Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KABAR tak sedap mendera Fox Indonesia sepanjang pekan lalu. Lembaga konsultan strategis dan politik yang didirikan dua bersaudara Andi Zulkarnain (Choel) Mallarangeng dan Rizal Mallarangeng ini disebut-sebut tengah limbung. Kegiatan usaha survei dan konsultasi politik untuk para calon bupati, wali kota, atau gubernur dihentikan sementara waktu. Sebagian karyawannya kemungkinan besar akan dirumahkan dan diberi pesangon.
Terbilang sukses selama ini, goyahnya Fox Indonesia tentu saja mengejutkan. Lembaga ini berhasil mengantar Alex Nurdin menjadi Gubernur Sumatera Selatan tahun lalu. Fox turut berperan mengantar kemenangan Partai Demokrat dan Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden dalam Pemilihan Umum 2009. Tahun ini, Fox tak akan terlibat sama sekali memberikan konsultasi politik pemilu di daerah. ”Kami sedang cooling down dulu,” kata Choel kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.
Adik kandung Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng ini membantah jika dikatakan Fox kolaps. Isu tersebut, kata dia, sengaja diembuskan oleh para pesaingnya. ”Justru kami sedang bersiap-siap bermain di ajang pemilihan umum nasional 2014,” ujarnya.
Tidak aktifnya Fox Indonesia bukan berarti bisnis konsultan politik sudah berlalu. Musim pemilu daerah praktis tak pernah usai setelah sistem pemilihan langsung diberlakukan sejak 2005. Mulai pemilihan bupati, wali kota, hingga gubernur.
Tahun ini ada banyak pasar buat lembaga konsultan politik. Tercatat ada 246 pemilihan kepala daerah: tujuh di tingkat provinsi dan sisanya di kabupaten atau kota. Hingga 2013 masih ada 200 peristiwa serupa, sebelum ditutup dengan hajatan pemilihan anggota legislatif dan presiden pada 2014. ”Prospek bisnisnya masih oke,” ujar anggota Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat, Jeffrie Geovanie, di Jakarta pekan lalu.
Menurut Wakil Direktur Eksekutif Lembaga Pemenangan Pemilu Partai Golkar 2007-2009 itu, para kandidat dari Golkar hampir selalu memakai jasa konsultan. Meskipun partai sebagai mesin politik sudah solid, kata dia, tetap saja ada celah yang bisa digarap para konsultan politik. Misalnya, pencitraan pribadi. ”Partai tak mengurusi hal-hal pencitraan semacam itu,” ujarnya.
Kendati prospektif, bisnis konsultasi politik tahun ini tak seringan lima tahun lalu. Persaingannya amat ketat karena pemain kian banyak dan pasarnya menjadi sesak. Lima tahun lalu hanya ada satu lembaga konsultan politik. Sekarang sudah ada 10 lembaga serupa: bisnisnya memberikan nasihat politik, termasuk memenangi pemilu.
Salah satu lembaga konsultan politik yang bertahan adalah Lingkaran Survei Indonesia. Dikomandani Denny Januar Ali alias Denny J.A., Lingkaran Survei Indonesia memberikan pelayanan beragam, mulai survei dukungan, pemenangan pemilu, hingga pendampingan kandidat. ”Kami supermarket konsultan politik,” katanya.
Sejak didirikan lima tahun lalu, Lingkaran Survei Indonesia mengklaim sudah ikut berperan memenangi pemilihan 20 gubernur serta 35 wali kota dan bupati. Denny juga ikut berperan memenangkan Susilo Bambang Yudhoyono. Konsultan politik lain yang eksis adalah Lembaga Survei Indonesia pimpinan Syaiful Mujani.
Kini muncul pemain baru yang layak diperhitungkan : Polmark Indonesia. Lembaga yang didirikan dosen ilmu politik Universitas Indonesia, Eep Saefulloh Fatah, ini mulai menggebrak. Polmark, yang umurnya belum setahun, amat berperan memenangkan pasangan Agustin Teras Narang-Ahmad Diran sebagai Kepala Daerah Kalimantan Tengah dalam pemilu Juni lalu.
MUNCULNYA lembaga baru konsultan politik, seperti Polmark, tentu saja lantaran bisnis ini cukup menggiurkan. Duit yang bisa diterima para konsultan politik lumayan gede. Menurut Eep, setidaknya ada tiga sumber pendapatan yang bisa diperoleh lembaga konsultan politik. Pertama, biaya bulanan (retainer fee) untuk operasional konsultan. Kedua, biaya pemolesan kandidat (management fee), termasuk urusan tetek-bengek iklan dan pencitraan di media; serta terakhir, biaya sukses (success fee) yang dibayar setelah calon atau kandidat menang. ”Nilainya beragam,” katanya kepada Tempo di Jakarta pekan lalu. Dan jumlahnya tidak kecil.
Jeffrie Geovanie menggambarkan nilai pasar biaya bulanan sekitar Rp 100 juta hingga Rp 1 miliar. Biaya pemolesan kandidat paling murah Rp 1-2 miliar. ”Tarif success fee paling besar. Itu tak ada ukurannya, tapi minimal Rp 1 miliar,” dia mengungkapkan.
Tarif jasa melakukan survei lain lagi. Direktur Lembaga Survei Indonesia Syaiful Mujani menaksir biaya sekali survei di kabupaten atau kota sekitar Rp 125 juta. Biaya survei di provinsi minimal Rp 250 juta. ”Bergantung pada tingkat kesulitannya,” ujarnya.
Lantaran fulus menggiurkan itu, perebutan pasar tak terhindarkan. Selain bersaing satu sama lain, lembaga-lembaga konsultan politik berbasis di Jakarta itu kerap berhadapan dengan pesaing lokal yang tarifnya jauh lebih murah. Di Tangerang Selatan, misalnya, saat ini sedang berlangsung pemilihan wali kota. Ada empat kandidat bersaing: Airin Rachmi Diany-Benyamin Davnie, Arsyid-Andre Taulani, Rhodiah Najiba-Sulaeman Yassin, dan Yayat Sudrajat-Norodom Soekarno. Selain untuk survei, empat kandidat tersebut ogah menyewa konsultan politik level nasional. ”Harganya mahal,” ujar Suryadi, ketua tim sukses pasangan Arsyid-Andre Taulani.
Perbandingan akurasi survei antarlembaga konsultan juga menjadi arena pertarungan lain. Padahal terkadang beberapa lembaga konsultasi bekerja sama mendukung satu kandidat. Pertarungan seru terjadi antara Lingkaran Survei dan Fox yang dibantu Lembaga Survei Indonesia, di Sumbawa, Bengkulu, dan Sulawesi Utara pada pemilihan kepala daerah belum lama ini. Sekalipun angka prediksi hitung cepat para lembaga konsultasi politik berbeda tipis, citra sang konsultan menjadi taruhannya.
Di tengah pasar yang kian sempit, lembaga-lembaga konsultan politik mau tak mau mencari strategi baru. Denny J.A. sampai harus mendirikan lima anak perusahaan. Di antaranya Citra Publik Indonesia, Konsultan Citra Indonesia, dan LSKP Research and Consulting untuk merebut segmen pemilihan kepala daerah. ”Tentu tarif berbeda,” ujarnya.
Polmark Indonesia lain lagi. Lembaga ini lebih memilih menggaet sumber daya lokal sebagai mitra. Eep mencontohkan, saat menggarap satu klien di Maluku, lembaganya merekrut seorang mantan politikus lokal. Strategi ini lumayan efisien menekan biaya operasi sekaligus memperkuat jaringan daerah. ”Setelah proyek utama selesai, kerja sama masih bisa berlanjut,” ujarnya.
Di samping klien konvensional, Polmark menggarap ceruk baru, lembaga negara ataupun perusahaan pelat merah. ”Lembaga-lembaga itu perlu pendampingan, mengingat intervensi dan gesekan politiknya amat tinggi,” kata Eep.
Persaingan ketat memang tak bisa diredam, tapi harus ada cara membuat bisnis konsultasi politik tetap sehat. Menurut Eep, perlu ada standar profesi konsultan politik yang memuat etika-etika tertentu, semisal mengumumkan hasil survei atau hitung cepat setelah pemungutan suara selesai. ”Itu demi menghindari distorsi pada pemilih,” ujarnya. Setiap lembaga konsultan politik, menurut dia, juga mesti punya kesadaran dalam memilah kandidat yang akan didampingi. Tujuannya agar kandidat layak dipilih publik dan menghindari calon yang terjerat masalah hukum.
Fery Firmansyah, Joniansyah (Tangerang)
Tiga sumber pendapatan yang bisa diperoleh lembaga konsultan politik
1. Biaya bulanan (retainer fee) untuk operasional konsultan.
2. Biaya pemolesan kandidat (management fee).
3. Biaya sukses (success fee) yang dibayar setelah calon atau kandidat menang.
Eep Saefulloh Fatah, (Polmark Indonesia)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo