Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font face=arial size=1 color=brown><B>Industri Gitar</B></font><BR />Bertumpu pada Selera Premium

Melayani pelanggan khusus, bengkel gitar kelas ”rumah toko” tetap moncer di tengah krisis.

8 Juni 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sedang asyik dia mengampelas bakal bodi gitar, telepon selulernya berdering. ”Apa pesanan saya sudah bisa diambil?” tanya suara di seberang. ”Belum,” jawabnya, ”tapi kalau ingin melihat, ke sini saja.” Selasa dua pekan lalu itu, dia lalu meminta asistennya menurunkan sebuah gitar listrik baru yang belum selesai dicat dari gantungan.

Laki-laki itu Engkos Perkasa, 51 tahun, pemilik ReBORN Guitar Gallery—bangunan setengah tembok yang agak berantakan di kompleks perumahan elite Gayung Sari Timur, Surabaya. Di bengkel itu, dia membuat gitar berbagai jenis, dari folk, klasik, hingga rock, akustik, dan listrik. Pada saat krisis ekonomi seperti sekarang, bisnis Engkos seperti tak terusik. Pesanan terus mengalir.

Engkos mendirikan bengkel di atas tanah fasilitas umum itu pada pertengahan 2004. Sebelumnya, dia bekerja sebagai guru gitar di Yayasan Musik Indonesia, di Buncit Raya, Jakarta. Dia mengenal seni membuat gitar dari Witirto, pembuat gitar atawa luthier di Jakarta, dan mengembangkan pengetahuannya secara otodidak dari berbagai referensi, termasuk Internet.

Gitar buatan Engkos tidaklah murah. Yang setengah jadi, atau hanya bodi dilapisi cat, belum termasuk mesin dan senar, harganya Rp 2,5 juta. Gitar komplet dibanderol Rp 6-25 juta. Toh, sejak tahun pertama, ReBORN tak pernah sepi order. Dengan bantuan dua asisten, rata-rata Engkos merampungkan 15 pesanan setiap bulan. ”Gitar bermerek sangat mahal, padahal kadang tidak sesuai dengan selera. Tapi, kalau pesan sendiri, orang bisa sesuka-sukanya bikin model,” kata Engkos.

Strategi inilah yang membuat Engkos tak kehilangan pelanggan. Pernah seorang pemusik asing memintanya membuat gitar yang papan jari (fingerboard) dan kepala tangkai (headstock)-nya dilapisi kulit kerang. Meski sulit, Engkos menyanggupinya. Butuh satu bulan untuk merampungkan pesanan unik itu.

Tak sedikit gitaris ngetop yang kesengsem sentuhan personal gaya Engkos ini, di antaranya Dewa Budjana dan Roy Boomerang. Roy bahkan pernah meminta Engkos membuatkan dia empat jenis gitar berbeda sekaligus.

Sementara gitar ”pabrikan” terbuat dari rangka kayu dan tripleks, semua gitar keluaran ReBORN menggunakan kayu utuh, Indian rosewood, yang diimpor dari Kanada, Amerika, atau Jerman. ”Kayu ini memiliki serat yang rapat sehingga suara gitar prima, tidak melempem,” kata Engkos.

Cara yang sama juga dipilih Muhammad Satria Nugroho, 27 tahun, pembuat gitar bermerek Stranough di Bandung. Perajin yang akrab disapa Hanung ini hanya menggunakan lima jenis kayu pilihan untuk gitar buatannya: mahoni Jawa, flamed maple, white ash, rosewood, dan alder dari Kanada. ”Banyak pelanggan dalam negeri alergi kayu lokal, padahal pemesan dari luar lebih suka mahoni,” katanya seraya terbahak.

Hanung, yang April lalu mendapat penghargaan Dji Sam Soe Award sebagai pengusaha muda terbaik, memulai bengkelnya pada 2004. Tidak seperti Engkos, yang hanya berfokus pada pelanggan premium, Hanung melayani pesanan dalam jumlah banyak. Dia, misalnya, memasok seratus gitar ”kosongan”—cuma badan gitar tanpa komponen lain—setiap bulan untuk perusahaan gitar Belanda.

Pada mulanya, usaha Hanung berjalan seret. Namun, begitu Stranough Guitar Builder & Music Instrument mulai menjamah pemasaran lewat Internet, pelanggan berdatangan. Usaha Hanung pun maju pesat walau jagat luthier Bandung telah diisi nama-nama beken, seperti Genta, Aristone, juga Secco. Stranough antara lain jadi ”pegangan” Beng-beng, Trisno, dan Yuki (Pas Band), Yuke (Dewa), Stevie (Andra & The Backbone), Otonk (Koil), Baron (Baron Soulmate), dan Pongki (Jikustik).

Kini, dengan 27 karyawan, dalam sebulan Hanung bisa melayani 100-an order perbaikan dan modifikasi gitar serta membuat 200-an sarung dan kotak gitar. Selain melayani permintaan dari Belanda, dia masih mengerjakan pesanan premium 25-30 unit gitar Stranough setiap bulan dengan harga Rp 1,5-10 juta. Pesanan kadang juga datang dari Singapura dan Australia. Tak aneh, sejak 2007, omzet bengkel gitar yang terletak di Jalan Surapati, Bandung, ini sudah di atas Rp 3 miliar.

Philipus Parera, Rohman Taufiq (Surabaya), Anwar Siswadi (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus