Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PIUTANG bisa bikin runyam. Itulah yang dialami Kementerian Komunikasi dan Informatika. Gara-gara pencatatan dan penagihan piutang di sejumlah perusahaan telekomunikasi bermasalah, opini Badan Pemeriksa Keuangan terhadap laporan keuangan institusi Kementerian Komunikasi dalam tiga tahun terakhir tak pernah memuaskan.
Piutang yang membuat Kementerian Komunikasi pusing tujuh keliling itu berasal dari biaya hak penggunaan frekuensi pelbagai perusahaan telekomunikasi. Setoran biaya pemakaian frekuensi ini termasuk penerimaan negara bukan pajak. ”Mengelola biaya penggunaan frekuensi pekerjaan rumah terbesar Kementerian Komunikasi,” kata anggota Badan Pemeriksa Keuangan, Hasan Bisri, kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.
Pengelolaan biaya pemakaian frekuensi inilah yang selama ini karut-marut. Lihat saja laporan keuangan Kementerian Komunikasi tahun buku 2007. Badan Pemeriksa Keuangan menemukan fakta sejumlah operator telepon menunggak pembayaran Rp 256,4 miliar. Tapi pembukuan piutang pemakaian biaya frekuensinya tak tertib. Akibatnya, instansi yang dulu bernama Departemen Penerangan ini luput menagih denda keterlambatan pembayaran senilai Rp 11 miliar.
Tunggakan biaya pemakaian frekuensi ini jadi salah satu penyebab Badan Pemeriksa Keuangan memberikan opini tak wajar—satu tingkat di atas disclaimer, opini terburuk—kepada laporan keuangan Kementerian Komunikasi. Tahun berikutnya, pencatatan piutang pemakaian biaya frekuensi malah lebih parah.
Dalam hasil audit laporan keuangan Kementerian Komunikasi tahun buku 2008, terungkap ada kelemahan pada sistem informasi manajemen frekuensi. ”Saldo piutang belum dilengkapi dengan catatan memadai,” kata Suyatno, auditor Badan Pemeriksa Keuangan. Kementerian Komunikasi melaporkan ada tunggakan pemakaian biaya frekuensi Rp 1,170 triliun. Tapi, menurut Suyatno, saldo piutang itu belum mencerminkan nilai sesungguhnya karena tak ada catatan lain sebagai penguji silang untuk meyakini selisih tagihan tersebut.
Tahun lalu status laporan keuangan Kementerian Komunikasi membaik. Badan Pemeriksa Keuangan memberikan opini wajar dengan pengecualian, setingkat di bawah opini sempurna. Toh, auditor negara masih menyoroti tagihan biaya pemakaian frekuensi itu. Kementerian Komunikasi melaporkan ada saldo piutang senilai Rp 1,23 triliun. Piutang itu berasal dari tunggakan sembilan operator telepon, yakni Grup Telkom, Indosat, Hutchinson Indonesia, Bakrie Telecom, Natrindo, Sampoerna Telecom, Mobile-8, Lippo Telecom, dan Smart Telecom.
Persoalannya, Badan Pemeriksa Keuangan tidak bisa meyakini kewajaran penyajian laporan piutang tersebut. ”Rawan terhadap penyimpangan,” kata Widodo Mumpuni, auditor lembaga itu, dalam hasil auditnya.
Menurut Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi Budi Setiawan kepada Tempo, sejumlah perusahaan telekomunikasi memang menunggak pembayaran biaya pemakaian frekuensi. Tapi pekerjaan rumah terbesar adalah menyelesaikan tunggakan Smart Telecom. Sudah tiga tahun tunggakan perusahaan telekomunikasi milik kelompok usaha Sinar Mas itu terkatung-katung. “Nilainya sangat besar dan paling mencolok,” kata Budi. ”Persoalan piutang Smart Telecom menyebabkan laporan keuangan kami tak pernah bagus.”
Tagihan biaya pemakaian frekuensi Smart Telecom ruwet. Kementerian Komunikasi mengklaim tunggakan perusahaan itu Rp 484 miliar. Tapi Smart Telecom berkeberatan dengan alasan Kementerian Komunikasi salah menerapkan peraturan penggunaan pita frekuensi. Lantaran tak ada kesepakatan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan dilibatkan. Tunggakan Smart Telecom versi badan pengawasan ini hanya Rp 242 miliar.
Permasalahan semakin kompleks karena Badan Pemeriksa Keuangan menyebut tunggakan Smart Telecom mencapai Rp 675 miliar, berikut denda tunggakan. Penyelesaian tagihan ini semakin tak jelas. Buntutnya, opini laporan keuangan Kementerian Komunikasi belum bertinta biru. “Tanpa masalah itu, laporan keuangan kami seharusnya sudah bisa wajar tanpa pengecualian,” kata Menteri Komunikasi Tifatul Sembiring di Jakarta pekan lalu.
Padjar Iswara, Agoeng Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo