Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEREMPUAN muda itu mendatangi gerai telepon seluler di lantai tiga pertokoan di kawasan Mangga Dua, Jakarta Utara, Kamis siang pekan lalu. Melihat-lihat sebentar beberapa barang yang dipajang, Andriani-perempuan itu-bertemu dengan Teddy, pemilik gerai. Keduanya serius berbincang. Andriani mengeluarkan kartu kredit dari dompetnya. Teddy menggesekkan kartu kredit tadi ke mesin electronic data capture (EDC). Setelah kertas bukti transaksi keluar, Teddy mengulurkan amplop berisi Rp 3,5 juta kepada karyawati perusahaan swasta tersebut. Urusan kelar.
Ternyata Andriani tidak membeli telepon seluler atau gadget yang lain. Dia menarik uang tunai dari toko itu dengan menggunakan kartu kredit. Inilah transaksi gesek tunai, fenomena tak lazim yang mewarnai industri kartu kredit Indonesia saat ini. Transaksi semacam ini semakin banyak dilakukan pemegang "uang plastik" yang kepepet membutuhkan dana kontan. "Enggak khawatir lagi kalau sedang tak punya tabungan, bisa ambil tunai di sana saja," katanya kepada Tempo, Jumat pekan lalu.
Gesek tunai di merchant seperti toko telepon seluler memang lebih murah dibanding menarik tunai di anjungan tunai mandiri. Biaya yang dikenakan hanya setara dengan bunga belanja 2,5 persen per bulan. Sedangkan bunga pencairan kartu kredit (cash advance) di mesin ATM dipatok 4 persen sebulan. Penarikan tunai dengan kartu kredit di ATM pun paling besar hanya 30 persen dari plafon kreditnya. Sedangkan di toko-toko tertentu, penarikan bisa sampai batas maksimal.
Bagi pedagang atau pengusaha, gesek tunai menjadi bisnis sampingan. Teddy, yang siap menampung penarikan tunai hingga Rp 20 juta setiap hari, kebagian 0,5 persen dari setiap transaksi. Itu merupakan imbal jasa dari bank, selisih dari bunga transaksi kartu kredit. Tentu saja bank rekanannya tak tahu modus jual-beli semu ini. "Mau beli ponsel atau ambil dana tunai tak ada bedanya, karena dalam mesin dicatat sebagai pembelian," katanya, seraya mengatakan menyediakan modal awal bisnis ini hingga Rp 150 juta.
Sekilas, praktek ini terlihat aman-aman saja. Nasabah pemegang kartu merasa diuntungkan lantaran mendapat dana segar cepat. Pedagang juga beroleh hasil dari imbal jasa transaksi. Namun pembelian semu ini membuat Bank Indonesia dan bank penyedia kartu kredit pusing tujuh keliling. Transaksi gesek tunai di toko-toko tadi membuat rasio kredit macet menumpuk. "Risiko yang harus ditanggung bank tak sebanding. Apalagi jika nasabah menarik tunai dalam jumlah besar," kata pengurus Asosiasi Kartu Kredit Indonesia, Steve Martha, pekan lalu.
Potensi kredit macet memang sulit dihindari. Steve mengatakan, risiko naiknya kredit macet lantaran banyak nasabah terjebak utang berantai. Biasanya, praktek itu dilakukan oleh orang yang memiliki kartu kredit lebih dari satu. Dana hasil tarik tunai salah satu kartu yang memiliki batas kredit lebih besar digunakan untuk menutupi tagihan kartu lain yang jatuh tempo. "Ibarat gali lubang tutup lubang," ujarnya.
Penelusuran asosiasi kartu kredit menunjukkan transaksi gesek tunai mulai muncul tiga tahun lalu. Awalnya praktek ini dilakukan pedagang di kawasan pusat retail semisal Pasar Atom di Surabaya, Roxy Mas, Cempaka Mas, dan Mangga Dua di Jakarta. "Biasanya oleh gerai kecil yang dijalankan perseorangan dengan manajemen konvensional," katanya. Ketua Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia Tutum Rahanta tak menampik cerita ini. Peretail besar, katanya, tak bisa melakukan praktek ini lantaran memiliki pembukuan tertib dan rapi. "Ketika diaudit akan ketahuan, angka penjualan naik tapi stok barang tak berkurang."
Praktek gesek tunai awalnya dilakukan sembunyi-sembunyi. Tapi, dalam setahun terakhir, ketika permintaan semakin tinggi, pedagang berani terang-terangan, bahkan memasang iklan. Teddy sempat memasang iklan di salah satu koran Ibu Kota dan jejaring Internet, awal tahun lalu. "Setelah banyak yang tahu, saya enggak pasang iklan lagi. Takut terlacak," ujarnya terkekeh.
Sebetulnya, menarik tunai di toko dengan kartu kredit sudah jelas dilarang. Peraturan Bank Indonesia menyatakan bank wajib menghentikan kerja sama dengan pedagang yang merugikan lantaran memproses penarikan tunai kartu kredit. Ada sanksi administrasi bagi bank yang membiarkan kerja sama itu. Direktur Akunting dan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Ronald Waas mengatakan prinsip aturan ini melindungi nasabah. Gesek tunai di toko, katanya, rawan kejahatan, seperti penipuan atau pemalsuan kartu kredit. Ironisnya, gesek tunai di merchant malah marak lantaran banyak peminatnya. "Nasabah tak sadar transaksi semacam ini tak aman," ujarnya kepada Tempo pekan lalu.
Bank Indonesia dan asosiasi kartu kredit memperkirakan volume transaksi gesek tunai bisa mencapai Rp 20 triliun atau 20 persen dari total transaksi kartu kredit nasional, hingga September lalu, yang sebesar Rp 130 triliun. Angka itu naik dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Ronald mengatakan fenomena gesek tunai dipicu perilaku masyarakat yang ingin jalan pintas memperoleh uang. Pemicu lainnya, tingginya suku bunga perbankan, khususnya penarikan tunai lewat anjungan tunai mandiri atau cash advance tadi.
Bank cenderung membuat jurang lebar antara bunga penarikan tunai dan belanja dengan kartu kredit. Selisih bunga tarik tunai di ATM dan belanja bisa mencapai dua persen. "Ceruk ini yang dimanfaatkan pelaku gesek tunai," katanya. Bank Indonesia mengaku kesulitan membasmi praktek gesek tunai itu lantaran tak berwenang menindak pedagang atau nasabah. "Pembuktian transaksi semu ini juga sulit," ujar Ronald.
Pertengahan bulan lalu, asosiasi kartu kredit menyisir pedagang yang menyediakan layanan kartu kredit di Jakarta. Pemeriksaan dilakukan secara acak dengan sampel di kawasan tertentu. Hasilnya lumayan signifikan. Ditemukan lebih dari seribu pedagang yang menjalankan transaksi gesek tunai. Steve mengatakan bank penyedia kartu kredit lalu memutus kerja sama dengan 500 pedagang. "Mereka yang diputus terbukti hanya berbisnis gesek tunai, selebihnya sambilan."
Bank BNI salah satu yang pernah mengambil tindakan tegas. Sekretaris Perusahaan BNI Putu Kresna mengatakan setelah asosiasi melakukan penyisiran, BNI memutus kontrak dengan 300 pedagang. "Buktinya kuat, dan kami harus menjatuhkan sanksi," katanya. Sumber Tempo mengatakan, berdasarkan perhitungan rata-rata, satu pelaku gesek tunai bisa bertransaksi Rp 50 juta dalam sepekan.
Gesek tunai terbesar di Jakarta terlacak pertengahan Maret hingga April lalu. Praktek ini dilakukan satu toko alat tulis. Selama dua pekan, nilai gesek tunainya mencapai Rp 154 juta. "Salah satu dasar kecurigaan, nilai penjualan barang dalam bukti transaksi melebihi stok toko itu," ujarnya.
Tindakan bank memberikan sanksi menuai reaksi miring, terutama dari pedagang dan nasabah pemegang kartu kredit. Teddy, misalnya, menuding bank jengah lantaran ceruk pendapatan bunga penarikan tunainya berkurang dan beralih ke pedagang. Tapi perbankan membantah tudingan itu. "Kerugian bank bukan pada masalah bunga, tapi ada kepercayaan dan peraturan yang dilanggar," kata Putu.
Berdasarkan sejumlah temuan tadi, asosiasi dan tim dari kantor pusat Bank Indonesia akan melanjutkan penyelidikan hingga Desember mendatang. Ronald Waas mengatakan, setelah penyisiran menampakkan hasil, bank dan penyedia kartu kredit harus bekerja sama menyusun daftar hitam pedagang nakal. Langkah itu penting untuk menghindari masuknya kembali pelaku gesek tunai ke industri keuangan. "Tak tertutup kemungkinan, setelah diusir satu bank, toko yang melayani gesek tunai malah direkrut bank lain," ujarnya.
Fery Firmansyah
Kinerja Kartu Kredit Nasional
  | Nilai Transaksi Harian (Miliar Rupiah) | Volume Transaksi (Kali) |
2010 | 463 | 560 ribu |
2009 | 374 | 500 ribu |
2008 | 294 | 457 ribu |
2007 | 199 | 354 ribu |
Sumber: Bank Indonesia, AKKI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo