Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Palu terakhir dari bustanil arifin

Rapat umum pemegang saham bank duta yang dipimpin oleh bustanil arifin mengesahkan jajaran direksi baru, menjelaskan kerugian bank, hibah murni untuk menutup kerugian dan pemecatan terhadap dicky.

13 Oktober 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AMBULANS RSPAD Gatot Subroto ikut melengkapi Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Bank Duta, Kamis pekan silam. Mobil itu diparkir merapat di sisi kiri gedung. Barangkali baru kali ini rapat umum pemegang saham sebuah perusahaan yang sudah go public diliputi suasana tegang. Banyak petugas keamanan - berseragam dan yang tidak - berseliweran di Gedung Krida Bhakti, Jakarta Pusat, tempat RUPS berlangsung. Bahwa wartawan - diperkirakan sekitar 100 orang - tidak boleh meliput langsung ke dalam RUPS, itu memang lazim. Tapi perusahaan lain yang sudah go public, Lippobank misalnya, tidak menutup diri total seperti Bank Duta. Seusai RUPS Lippobank, para komisaris dan jajaran direksi langsung berdialog dengan wartawan - bahkan mereka masih bersedia menjawab pertanyaan pers, saat makan siang. Tapi Bank Duta memang lain, baik jumlah kerugiannya maupun upaya menutup kerugian tersebut. Dan kelainan itu juga terpancar dari penampilan Komisaris Utama Bank Duta Bustanil Arifin. Tokoh yang banyak disukai orang karena kedermawanannya ini tampak mengenakan setelan safari kelabu lengan panjang, berkaca mata, dan berpeci. Ia memegang palu dalam tugasnya memimpin RUPS dengan acara tunggal: mengesahkan tindakan yang dilakukan Dewan Komisaris Bank Duta, yang telah membebastugaskan direksi dan mengambil alih untuk sementara (sampai 24 Oktober, saat RUPS untuk mengesahkan jajaran direksi baru) kepengurusan PT Bank Duta. Bustanil terkesan kurang ramah, tetapi komisaris Bank Duta lainnya tampak lebih santai. Ali Affandi, misalnya, masuk gedung melalui pintu belakang, ngeloyor begitu saja tanpa didampingi seorang pengantar. Di dalam ruangan, sambil menunggu RUPS, Mung Parhadimulyo dan Zahid Hussein berbisik dan tertawa-tawa. Hedijanto bersikap resmi, tenang. Tamu kehormatan, seperti Menko Ekuin Radius Prawiro dan bankir Moeljoto Djojomartono (calon komisaris utama Bank Duta), duduk santai di barisan depan. Bagi Bustanil, inilah hari terakhir ia duduk memimpin rapat dewan pimpinan Bank Duta. Jabatannya sebagai komisaris utama berakhir 10 Oktober pekan ini, terhitung dari 30 hari kerja sejak pengunduran dirinya September 1990. Palu pembukaan RUPS diketuk Bustanil pada pukul 10.10. Tapi lalu hening sebentar. Rupa-rupanya, Notaris Abdul Latief, yang bekerja untuk Dewan Komisaris Bank Duta, harus mengambil daftar hadir di tangan panitia. Pukul 10.25 rapat dilanjutkan, diawali dengan pengumuman A~bdul Latief. Seluruh peserta rapat tern~yata mewakili 114,2 juta saham, berarti 81,~27% dari seluruh (140.596.538) saham - termusuk di dalamnya saham go public 27.500.000 - yang dikeluarkan PT Bank Duta. Salah seorang komisaris Bank Duta Hedijanto, membacakan Penjelasan D~ewan Komisaris Tentang Pembebasan Tugas untuk sementara Direksi dan Pengambilalihan untuk sementara Kepengurusan PT Bank Duta oleh Dewan Komisaris. Penjelasan sepanjang delapan halaman kuarto itu ditandatangani oleh semua anggota Dewan Komisaris. Isinya yang terpenting ialah: Soal kerugian. Pada pertengahan Agustus lalu, direksi melaporkan kerugian akibat perdagangan valuta asing sebesar US$ 310 juta. Pada 5 September, dewan komisaris menggusur seluruh jajaran direksi. Sesuai dengan Pasal 13 ayat 5 dan 8 Anggaran Dasar PT Bank Duta, maka Direktur Utama Abdul Gani beserta direktur lainnya -- Bey Yoesoef, Effendi Ishak, dan Syamsi Pohan - diberhentikan. Dan Wakil Direktur Utama Dicky Iskandar Di Nata diberhentikan dengan tidak hormat. Di sini perlu juga dicatat keterangan yang menyebutkan bahwa, tidak semua anggota direksi Bank Duta mengetahui secara mendalam soal perdagangan valas. Tapi nama-nama direksi itu tidak disebutkan. Lalu, sebagai pengganti direksi lama, sesuai dengan pertimbangan Menteri Keuangan, adalah Winarto Soemarto (direktur utama), didampingi E.C.W. Neloe, F.X. Suwarsono, B.S. Salamoen, dan Jusuf Sudibyo Wirjosudirdjo. Sebelum pengesahan posisi mereka pada RUPS 24 Oktober, status mereka adalah kuasa Dewan Komisaris. Dan pilihan nama-nama itu tampaknya tidak meleset, terutama jika dipertimbangkan bobot keahlian masing-masing di bidang perbankan dan integritasnya. Winarto misalnya, oleh kalangan ekonom, disebut-sebut bankir andalan untuk menggantikan Direktur Utama BRI Kamardy Arief. Atau Neloe, yang menonjol di BDN, terakhir menjabat Managing Director Staco International Finance Limited. -- sebuah LKBB subsidiari BDN di Hong Kong. Setelah sebulan bekerja siang malam akhirnya jajaran calon direksi itu bisa memastikan -- sesudah pengecekan teliti dan ketat -- bahwa kerugian Bank Duta persisnya US$ 419.636.910,64. "Angka itu sudah final," tutur Winarto dua hari kemudian di kantornya, Lantai 19 Gedung Menara Duta. Kerugian itu dinyatakan terjadi sejak 1988. Kalau direksi tidak mengetahuinya, tak lain karena angka-angkanya dibukukan dalam berbagai rekening fiktif. Menurut Winarto, jumlah tersebut merupakan akumulasi kerugian perdagangan valuta asing yang dilakukan melalui berbagai bank koresponden. Akan halnya perdagangan valas, dipercayakan pada 10 orang officer dan 10 orang non-officer di dealing room, yang dipimpin langsung oleh Dicky Iskandar Di Nata. "Masing-masing dealer telah melakukan dealing lebih besar dari batas kewenangan yang telah ditetapkan," kata Winarto kepada TEMPO. Upaya menutup kerugian. Tidak terlalu sulit rupanya. Dalam RUPS disebutkan pemilik saham mayoritas (Yayasan Dakab, Yayasan Supersemar, dan Yayasan Dharmais) telah menyetorkan uang tunai sebesar kerugian tersebut. Suntikan itu disebut sebagai hibah murni. Jadi, bukan pinjaman, bukan pula suntikan dana, yang lazimnya mempengaruhi struktur permodalan atau yang bisa memperkecil nilai saham yang sudah dimiliki masyarakat. Ia juga merupakan pengalihan dana yang terbebas dari pajak -- Dirjen Pajak Mar'ie Muhammad sudah menegaskan demikian. Sebagai kuasa pemilik modal dan sebagai bankir, Winarto, seperti dikatakannya kepada TEMPO, tidak berhak menanyakan dari mana dan bagaimana dana itu dikumpulkan. Disebut-sebut nama Anthony Salim (dan mungkin Prayogo Pangestu) sebagai tokoh yang berperan mengerahkan pengumpulan uang tunai untuk hibah tersebut. Tetapi tidak ada yang secara resmi sudah membenarkan dugaan itu. Dari mana pun sumbernya, dana US$ 419 juta itu telah membuat posisi neraca Bank Duta menjadi rata alias tidak rugi. "Tapi sebenarnya minus, yakni minus kepercayaan," salah seorang dari jajaran kuasa direksi mengungkapkan. Katanya, beberapa deposan perorangan menarik dana mereka, tapi deposan besar tetap bertahan. Dan yang penting, seperti ditegaskan dalam RUPS, Bank Duta bisa menjalankan kegiatannya dan memenuhi kewajibannya (terhadap pihak ketiga) dengan baik. Keharusan bekerja dengan baik -- untuk memulihkan kepercayaan dan meningkatkan efisiensi -- ternyata menggelisahkan karyawan Bank Duta. Keputusan untuk bekerja enam hari seminggu, misalnya. Dan, kalau perlu, tanpa batas akhir waktu kerja alias bekerja sampai larut malam. "Itu menggemparkan," kata seorang karyawan di bagian kredit. Kecuali itu, para karyawan akan menjalani tes ulang setahun sekali, meliputi psikotes sampai ujian untuk mengukur pengetahuan mereka dan sikap mereka sebagai pegawai bank. Klimaks RUPS terjadi, saat Dewan Komisaris mengusulkan kepada para pemegang saham untuk menyetujui tindakan pemberhentian jajaran direksi (Abdulgani dkk.) dan pemberhentian secara tidak hormat Dicky Iskandar Di Nata. Pertimbangan komisaris ialah: kerugian sangat besar di Bank Duta merupakan tanggung jawab semua pimpinan puncak. Tapi, dari segi operasional, perlu dibedakan antara penanggung jawab langsung (mengacu ke Dicky) dan pimpinan puncak lainnya. Bustanil Arifin tidak perlu menunggu mayoritas hadirin -- yang tak sampai 200 orang -- mengangkat tangan tanda setuju. Kendati yang mengangkat tangan di floor tak sampai 50%, Bustanil merasa sah memukulkan palu seraya mengatakan, "Lebih dari 70% setuju." Kalau sudah begini, mau apa lagi. Yang di floor itu kan pemilik saham minoritas. Cuma, sesudah itu, timbul pelbagai komentar. Terutama tentang keputusan terhadap Dicky, yang sedang dalam pemeriksaan kejaksaan. Salah seorang pengacaranya, Minang Warman, S.H., mengatakan, "Kalau Dicky dipecat dengan tidak hormat karena tersangkut masalah pidana, sangat disayangkan. Keputusan itu terlalu pagi. Itu sudah melanggar asas praduga tak bersalah." Sedangkan kalau ia dipecat karena kesalahan bermain valuta asing, menurut Minang, malah akan menimbulkan trauma kepada direksi-direksi Bank Duta yang baru. "Sebab, permainan valas itu kan policy perbankan," ujarnya. Dicky sendiri hanya bisa memberikan pen~belaan tertulis pada RUPS itu (lihat Rekayasa Sepihak . . . ). Moh~am~mad Cholid, Moebanoe Moera, Bambang Aji, Wahyu Muryadi, dan Biro Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus