, dengan usia 20-45 tahun. ”Persamaannya, mereka early adapter, sangat update dengan teknologi,” kata Agus. Rekan-rekannya itu doyan menjajal perangkat terbaru. Banyak anggota milis sudah mengantongi gadget yang belum dijual di Indonesia. Dua-tiga bulan sekali para gadget freak ini melakukan kopi darat. Terakhir di Dago Atas, Bandung. Soal dana, Agus cs tidak pernah pusing. Banyak pabrikan ponsel yang siap jadi sponsor.

Di sentra-sentra penjualan ponsel, Android jadi idaman baru. Yuni Heriawan, pemilik gerai Visual Cellular di ITC Roxy Mas, Jakarta Pusat, bisa menjual tiga atau empat unit per hari. Memang masih di bawah penjualan top mereka, BlackBerry, yang mencapai enam unit per hari, tapi trennya positif. Saat dia pertama kali menjual tahun lalu, ponsel berbasis Android sepi peminat. ”Mungkin karena masih mahal,” ujarnya. Dalam sebulan, ia cuma bisa menjual lima unit Sony Ericsson Experia, yang dibanderol Rp 7 juta.

Toko milik perempuan 28 tahun itu sekarang menyediakan enam varian Samsung Android dan tujuh dari Sony Ericsson. Harga mulai Rp 1,5 juta sampai Rp 6 jutaan. Menurut Yuni, pembeli membeludak sejak Samsung meluncurkan Galaxy Mini dua bulan lalu. Jenis termurah ini menyumbang separuh dari penjualan Android di gerainya.

Begitu pula Edo, pemilik Roemah Cell di ITC Kuningan, Jakarta Selatan, yang rata-rata menjual dua unit Galaxy Mini saban hari. Menurut dia, harga memainkan faktor penting. ”Dulu yang beli terbatas eksekutif muda, sekarang banyak mahasiswa,” katanya.

Edo melihat ponsel berbasis Android punya masa depan cerah, apalagi iklannya makin gencar. Sejak bulan lalu dia mengganti logo toko BlackBerry jadi Samsung dan mendapat bayaran Rp 700 ribu per bulan dari Samsung Indonesia. ”Kalaupun tidak dibayar, saya tetap pasang agar lebih mudah dicari pembeli,” katanya.

Menurut Agus dari Komunitas Android Indonesia, hanya fasilitas chatting BlackBerry Messenger yang tak dimiliki Android. Bersama anggota milis, dia membujuk pengguna ponsel untuk memakai Google Talk, aplikasi chatting serupa Yahoo! Messenger, yang ada di BlackBerry. ”Supaya tidak bergantung BlackBerry Messenger,” ujarnya.

Meski menyanjung, Agus mengakui kelemahan Android, yaitu rentan ketidakstabilan sinyal. Sedikit saja kekuatan sinyal melenceng turun dari 3G, fungsi Internet hilang. Cuma bisa dipakai telepon dan pesan singkat. Di kota besar, sinyal tak jadi masalah. Agus mencontohkan, perjalanan Jakarta-Bandung lewat jalan tol Cipularang, semua fungsi berjalan, tapi anjlok saat memasuki pinggiran Bandung, seperti Dayeuhkolot. Sedangkan BlackBerry masih sanggup untuk Internetan dengan status sinyal GPRS. ”Ini yang jadi penghambat pertumbuhan Android,” katanya.

Reza M

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus