Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font face=arial size=1 color=brown><B>Penerbangan Internasional</B></font><BR />Remuk Diamuk Badai Krisis

Dari potong gaji hingga permintaan untuk kerja tanpa digaji. Banyak pesanan pesawat bakal tak diambil.

22 Juni 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

British Airways tiba-tiba jadi buah bibir. Maskapai penerbangan berbendera Inggris itu meminta stafnya bekerja gratisan alias tanpa gaji Juli nanti. ”Ini demi menolong perusahaan,” kata Willie Walsh, Direktur Eksekutif British Airways, Selasa pekan lalu. Perusahaan menunggu mereka mendaftar secara sukarela paling lambat Rabu pekan ini.

Walsh tidak sedang bercanda. Dia bahkan memelopori gerakan kerja tanpa gaji itu dengan mengikhlaskan gajinya pada Juli sebesar US$ 100 ribu atau sekitar Rp 1 miliar. Perusahaan yang sejak 1987 tak lagi dimiliki pemerintah Inggris itu memang sedang babak-belur. Jumlah penumpang yang terus menurun, sementara harga minyak melejit, membuat British Airways per April lalu rugi US$ 656 juta (Rp 6,7 triliun). Ini rugi terbesar sejak privatisasi. Tahun lalu, perusahaan yang mempekerjakan 40 ribu pegawai ini masih untung US$ 1,5 miliar.

Membujuk karyawan bekerja tanpa gaji merupakan upaya terbaru British Airways. Sebelumnya, mereka sudah mengumumkan akan mengistirahatkan lebih dari 16 pesawat mulai musim dingin nanti untuk memotong biaya operasional sebesar tiga persen. Bonus manajemen sudah sejak tahun lalu dihapus. Dan Mei kemarin, perusahaan menawarkan cuti di luar tanggungan atau kerja paruh waktu kepada karyawan yang berminat.

Kini mereka tengah bernegosiasi untuk memotong gaji sekitar 3.200 pilotnya yang tergabung dalam asosiasi pilot Inggris, BALPA. Jika lancar, mulai Oktober nanti gaji pilot British Airways akan dipotong 2,61 persen dan jam terbangnya dikurangi hingga 20 persen. Dari situ, perusahaan diharapkan bisa menghemat sekitar US$ 26 juta per tahun. ”Krisis global berkepanjangan ini menjadi periode paling berat dalam bisnis kami,” kata Walsh.

British Airways bukan satu-satunya perusahaan penerbangan yang pontang-panting diterpa krisis. Sepanjang tahun lalu, Singapore Airlines kehilangan seperempat bagian dari total penumpang tahun sebelumnya. Mei lalu, maskapai milik pemerintah Singapura itu hanya mengangkut 1,2 juta penumpang, turun 400 ribu dibanding bulan yang sama pada 2008. Untuk mengurangi beban, mereka pun menawarkan cuti di luar tanggungan. Hingga bulan lalu, 2.000-an karyawan memilih opsi itu.

Japan Airlines malah telah menawarkan cuti di luar tanggungan kepada karyawannya sejak awal tahun. Semula, pemberian libur khusus ini direncanakan berakhir Juli, tapi manajemen memperpanjang waktunya hingga September. Saat ini, yang mengambil cuti tercatat sudah 925 orang. ”Bisnis masih lesu, permintaan dan jumlah penumpang turun, JAL tidak punya pilihan,” kata Osuke Itazaki, analis pada Credit Suisse Group, Tokyo.

Maskapai Jepang itu diperkirakan akan rugi US$ 650,6 juta pada tahun ini. Karena itu, Japan Airlines berupaya keras memotong biaya operasi hingga US$ 547 juta. Maka, selain menawarkan cuti, mereka akan memberhentikan 2.474 karyawan hingga 2010.

Di Amerika Serikat, American Airlines akan memecat sedikitnya 1.600 pegawai mulai Agustus hingga akhir tahun nanti. Ini berkaitan dengan rencana mereka mengurangi jumlah penerbangan untuk memangkas biaya operasi.

Bukan itu saja. Tak kuat menahan beban operasional, perusahaan penerbangan Amerika akhirnya menaikkan harga tiket Juni ini. Mula-mula Delta dan US Airways menambah tarif domestiknya US$ 10 untuk satu penerbangan, pada 10 Juni. Pekan lalu, langkah kedua perusahaan itu diikuti yang lain, termasuk Southwest, yang merupakan maskapai murah terbesar di sana. Delta juga menaikkan tarif pergi-pulang (round trip) penerbangan internasional sebesar US$ 20-40.

Industri pesawat komersial ikut kena getah. Meski ramai dikunjungi, Paris Air Show di Le Bourget, Prancis, tahun ini sepi pembeli. Hingga hari keempat Kamis pekan lalu, total transaksi baru mencapai US$ 14,1 miliar. Di antaranya, Airbus mendapat pesanan senilai US$ 10,7 miliar dan Boeing baru berhasil menjual dua pesawat 737-800 senilai US$ 137 juta. Padahal, dalam pameran yang sama tahun lalu, total penjualan Airbus dan Boeing saja sudah lebih dari US$ 60 miliar.

Dalam sidang tahunan Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) di Kuala Lumpur, Malaysia, Senin dua pekan lalu, Direktur Eksekutif IATA Giovanni Bisignani memaparkan, tahun lalu, perusahaan penerbangan dunia rugi total US$ 10,4 miliar atau sekitar Rp 108,6 triliun. Untuk tahun ini, semula IATA memprediksi kerugian global tak akan lebih dari US 4,7 miliar.

Namun, gara-gara harga minyak yang terus naik serta virus H1N1 atawa flu babi yang telah ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai wabah, prediksi itu diubah menjadi US$ 9 miliar atau sekitar Rp 94 triliun. ”Kondisi ini salah satu yang terberat setelah peristiwa 11 September,” kata Bisignani di hadapan 500-an eksekutif bisnis penerbangan yang datang dari seluruh penjuru dunia.

Peristiwa 11 September membuat penghasilan perusahaan penerbangan sedunia melorot tujuh persen, dan butuh tiga tahun untuk kembali ke level semula. Tapi kali ini persentase penurunan diperkirakan dua digit. Tahun ini, misalnya, IATA memperkirakan penerimaan global cuma US$ 448 miliar, turun US$ 80 miliar dari pendapatan tahun lalu.

”Pemerintah masing-masing negara harus menyadari bahwa kelangsungan hidup industri ini tengah terancam,” kata Bisignani. Dia mengkritik praktek monopoli yang masih terjadi di berbagai negara dan mendesak agar ongkos-ongkos bandara, termasuk pajak yang tinggi, segera dikurangi.

Repotnya, masalah yang dihadapi tidak hanya itu. Banyak perusahaan penerbangan terancam rugi lebih ”dalam” karena harus menyelesaikan pembayaran pembelian pesawat yang jatuh tempo tahun ini dan 2010. Tentu saja mereka bisa menunda atau membatalkan pembelian. Tapi untuk itu pun mereka harus membayar denda yang lumayan besar. Menurut hitungan Nick Cunningham, analis pada Evolution Securities di London, pada 2010 nanti perusahaan penerbangan akan membutuhkan suntikan dana hingga US$ 36 miliar untuk menyelesaikan urusan jual-beli ini.

Beberapa perusahaan sudah ”angkat tangan”. Salah satunya Jet Air. Mereka menunda mendatangkan delapan pesawat baru—lima Airbus 330s dan tiga Boeing 777s—yang kontraknya jatuh tempo tahun ini. Menurut Direktur Eksekutif Jet Air Saroj Datta, perusahaannya tahun lalu rugi US$ 45,8 juta. Keputusan menunda itu dimaksudkan untuk memangkas ongkos kerja hingga US$ 600 juta. Sebelumnya, perusahaan penerbangan terbesar di India ini sudah memecat 1.900 karyawan dan mengurangi jumlah penerbangan domestik 40 persen.

Di masa normal, situasi semacam ini biasa diatasi dengan pinjaman di bank. Masalahnya, saat ini berbeda. Kebanyakan bank masih enggan meloloskan kredit. Alhasil, perusahaan penerbangan kini seperti sudah jatuh tertimpa tangga pula—rugi tapi masih harus siap-siap bayar denda. ”Persoalan kami saat ini adalah para banker,” kata Direktur Eksekutif Air Asia Tony Fernandes kesal.

Philipus Parera (Dow Jones, Time.com, AP, Wall Street Journal, Bloomberg)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus