Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tepuk tangan 120-an floor trader membahana di gedung Bursa Efek Indonesia ketika SRI-KEHATI muncul di papan perdagangan, Senin pagi dua pekan lalu. Senyum Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Erry Firmansyah, Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, mantan Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim, anggota direksi bursa, serta para pengurus Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati) mengembang.
Sustainable and Responsible Investment (SRI)-KEHATI merupakan indeks saham baru kerja sama Bursa Indonesia dengan Yayasan Kehati, lembaga nonprofit yang mendorong pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati. Menurut Sekretaris Perusahaan Bursa Efek Indonesia Frederica Widyasari Dewi, indeks SRI-KEHATI memuat saham-saham perusahaan yang berkinerja baik, mendorong usaha-usaha berkelanjutan, peduli lingkungan hidup dan masalah sosial, serta menerapkan good corporate governance.
Investor bisa menggunakan indeks acuan ini sebagai panduan untuk membeli saham di bursa Jakarta. Sebelumnya, selain indeks utama Jakarta Composite Index (indeks harga saham gabungan), sudah ada Indeks LQ-45, Jakarta Islamic Index (JII), Kompas 100, Bisnis-27, atau Pefindo25. ”Indeks SRI-KEHATI sudah efektif 8 Juni lalu,” kata Frederica Widyasari.
Indeks saham berbasis perusahaan ramah lingkungan dan peduli masalah tanggung jawab sosial ini merupakan mimpi lama Yayasan Kehati. Sebelum mengeluarkan indeks saham, yayasan tersebut sudah menerbitkan reksa dana Kehati Lestari pada 2007. Reksa dana ini dikelola Bahana TCW Investment Management. Namun mimpi Kehati kemudian berkembang dan muncullah SRI-KEHATI.
Ada tiga kriteria awal untuk memilih saham ke dalam indeks SRI-KEHATI, yakni beraset minimal Rp 1 triliun, memberikan potensi laba dengan acuan rasio keuntungan atas harga saham (price earning ratio) positif, dan jumlah saham publik minimal 10 persen. Selain itu, kata Sani S. Burhanuddin, investment specialist dari Yayasan Kehati, ada enam kriteria khusus yang mesti dipenuhi, yakni peduli lingkungan, berbasis komunitas, menerapkan good corporate governance, tak pernah melanggar hak asasi, menjunjung persaingan usaha, dan melindungi tenaga kerja.
Dari 400-an emiten yang diseleksi, kata dia, 68 perusahaan lolos dari tiga syarat pertama. Setelah enam kriteria ditambahkan, hanya 25 emiten yang masuk indeks saham SRI-KEHATI. Saham itu antara lain Aneka Tambang, Astra International, Bank Mandiri, Holcim, dan Berlian Laju Tanker. Emiten-emiten itu akan dievaluasi dua kali dalam setahun, sehingga mungkin saja ada saham yang keluar-masuk indeks. ”Misalnya, perusahaan yang sudah masuk, tapi tiba-tiba mencemari lingkungan, bisa dicoret,” ujarnya.
Dalam memilih saham, Yayasan Kehati membentuk Dewan Komite Indeks yang diketuai Cyril Noerhadi, Direktur Keuangan PT Medco Energi International Tbk. Cyril pernah menjadi Direktur Utama Bursa Efek Jakarta. Nama lainnya antara lain Gunarni Suworo, bankir senior dan pengurus Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas); Robby Djohan, bekas Direktur Utama Bank Niaga; dan Michael Tjoajadi, Direktur Schroders Investment Management Indonesia.
Di negara maju, terutama di Eropa, indeks sejenis ini sangat lazim dan sudah lama diterapkan. Investor besar seperti institusi pendidikan, institusi keagamaan, dan lembaga swadaya masyarakat umumnya hanya mau menginvestasikan duitnya di saham perusahaan-perusahaan ”hijau”. Indonesia boleh bangga karena kini punya indeks eco-friendly yang pertama di Asia Tenggara. ”Kalau di Asia, kita nomor dua setelah Jepang,” kata Cyril.
Bagi investor institusi, kata analis pasar modal Poltak Hotradero, indeks saham itu bisa menjadi panduan dalam berinvestasi. Tapi, ”Untuk investor retail, rasanya masih jauh. Mereka jarang memperhatikan faktor fundamental.” Sampai akhir pekan lalu, indeks SRI-KEHATI ditutup di level 109,783, naik 9,783 poin dari posisi perdana. Debut lumayan bagi indeks saham untuk pencinta lingkungan dan sosial ini.
Padjar Iswara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo