Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BLUES MERBABU
Penulis: Gitanyali
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, 2011
”Tentang Ayah, aku sudah terlatih meniadakan harapan. Setiap menjelang puasa dan lebaran, Embah menabur bunga di perempatan jalan. Katanya, itu kiriman untuk Ayah.”
(Blues Merbabu, halaman 80)
DINGIN dan berjarak dari salah satu peristiwa berdarah terbesar di negeri ini, tokoh Gitanyali—putra seorang kader Partai Komunis Indonesia—tumbuh menjadi lelaki yang lebih memperhatikan gejolak hormon dalam tubuhnya daripada gejolak politik. Dia menyaksikan sang ayah yang digiring tentara; sang ibu yang ditahan Kodim, tapi Gita lebih menikmati hari-hari pubertasnya dengan mengintip para bude-nya yang cantik mandi dan mempelajari anatomi tubuh perempuan dewasa.
Gitanyali, putra bungsu Sutanto Singayuda, melalui sebuah kisah kilas balik kepada seorang wartawan, mengisahkan masa kecilnya di kaki Gunung Merbabu. Bukan saja tentang orang tuanya yang hampir absen dalam hidupnya, tapi lebih banyak tentang pengalaman orgasmenya pertama kali dengan Mbak Kadarini, seorang kader yang suatu malam membiarkan si Gita kecil meremas payudaranya, dan tentang pacar-pacarnya di masa kecil hingga dewasa. Di antara pengalaman seks dan rindunya pada cahaya bulan—karena saat itulah dia tidur di pelukan Mbak Kadar—kita juga menyaksikan sosok Gita yang pandai merangkai kata hingga akhirnya kelak dia dikenal sebagai seorang wartawan.
Novel setebal 184 halaman ini ditulis dengan lancar, bahasa pop yang nyaris tanpa metafora dan tidak berpretensi menggapai estetika bahasa. Sesekali novel ini mengingatkan kita pada kesederhanaan gaya novel-novel Ashadi Siregar dan Marga T., yang meledak pada 1980-an. Gitanyali, nama samaran dari seorang wartawan harian besar di negeri ini, bahkan tak menampilkan premis penting kecuali sebuah kisah semibiografi penulisnya yang tak ingin menyesali apalagi meratapi masa lalu.
Sosok Gita sejak kanak-kanak hingga dewasa digambarkan sebagai lelaki yang memiliki daya observasi yang tajam, tapi selektif. Dia tahu di lingkungannya tengah terjadi keriuhan politik; tapi dia memilih mengutak-utik rasa ingin tahunya tentang titik-titik erotika perempuan-perempuan yang ditidurinya, apakah dia kawan sekolah menengah atas atau salah seorang tante yang mengajaknya ke Puncak. Presiden sudah berganti; PKI sudah diburu-buru dan bahkan ayahnya tak jelas ada di mana. Gita tetap hidup di alamnya sendiri: alam yang lebih asyik menikmati berbagai genre musik dan posisi seks yang eksperimental.
Apakah sosok Gita seorang yang egosentris yang dingin, yang begitu self-indulgent? Mungkin itu adalah cara dia bertahan membuang kesedihan dan rasa sepi. Mungkin sarkasme dan cemooh justru membantunya menertawakan politik? Tapi mungkin juga tokoh Gitanyali adalah karakter yang tak peduli pada situasi sosial dan politik di sekitarnya dan menjadi arogan untuk menutupi segala kekurangannya itu.
Arogansinya semakin jelas terlihat ketika tokoh Gita mengaku merasa malu dengan pacar lamanya, Khotifa, yang menurut dia ”suratnya sangat kampungan” karena selalu diawali dengan kata ”salam sejahtera”. Tokoh Gita yang merasa diri sebagai sastrawan tak ragu mencemooh banyak orang, termasuk dirinya sendiri. Tapi, justru karena dia begitu seenaknya dan angkuh, kita tak bisa berhenti membaca buku ini karena ingin tahu: apa yang akan dilakukan pengarang terhadap tokohnya anti-hero yang menjengkelkan ini.
Novel ini memang sama sekali tak berpretensi untuk menggali atau bahkan mendiskusikan peristiwa 1965 sebagai pusat cerita. Dia mengaku kepada wartawan yang mewawancarainya bahwa dia sendiri tak bisa menjawab ”apa itu komunisme”. Kalau ditanya ”kapan Estee Lauder menciptakan produk pertamanya”, Gita akan bisa menjawab. Sekali lagi, politik dan segala akibatnya itu bukan jantung kehidupan Gitanyali.
Bahkan, jika perlu, tokoh Gitanyali lebih suka membuangnya ke dalam sebuah kotak. Sosok yang asyik dengan dirinya ini lantas saja terguncang ketika pada akhir cerita dia bertemu dengan Mbak Kadar (yang sudah berusia senja), yang sama sekali tidak menganggap pengalaman tempat tidur mereka adalah sesuatu yang penting. Dalam bahasa Gitanyali, kenangan yang dialami Gita ternyata ”bukan kenangannya”.
Karena itu, sejarah berdarah yang dialaminya seolah menjadi sebuah fakta yang tak ingin dia persoalkan, bukan karena takut, bukan pula karena perbedaan ideologis, melainkan karena Gita sama sekali tak berminat. Kejujuran inilah yang membuat novel Blues Merbabu menjadi bacaan pop yang asyik.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo