Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bagaimana kalau lebih transparan ?

Rapat umum pemegang saham (rups) bank duta tidak mengungkap semua pertanyaan. ada hal yang jadi pelajaran dari kasus bank duta, misalnya tentang manajemen terhadap transaksi valas, tindakan terhadap dicky.

13 Oktober 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA boleh buat. Perusahaan yang go public harus membuka diri kepada publik. Dan ketika kehadiran pasar modal sedang dikukuhkah dalam kehidupan rakyat, mau tak mau orang banyak harus diberi kesempatan untuk menengok ke dalam. Pers juga diminta oleh para pembacanya untuk membantu memberi informasi yang sebenarnya -- karena publik merasa berhak. Majalah ini ~ yang di antara wartawannya adalah pemegang saham Bank Duta -- mau tak mau mengambil peran pemberi informasi itu. Kemerdekaan pers dalam soal ini, dan dalam suasana pasar jadi penting kini, rasanya dibutuhkan. Meskipun tetap dengan sikap yang arif. Sayang, Rapat Umum Pemegang Saham Bank Duta tidak memberi banyak kesempatan untuk menjawab banyak pertanyaan khalayak. Para pemegang saham diberi kesempatan untuk bertanya secara tertulis. Tapi belum semua pertanyaan terjawab. Padahal ada hal-hal yang bisa jadi pelajaran bersama dari kasus Bank Duta ini, baik untuk para bankir, para pengambil keputusan, dunia bisnis, para ahli hukum, maupun orang awam. Misalnya bagaimana manajemen yang baik buat kendali terhadap transaksi valas. Atau bagaimana menyelenggarakan sebuah rapat umum pemegang saham yang cukup menjelaskan, dalam suatu keadaan kritis. Atau bagaimana mengatur wewenang pemerintah dan hak-hak swasta, serta mana yang milik publik, mana pula yang bukan. Atau soal conflict of interests dalam manajemen, baik di antara pejabat pemerintah maupun pejabat bank. Atau bagaimana meninjau segi yuridis keadaan rugi besar dan pailit, dan bagaimana pula dengan soal hibah. Tak kurang penting adalah pelajaran tentang soal mana yang etis dan mana yang adil. Dewan komisaris misalnya memutuskan: Dicky Iskandar Di Nata, wakil direktur utama, bersalah dan diganjar dengan pemecatan secara tidak hormat. Banyak yang menilai ganjaran itu terlalu ringan. Namun, buat yang lain, pemecatan tidak hormat terhadap Dicky -- sebelum pengadilan memberi vonis -- dianggap melanggar "asas praduga tak bersalah". Bukankah cukup Dicky diperlakukan sebagai direktur yang lain: diberhentikan ? Pertanyaan ini tentunya akan bisa dijawab meskipun, sayangnya, belum terjawab di rapat umum. Selain soal Dicky, juga soal hibah murni, yakni dana besar yang telah disalurkan untuk menutup rugi US$ 419 juta. Maka kali ini TEMPO menampilkan beberapa laporan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas -- dan bagaimana pengalaman Bank Duta bisa jadi bahan pelajaran. Isma Sawitri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus