Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

'Dallas' dari Riau

Perebutan sumur minyak Coastal Plain Pekanbaru (CPP) makin seru. Kongsi Caltex Pertamina belum pasti jadi pemenang. Bukaka dan Batara menyalip di tikungan?

12 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lakon Dallas ternyata bukan cuma di televisi. Opera sabun tentang perebutan ladang minyak itu terjadi juga di Indonesia. Lihat saja. Adu intrik, perang siasat, dan teknik lobi--menu utama Dallas--kini tengah berlangsung seru di kantor Menteri Pertambangan dan Energi, Kuntoro Mangkusubroto. Bahkan, arena pertempuran, kabarnya, sudah melebar sampai ke Bina Graha, tempat Presiden Habibie berkantor.

Mungkin Anda juga sudah mendengar, ladang minyak yang diperebutkan adalah Coastal Plain Pekanbaru (CPP) di Riau. Semula, sumur ini dikelola Caltex Pacific Indonesia (CPI). Tapi kontraknya tinggal tiga tahun lagi. Dari sinilah pertempuran mulai meletup: ladang yang sebentar lagi "tak bertuan" itu masih produktif. Tiap hari dari sumur CPP masih bisa ditangguk 70 ribu barel minyak. Umurnya diperkirakan masih 10 tahun lagi. Sebuah harta karun bernilai US$ 5 miliar lebih sedang menanti peminat.

Betul, ada kabar menyebut, pemerintah telah menunjuk pemain yang akan mengelola CPP. Pekan lalu, media masa melaporkan sebuah perusahaan baru, kongsi antara Pertamina (50 persen) dan CPI (50 persen) berpeluang besar menggantikan CPI. Tapi, berdasarkan penelusuran TEMPO, keputusan itu masih jauh dari final. Sejumlah pemain lokal tiba-tiba menyelinap di tikungan.

Menurut sumber-sumber TEMPO di Departemen Pertambangan dan Energi, posisi calon terkuat pengelola CPP saat ini justru diperebutkan Bukaka (Yusuf Kalla) dan Grup Batara (Fadel Muhammad). Tapi pelbagai kemungkinan masih saja bisa terjadi. Sejauh ini, sedikitnya ada empat pemain lain di luar kedua nama itu. Mereka adalah Caltex, Pertamina, Medco (Arifin Panigoro), dan Grup Bakrie (Aburizal Bakrie).

Caltex, sebagai pemilik lama, memiliki alasan kuat untuk tetap mengelola CPP. Perusahaan patungan antara Chevron dan Texaco itu mempunyai dalih agar tetap memegang kontrak. Katanya, cuma Caltex yang bisa mempertahankan produksi CPP. Caltex siap menginjeksikan tambahan investasi US$ 1,3 miliar. Tanpa suntikan itu, konon, produksi akan anjlok sekitar 10 ribu barel per hari. Baihaki Hakim, Direktur Utama CPI, bahkan pernah menyatakan, Pertamina sekalipun belum sanggup mengelola CPP.

Sesumbar seperti itu tentu saja dibantah Pertamina. Keraguan Caltex, bagi Direktur Muda Eksplorasi Pertamina, F.X. Sujanto, cuma sinyal persaingan. BUMN strategis ini merasa memiliki jam terbang yang cukup untuk mengelola sumur minyak sejenis. Pertamina malah ganti menunjukkan kerugian negara jika CPP tetap dipegang Caltex: adanya pelarian modal kel luar negeri. Sujanto menjamin, jika Pertamina yang mengambil oper, "Semua keuntungan masuk kas negara."

Ihwal perlunya investasi miliran dolar untuk mempertahankan produksi juga dibantah. "Omong kosong," kata seorang mantan pejabat Pertamina. Menurut sumber yang tahu persis soal pengelolaan CPP ini, ladang di Riau itu amat mudah dikelola. Ibaratnya, "Tinggal jentikkan tangan, minyak mengalir sendiri."

Jadi, Pertamina yang akan mengambil oper CPP? Sebentar. Di tengah perang dua gajah ini, sejumlah "kancil" berhasil menyelinap. Sumber TEMPO di Departemen Pertambangan dan Energi menyebut, Bakrie secara resmi telah melamar CPP. Melalui PT Energi Timur Jauh, pengusaha Aburizal Bakrie telah berkirim surat ke Menteri Kuntoro agar perusahaannya diberi kesempatan.

Direktur Utama Energi Timur Jauh, Renneir A. Latief, berani menjamin pihaknya bisa menjaga produksi CPP tetap di puncak. Renneir menunjuk sukses pengelolaan Kondur Petroleum, sumur minyak yang bertetangga dengan CPP, sebagai salah satu bukti kemampuan Bakrie. Tapi, sejauh ini, pinangan Bakrie belum beroleh jawaban.

Sementara Bakrie menunggu jawaban, seorang pemain lain mencoba peruntungan. Ia adalah Achmad Kalla, adik Jusuf Kalla, pengusaha asli Makassar. Dengan bendera Bukaka, kawan sekampung Habibie ini mengajukan draft proporsal pengelolaan CPP dua pekan lalu. Hebatnya, menurut sumber TEMPO di Pertamina, Bukaka langsung mendapat rekomendasi resmi untuk mengelola CPP. "Saya sudah melihat suratnya, ditandatangani Habibie," katanya.

Namun, Achmad justru membantah info ini. Ia yakin, penawarannya tidak atau sedikitnya belum membuahkan hasil. Achmad membenarkan bahwa Bukaka mempunyai resep menghemat ongkos produksi CPP. Dengan mengubah sumber energi dari gas menjadi batu bara, menurut Achmad, sedikitnya US$ 85 juta bisa diirit tiap tahun. Tapi, menurut Achmad, usul itu dianggap sepi oleh pemerintah. Karena itu, "Mustahil kalau Habibie sekarang langsung oke," katanya.

Achmad malah balik memberi info. Yang dia dengar, surat rekomendasi Habibie ditujukan untuk Batara Kujang Prima, perusahaan yang 70 persen sahamnya dimiliki Fadel Muhammad. Menurut dia, perusahaan ini amat agresif memainkan jurus lobi dan koneksi. Tapi dugaan ini juga dibantah Amir Sambodo, Direktur Utama Batara. "Kami memang berminat. Tapi itu nanti, kalau ditenderkan secara terbuka," katanya.

Selain Bakrie, Bukaka, dan Batara, Meta Epsi Drilling Company alias Medco tampaknya juga belum kehilangan peluang. Perusahaan milik Arifin Panigoro ini berminat berat terhadap CPP. "Tapi itu cuma sebatas keinginan," kata Arifin buru-buru. Ia mengaku Medco saat ini sedang kejepit likuiditas. Ia mempunyai beban surat utang yang belum terbayar. Padahal, CPP sangat padat modal dan teknologi. Meski demikian, Medco menyatakan terus maju jika pemerintah membuka tender terbuka untuk CPP.

Jadi, siapa yang akan menang? Menteri Kuntoro sendiri agaknya belum memberi vonis final. Ia mengaku masih mengkaji empat skenario: balik ke Caltex, ke Pertamina, diserahkan kongsi Caltex-Pertamina, atau ditenderkan.

Apa boleh buat, Dallas dari Riau masih to be continued.

MC, ANY, IMA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus