Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pembelaan tertulis dicky di hadapan rapat umum pemegang saham bank duta. bank duta dibebani proyek image dan melakukan kesalahan manajemen total. pemecatan tidak hormat merupakan rekayasa sepihak.

13 Oktober 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNDANGAN itu diterima Dicky Rabu pagi, 3 Oktober 1990. Bekas Wakil Direktur Utama/Direktur Eksekutif Bank Duta, Dicky Is~kandar Di Nata diminta hadir pada RUPS 4 Oktober, Kamis silam. Undanean tersebut ditandatangani oleh Bustanil Arifin, selaku komisaris utama Bank Duta. Pasal 13 ayat 6 Anggaran Dasar PT Bank Duta menyebutkan, pada RUPS yang membicarakan pemberhentian direksi, yang bersangkutan diberi kesempatan datang dan membela diri. Tapi bunyi pasal ini tidak seirama dengan kemauan Kejaksaan Agung yang tengah melakukan penyidikan atas Dicky dan sederet saksi. "Bagaimana mungkin orang sedang ditahan bisa menghadiri RUPS?" kata sebuah sumber di Kejaksaan Agung. Dicky lalu menuangkan pembelaan melalui surat bertuliskan tangan sebanyak delapan halaman. Itu ditulisnya pada malam menjelang RUPS. "Berhubung amat sempitnya waktu serta keadaan diri . . . maka saya hanya menyampaikan pertanggungjawaban saya secara terbatas dan singkat seperti di bawah ini." Dicky memulai kisahnya dengan sedikit latar belakang perkembangan Bank Duta. Dalam penilaiannya, Bank Duta sepanjang 1978-1985 mengalami pertumbuhan semu. "Usahanya ditunjang oleh dana murah bersumber dari Bulog dan Koperasi. Sehingga tingkat profitabilitasnya tidak menggambarkan real economic v~alue suatu usaha perbankan." Kata sebuah sumber, dana Bulog saja setiap tahun bisa mencapai Rp 4~0 milyar. Menurut Dicky, Bank Duta juga memiliki kegiatan lain yang tidak secara lan~sun~g mendukun~g aktivitas bank, bahkan membebani kegiatan rutin. Ia menyebut pembangunan kantor pusat yang terlalu berlebihan, pembangunan beberapa kantor cabang yang terlalu megah, pendirian anak-anak perusahaan yang merugi, penerbitan majalah Infobank, pembangunan serta biaya operasi kampus megah STEKPI, pemberian technical a~sistance kepada lima bank swasta nasional lainnya. Semua itu lebih dikenal dengan proyek image Bank Duta. "Periode 1985-1987 beban ove~head dari proyek image mulai terasa dengan berkurangnya dana-dana Bulog/Koperasi, karena dialihkan ke Bukopin dan BRI," tulis Dicky. "Akibatnya tingkat profitabilitas Bank Duta menurun drastis. Pada saat itu direksi baru menyadari, beban overhead dari gedung Kebon Sirih saja, yang menurut perhitungan (kurang lebih) US~$ 60 per m2, merupakan beban berat apabila tiadanya dana-dana Bulog." Seorang pejabat di lingkungan Ekuin menyatakan, overhead cost Bank Duta memang relatif tinggi. Yakni 3% atau dua kali dari rata-rata overhead cost bank-bank pemerintah yang 1,5%. Dicky juga menyebutkan soal kelebihan pegawai (over-staff) dan sistem rekruitmen yang tak terencana. Kenyataan ini menimbulkan isu PHK, tapi dibantah oleh kuasa direksi, Winarto Soemarto. "Kebijaksanaan rekruitmennya baik. Mungkin di sana-sini masih ada yang kurang, maka perlu dibenahi." Menurut Dicky, beban overhead cos~t yang memberat tertolong oleh windfall profit yang cukup besar akibat devaluasi 1986, ketika kurs US$ 1 berubah dari Rp 1.147 menjadi Rp 1.620. Dari perbedaan nilai tukar dolar atas rupiah tersebut, Bank Duta, yang sudah mengumpulkan dolar beberapa pekan sebelum devaluasi, untung paling tidak Rp 13,4 milyar. Ketika mengupas latar belakang rugi gara-gara perdagangan valas -- hingga dirinya terpojok -- Dicky punya cerita. "Pada waktu saya mengambil alih tugas direktur treasury dan luar negeri, Juli 1989, ditemukan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan kepala urusan treasury dan chief dealer. Terdapat posisi valuta asing yang terbuka (open posi~tion) US$ ~50 juta (short). Posisi ini diambil Mei 1989. ~Hal ini merupakan penyimpangan dari ketentuan yang ada mengenai limit open position dan tidak pernah dilaporkan oleh kepala urusan treasury maupun oleh audit. Dengan open position demikian, sudah terjadi potential loss (rugi) US$ 25 juta." Tapi ini dibantah oleh kepala urusan treasury waktu itu, Mochtar Mandala (kini direktur utama Bank Bukopin~). Kata Mochtar, "Tak pernah ditemukan fakta itu. Jika ada kejanggalan, direksi lain kan tahu." Agak rinci Dicky membeberkan bagaimana proses rugi valas terjadi di tingkat yang lebih mengkhawatirkan. Dimulai pada September 1989, kecenderungan dolar meningkat dan tim dealer membalik posisi short (jual) menjadi long ~(beli) dalam jumlah US$ 470 juta. Dari situ meningkat terus, dan pada Oktober 1989 sampai US$ 800 juta. Pengambilan posisi ini dilakukan oleh chief dealer tanpa sepengetahuan anggota tim lainnya. Pada 13 Oktober crash di Wall Street, dolar turun secara drastis. "Saat itu saya perintahkan untuk menutup seluruh posisi (square) karena dolar terus menurun," tulis Dicky. "Perintah tidak dilaksanakan chief dealer, dengan alasan pasar sedang panik .... Pada 16 Oktober saya ulangi perintah ... sementara dolar AS sudah turun 1.000 basis point. Ini tidak dilaksanakan, dengan alasan dolar akan rebound. Sementara po~ten~sial loss sudah mencapai US$ 100 juta dan apabila ditutup akan menjadi realized loss." Dicky lalu menyinggung keputusan manajemen untuk menjaga kerahasiaan masalah itu, seraya memprioritaskan persiapan menghadapi pemeriksaan BI. Maka, posisi Bank Duta dibiarkan terbuka sampai ada keputusan lebih lanjut. Dicky berkesimpulan, "Bencana Bank Duta tidak terlepas dari situasi lingkungan Bank Duta sendiri. Tidak berfungsinya ar~arat kontrol dan built in con~rol merupakan kegagalan manajemen secara total." Maka, ketika mengetahui bahwa dirinya diberhentikan dengan tidak hormat, Dicky protes. "Saya benar-benar berkeberatan atas rekayasa sepihak semacam itu, di mana saya tidak diperkenankan hadir secara pribadi dalam RUPS. Lagi pula penyidikan oleh Kejaksaan Agung belum selesai, sehingga amat tidak layak vonis dijatuhkan kepada saya mendahului peradilan resmi yang ada." MC, MBM, Aji, ATG, dan WM (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus