Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIREKTUR Investasi PT Jamsostek Elvin Masassya terus memelototi pergerakan bursa. Ia tak mau kehilangan momen. Perusahaan yang punya kinerja kinclong langsung masuk daftar incaran. Ia pun memborong surat utang atau saham perusahaan tersebut dalam evaluasi dan balancing portofolio yang dilakukan saban bulan.
Dia mengatakan surat utang perusahaan negara atau swasta, dan saham blue chip, menarik dikoleksi saat ini. Perusahaan asuransi bagi tenaga kerja milik pemerintah ini mengelola Rp 64 triliun. Mayoritas, 50 persen, diinvestasikan dalam bentuk obligasi pemerintah dan korporasi. Sisanya ditaruh di deposito berjangka (30 persen) dan saham (15 persen).
Investor kembali membanjiri lantai bursa. Jumat pekan lalu, indeks harga saham gabungan ditutup di 2.078,931, menguat 46,215 poin dibanding hari sebelumnya. Modal yang sebelumnya nongkrong di deposito berbunga tinggi mulai bergeser. Sasarannya: saham, obligasi korporasi, dan surat utang pemerintah.
Investor kembali ke lantai bursa lantaran bunga deposito terus menyusut, seiring dengan penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia. Pada 3 Juni lalu, bank sentral kembali memangkas BI Rate sebesar 25 basis point menjadi tujuh persen.
Surat utang pemerintah menjadi salah satu bidikan para investor. Medio April lalu, Departemen Keuangan menerbitkan sukuk global berbunga tetap 8,8 persen. Investor rame-rame memburu, sampai terjadi kelebihan permintaan tujuh kali dari yang ditawarkan US$ 650 juta.
Peluncuran global medium term notes pada Maret 2009 juga lumayan. Penawaran yang masuk US$ 7,25 miliar. Tapi pemerintah cuma mengambil US$ 3 miliar. Surat berharga ini menawarkan bunga 10,375 persen (berjangka lima tahun) dan 11,625 persen (bertenggat sepuluh tahun).
Pada Februari, sukuk retail pun diperebutkan. Eni, 33 tahun, ”memasang” Rp 100 juta lebih. Karyawan lembaga keuangan pelat merah ini ngiler dengan tawaran bunga 12 persen setahun, bertenggat tiga tahun. ”Bunga deposito cuma 5-6 persen. Lagi pula nyaris tak berisiko,” kata ibu dua anak ini.
Obligasi eceran pelat merah memang jadi incaran khalayak. Harganya relatif terjangkau, Rp 1 juta per kupon, minimal pembelian lima kupon. Instrumen investasi ini bisa dikatakan tak berisiko karena dijamin pemerintah. Makanya, Aning, 37 tahun, menyesal karena tak kebagian. Perempuan yang baru dua tahun mengenal dunia pasar modal ini telat memesan. ”Apa boleh buat.”
Obligasi juga menjadi pilihan investasi PT Taspen. Perusahaan asuransi pensiunan ini mengelola Rp 20-an triliun. Investasi berpendapatan tetap, seperti obligasi, mendapat porsi 80 persen. Sisanya dibelanjakan saham (5 persen) dan deposito (15 persen).
Inilah yang membikin perbankan ketar-ketir. Direktur Utama PT BRI Syariah Ventje Rahardjo sempat khawatir penerbitan sukuk bisa menekan pertumbuhan dana pihak ketiga perbankan syariah. Menurut dia, perbankan syariah sulit bersaing dalam menghimpun dana masyarakat karena pajak dana lebih besar dan bagi hasil lebih rendah ketimbang bank konvensional.
Wakil Direktur Utama Bank Danamon Joseph Luhukay mengatakan maraknya penerbitan obligasi umumnya terjadi ketika bunga kredit mahal. Artinya, surat utang merupakan alternatif pembiayaan murah dibanding kredit bank.
Jahja Setiaatmadja, Wakil Direktur Utama BCA, menambahkan, tingginya tingkat kupon obligasi akan menggerakkan dana pensiun dan dana asuransi dari deposito. Bagi bank besar, kata Jahja, tidak ada persoalan karena likuiditasnya masih besar. Tapi tidak demikian halnya dengan bank gurem.
Bank sentral pun mencoba menenangkan. Deputi Gubernur Bank Indonesia Siti Fadjrijah mengatakan sukuk retail cuma Rp 5 triliun. ”Tak perlu risau,” ujarnya saat peluncuran produk ini akhir Januari lalu. Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan Rahmat Waluyanto pun memastikan tak ada crowding out di pasar karena kelebihan pasokan obligasi.
Tapi Kepala Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa mengingatkan potensi rebutan likuiditas di sistem finansial. Perbankan tidak hanya berkompetisi dengan obligasi pemerintah. ”Jangan lupa, masih ada Sertifikat Bank Indonesia yang sudah menyedot Rp 230 triliun.”
Makanya, kata Yudhi, jangan heran bila suku bunga kredit tak kunjung terkoreksi. Sebab, dana yang tersedia di sistem finansial terbatas. Persoalan ini gampang-gampang susah. Maksudnya, ”Kalau digampangkan, bisa membikin susah.”
Retno Sulistyowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo