Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font color=#CC0000>Layu</font> Sebelum Bertarung

Pemerintah akhirnya tak jadi menegosiasi ulang dua ratusan pos tarif sektor industri dengan pemerintah Cina. Kelemahan industri nasional jadi sorotan. Pengusaha yang semula getol menentang perjanjian bebas Cina-ASEAN berbalik mendukung.

12 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELASA pekan lalu menjadi hari superpadat bagi Mari Elka Pangestu. Menteri Perdagangan ini hampir tak punya waktu luang lagi. Pukul 08.00, Mari mengunjungi pabrik baja PT Krakatau Steel di Cilegon, Banten. Setelah meninjau pengolahan baja canai panas, ia menggelar jumpa pers sebentar, dan langsung kembali ke kantornya, di Jalan Ridwan Rais, Jakarta Pusat.

Hanya rehat sejenak, Mari yang didampingi Wakil Menteri Perdagangan Mahendra Siregar bergegas menyambangi restoran Jepang, Shima, di lantai dasar Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat. Di sana 14 pengusaha dari Kamar Dagang dan Industri Indonesia sudah menunggu. Sambil menikmati sushi, sashimi, dan tempura, dia membagikan materi presentasi hasil kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan Cina di Yogyakarta, Jumat dua pekan lalu.

Di Kota Gudeg, Mari dan Menteri Perdagangan Cina Chen Deming meneken tujuh butir kesepakatan terkait Perjanjian Perdagangan Bebas Cina dengan negara-negara anggota ASEAN (CAFTA). Indonesia dan Tiongkok setuju meningkatkan pertumbuhan perdagangan. ”Mereka berjanji mendanai kredit dan pinjaman lunak revitalisasi dan investasi, serta membangun infrastruktur di Indonesia,” katanya dalam wawancara dengan Tempo di Jakarta pekan lalu.

Menteri Mari kembali ke kantornya untuk memimpin rapat. Kali ini dengan 20 perwakilan asosiasi industri. Tepat pukul 14.00, dia kembali mempresentasikan hasil pertemuan di Yogyakarta. Respons para pengusaha dalam dua pertemuan tadi nyaris sama. Kalangan pengusaha yang sebelumnya lantang menentang perjanjian perdagangan bebas ASEAN-Cina malah manggut-manggut mendengar penjelasan sang menteri. Nyaris tak ada tuntutan negosiasi ulang 228 pos tarif di sektor baja, tekstil, hingga petrokimia. Renegosiasi ratusan tarif bea masuk ke Indonesia dianggap penting karena terlalu rendah dan bisa mengancam industri di Tanah Air.

l l l

Para pengusaha nasional pada awalnya menolak realisasi kesepakatan perdagangan bebas Cina-ASEAN yang berjalan mulai awal Januari lalu. Sesuai dengan kesepakatan itu, 8.000 pos tarif dari berbagai sektor industri nasional turun dari lima persen menjadi nol persen, atau dari 2,5 persen menjadi nol persen.

Lantaran menganggapnya memberatkan, kalangan pengusaha mendesak pemerintah menunda pelaksanaan perdagangan bebas dengan Cina itu. Yang getol bersuara menentang antara lain dari industri tekstil, farmasi dan alat kesehatan, ban, sepatu, tekstil, hingga baja. Mereka mendapat dukungan kuat dari Kementerian Perindustrian dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Industri tekstil mengeluh bakal paling menderita bila perdagangan bebas ini berjalan. Bayangkan saja, sampai tahun lalu, produk tekstil Cina telah menguasai 40 persen dari total nilai pasar tekstil di Indonesia senilai Rp 70 triliun. Impor produk tekstil dari Negeri Panda ini terus meningkat. Dalam tiga tahun telah melonjak 25 persen. Ini belum termasuk tekstil ilegal.

Didesak para pengusaha dari segala penjuru, pemerintah akhirnya mau berkompromi. Lewat pembahasan alot, Kementerian Perindustrian setuju membantu merenegosiasi 228 pos tarif sejumlah industri dengan Cina. Sektor industri yang menjadi perhatian khusus, antara lain baja, tekstil, dan alas kaki (80 persen dari 228 pos tarif). Menteri Perindustrian Muhammad Sulaiman Hidayat menyurati Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa agar memodifikasi ratusan pos tarif itu dalam pertemuan dengan pejabat tinggi Cina.

Rupanya desakan itu hanya lantang di kertas. Tuntutan para pengusaha kandas. Bahkan, dalam pertemuan dengan Chen Deming di Yogyakarta, renegosiasi pos tarif sama sekali tak dibahas. Menurut Mari, tujuh butir kesepakatan dengan Cina jauh lebih positif ketimbang renegosiasi 228 pos tarif. ”Renegosiasi itu kompleks dan berbiaya tinggi,” ujarnya. Lagi pula, sektor yang akan diminta Cina dan negara ASEAN lainnya sebagai kompensasi belum diketahui. ”Tak akan selesai bila masuk ke wilayah hitung-hitungan,” katanya. ”Lebih baik berfokus ke masalah lain, misalnya industri tekstil mengeluhkan revitalisasi mesin dan persaingan tidak adil.”

Perjanjian penguatan kerja sama ekonomi dan perdagangan kedua negara juga penting. Intinya disebutkan, bila terjadi ketidakseimbangan neraca perdagangan, negara yang surplusperdagangan wajib menambah impor dan membantu negara mitra yang defisit. ”Cina siap menambah impor dari negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, bila neraca perdagangan mereka surplus,” ujar Mari. Data menunjukkan Indonesia kerap tekor berdagang dengan Cina. Tahun lalu defisit perdagangan Indonesia dengan Cina mencapai US$ 2,503 miliar (lihat tabel).

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudradjat membantah jika dikatakan para pengusaha nasional menyerah terhadap keinginan Cina. ”Kami melihat renegosiasi pos tarif itu sebetulnya nothing,” katanya. Menurut dia, ada yang jauh lebih elegan daripada meminta pos tarif direnegosiasi. ”Misalnya komitmen Cina berinvestasi, membantu usaha kecil menengah, dan meningkatkan impor.” Perubahan sikap Ade ini cukup mengejutkan. Tahun lalu, Ade termasuk yang bersuara lantang menentang pembahasan ulang kesepakatan Cina-Indonesia.

Asosiasi Persepatuan Indonesia juga ikut sungkan. Kumpulan pengusaha sepatu ini malah mengaku sangat siap bersaing dalam perdagangan bebas ASEAN-Cina ini. Alasannya, pabrik sepatu bermerek, seperti Adidas, Nike, dan Reebok, dari Cina sudah merelokasi pabriknya ke Indonesia sejak tahun lalu. ”CFTA malah membuka pintu mereka berinvestasi di sini,” kata Ketua Dewan Pembina Asosiasi Harijanto. Para pengusaha persepatuan tidak khawatir dengan perjanjian perdagangan bebas ini. ”Toh, sejak dulu industri ini terpukul akibat penyelundupan.”

Menurut Harijanto, jika lima pos tarif sepatu dipaksakan dinegosiasi ulang, hasilnya tak terlalu menguntungkan Indonesia. Sebab, pos tarif yang dimaksud adalah sepatu musim dingin yang jarang dibuat di dalam negeri. Daripada ketakutan diserbu produk Cina, lebih baik kalangan pengusaha meningkatkan kinerja industri kecil agar bisa mengekspor ke Cina. ”Masak kita merengek-rengek ke Cina?” katanya.

Dalam hitungan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi, penundaan penghapusan tarif dua tahun ke depan, plus bea masuk maksimal lima persen, tidak akan signifikan menghambat ekspor Cina ke Indonesia. Sebanyak 228 pos tarif yang didesak dikaji ulang tersebut hanya tiga persen dari ribuan pos tarif yang dinegosiasikan.

M.S. Hidayat, yang dulu getol menyuarakan penentangan, kini berbalik 180 derajat. Mantan Ketua Kadin ini hanya bisa pasrah karena pemimpin tim negosiasi dengan Cina sepenuhnya dikendalikan Mari. ”Menteri Perdagangan sudah memutuskan, dia juga sudah menghadap Presiden dan Presiden menyetujuinya,” katanya. ”Jadi harus mematuhinya, kan?”

l l l

SEPINTAS kesepakatan antara pemerintah RI dan Cina sudah ”mendinginkan” kalangan industri. Namun masih ada pengusaha yang tak puas. Sebut saja industri baja. Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia Edward Pinem mempertanyakan bentuk kenaikan impor Cina jika mengejar surplus perdagangan dengan Indonesia. ”Tak terbayang apa yang akan diimpor Cina dari Indonesia,” katanya.

Edward juga menyangsikan Cina mau berinvestasi baja di Indonesia. Investasi baja butuh biaya besar dan tingkat pengembalian investasinya tidak begitu bagus. Inilah yang membuat para investor hanya mau masuk ke industri hilir. Karena itu, asosiasi meminta pemerintah tetap merenegosiasi agar tarif bea masuk besi dan baja dikembalikan seperti sebelum perjanjian perdagangan bebas. Asosiasi bersikap keras meminta penundaan. ”Kami akan mencari jalan lain bila tidak bisa direnegosiasi,” katanya. Asosiasi akan mencoba melobi pengusaha sejenis di negara Asia Tenggara, dengan jalan nonpemerintah atau lewat parlemen.

Tuntutan para pengusaha besi dan baja bisa dimaklumi. Beberapa pengusaha di sektor ini kalah sebelum bertanding. Ketua Klaster Paku Kawat Asosiasi Industri Besi dan Baja Ario Setiantoro memaparkan, hingga kini, 12 industri paku dan kawat mati karena ada lonjakan impor dari Cina. Dia menduga pemerintah Cina memberikan proteksi tak wajar. Data Badan Pusat Statistik menyebutkan kawat dan paku dari Cina dijual di Indonesia dengan harga US$ 260-350 per ton. Adapun harga besi tua tidak pernah lebih dari US$ 300 per ton. Padahal produk kawat dan paku sudah melewati proses produksi dari besi tua. ”Mestinya harga normalnya di atas US$ 300 per ton,” ujarnya. Belum termasuk pos tarif yang diselewengkan Cina. Pemerintah di sana juga menyubsidi produk baja dengan potongan pajak (tax rebate).

Dari kalangan industri tekstil, tidak seluruhnya satu suara. Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ernovian G. Ismy khawatir pengusaha nasional kalah bersaing. Industri tekstil Cina sangat kuat dari hulu ke hilir. Bunga kredit rendah, infrastruktur bagus, dan listrik murah. Otomatis harga produk menjadi murah. ”Pabrik tekstil kecil lokal takkan mampu bersaing dengan produk impor Cina,” ujarnya

Ekonom Centre for Strategic and International Studies Pande Radja Silalahi sudah lama menduga renegosiasi akan gagal. Meski Indonesia bak jatuh tertimpa tangga karena industri belum siap, sangat muskil menghentikan proses perdagangan bebas yang sudah berjalan. Merenegosiasi kesepakatan yang sudah dibahas puluhan tahun bukan perkara mudah. ”Apalagi sifatnya multilateral, melibatkan negara lain,” katanya.

Cina tak bisa disalahkan. Tak mampunya industri nasional menggenjot ekspor ke Cina menunjukkan ada masalah di sini. ”Kenapa Kementerian Perindustrian tak mengerjakan pekerjaan rumahnya?”

Kementerian Perindustrian menolak disalahkan. Sekretaris jenderal kementerian itu, Agus Tjahjana, mengatakan selama ini industri nasional loyo karena pasokan listrik kacau dan tarif tinggi, infrastruktur buruk, serta bunga bank tinggi. ”Itu semua salah siapa?” tanya Agus.

R.R. Ariyani, Eka Utami Aprilia


Neraca Perdagangan Indonesia-Cina
(US$ Juta)

 TOTALEKSPORIMPORSURPLUS/
DEFISIT
200512.5056.6625.842819
200614.9808.3436.6361.706
200718.2339.6758.5571.117
200826.88311.63615.247-3.610
200925.50111.49914.002-2.503

Kesepakatan Menteri Perdagangan RI-Cina

  1. Cina memfasilitasi akses pasar produk buah tropis dan sarang burung walet.
    Membentuk Kelompok Kerja Resolusi Perdagangan, memfasilitasi perdagangan.
    Membuka Cabang Bank Mandiri di Cina.

  2. Menyusun perjanjian pinjaman US$ 100 juta antara China Exim Bank dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, serta MOU antara LPEI dan Industrial & Commercial Bank of China untuk kredit US$ 250 juta dalam perdagangan serta investasi di sektor infrastruktur, energi, dan konstruksi.

  3. Mengadakan pinjaman Kredit Ekspor Preferensial US$ 1,8 miliar dan Pinjaman Konsesi Pemerintah 1,8 miliar RMB untuk mengembangkan proyek infrastruktur.
    Mempersiapkan Perjanjian Perluasan dan Pendalaman Kerja Sama Bilateral Ekonomi dan Perdagangan.
    Melakukan penandatanganan Agreed Minutes of the Meeting for Further Strengthening Economic and Trade Cooperation.

228 Pos Itu

Produk besi dan baja  114
Tekstil dan produk tekstil  53
Produk berbasis maritim  22
Produk mesin  10
Produk elektronik  7
Produk berbasis kimia  7
Produk alas kaki  5
Produk furnitur  5
Produk petrokimia  2
Kosmetik  1
Jamu  1
Produk IKM  1
SUMBER: KEMENTERIAN PERDAGANGAN

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus